Neo-Modernisme Islam di Indonesia
(Tela’ah pemikiran Abdurrahman Wahid)
By: Evi Muzaiyidah Bukhori (Mahasiswi Pascasarjana PBA UIN Maliki Malang)
BAB I
PENDAHULUAN
Pada umumnya kaum muslim dimanapun mengakui bahwa ajaran agama Islam
bersumber pada Al-Qur’an dan Hadist. Tetapi untuk memahami agama tidak cukup hanya memahami sumber – sumber ajaranya
saja, karena ajaran itu akan senantiasa mengalami proses aktualisasi ke dalam
realitas social penganutnya. Aktualisasi ini setidaknya akan dipengaruhi oleh
kecenderungan corak pemahaman dan penafsiran terhadap doktrin tertentu.
Dinamika pemikiran dan adu kekuatan
antara konservatisme (paham yang selalu menengok Islam ke masa lalu) dan
progresivisme (paham yang ingin merekonstruksi Islam untuk masa depan)
merupakan agenda laten umat Islam sepanjang sejarah. Oleh karena itu, ketika
istilah ‘pembaharuan’ Islam dikemukakan, sikap umat Islam sering ragu-ragu dan
ambivalen; antara setuju karena hal itu merupakan kebutuhan dan ragu-ragu
karena takut akan menggerogoti doktrin agama. Dalam konteks tersebut, menarik
untuk diamati gagasan pembaharuan Abdurrahman Wahid, atau yang terkenal dengan
Gus Dur, di Indonesia.
Konservatisme dan progresivisme di Indonesia mengakibatkan munculnya pola
pikir tradisionalisme dan modernisme yang masing-masing pola pikir tersebut
bersikukuh mempertahankannya. Dua pola pikir tersebut itulah yang mendominasi
pemikiran dan pemahaman terhadap Islam di Indonesia yang kemudian disusul pola
pikir yang berusaha menggabungkan dua pola pemikiran tersebut yang tampaknya
ditransfer dari pemikiran Fazlurahman. Pola pemikiran tersebut dikenal sebagai
pola pemikiran ‘neomodernisme’. Pada pola pemikiran Islam yang terakhir inilah
tampaknya gagasan-gagasan Gus Dur dapat diletakkan.
Neomodernisme sebagai pola pemikiran Islam yang dibangun oleh Fazlurrahman
itu mendapatkan sambutan di kalangan intelektual yang tumbuh dari kalangan
modernis karena ia mengandung agenda-agenda pemikiran yang progresif yang
merupakan tuntutan masyarakat modern. Akan tetapi, agenda-agenda ini dibangun
di atas tradisi keislaman sehingga pemikiran yang dikembangkan harus
mengapresiasi tradisi. Ini membuat gerakan pemikiran neomodernime tersebut
bersentuhan dengan kalangan intelektual yang hidup dan dibesarkan di dalam
lingkungan tradisionlis. Oleh karena itu, meski Gus Dur berasal dari lingkungan
tradisionalis, namun dapat mengakomodir pola pemikiran Islam neomodernisme ini.
Dengan pola pemikiran neomodernisme sebagaimana telah diuraikan di atas,
maka gagasan-gagasan Gus Dur dalam masalah masalah keagamaan, kemasyarakatan,
kebudayaan, kebangsaan dan lain-lain terasa terlalu kritis, bahkan oleh
sebagian orang dianggap nyleneh. Oleh karena, itu gagasan-gagasannya
menjadi kontroversial, tetapi meski demikian gagasan-gagasannya itu dianggap discourse
atau wacana oleh pemerhati intelektualitas atau kecendikiaan di Indonesia
sendiri maupun di luar negeri sehingga gagasan-gagasannya selalu dibicarakan
dan pribadinya yang public figur selalu menjadi sumber berita bagi pers.
Bagi orang-orang awam dan pengikut-pengikutnya bahkan
ilmuwan intelek sekalipun, Gus Dur sering kali dilihat sebagai pribadi yang
misterius, tak terduga, dan weruh sadurunge winarah (bisa
mengetahui sesuatu sebelum sesuatu itu terjadi). Sebuah kata – kata jawa
yang memiliki makna sangat dalam, sarat dengan hikmah dan misteri.
Akan tetapi bagi orang yang sinis, Gus Dur
barangkali akan dipahami sebagai orang yang memotong jalan orang lain,
mengobrak-abrik barisan yang mapan, dan tidak jarang ngawur dan oportunis. Bagi
seorang politikus, sikap nyeleneh Gus Dur barang kali akan selalu dikaitkan
dengan kepentingan poliitik diri dan kelompoknya, ataupun caper (cari perhatian)
dan bagi intelektual yang berjarak, dia mungkin akan menilai Gus
Dur sebagai pribadi yang terkadang baik bahkan sangat baik, dan
terkadang ngawur dan bahkan sangat ngawur, tetapi memang punya kenekatan yang
luar biasa dalam hal – hal tertentu, terutama dalam situasi yang genting atau
menyangkut sesuatu yang prinsip, seperti hak bicara dan berekspresi, hubungan
antar agama dan misi perdamaian.
Tulisan ini dimaksudkan untuk melihat dan mengkaji pemikiran Gus Dur
sebagai seorang pembaru yang banyak melontarkan ide-ide atau gagasan-gagasan
terutama yang menyangkut masalah-masalah keagamaan. Dengan demikian, yang
menjadi masalah dalam tulisan ini adalah bagaimana ide-ide pembaruan Gus Dur.
Selain ide-idenya, biografi singkat perlu juga ditulis sehingga tokoh yang
sedang dibicarakan lebih bisa dikenal dengan sebaik-baiknya dan ide-ide yang
dicetuskannya bisa lebih mudah dipahami.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Neo-modernisme
Secara sederhana Neo Modernisme dapat diartikan
dengan dengan “paham modernisme baru”. Neo-modernisme digunakan untuk memberi
identitas baru pada kecendrungan pemikiran islam yang muncul sejak beberapa
dekade terakhir sebagai sintesis antara pola pemikiran tradisionalime dan
modernisme.[1]
Neo-modernisme merupakan tipologi pemikiran islam yang memiliki asumsi dasar
bahwa islam harus dilibatkan dalam pergulatan modernisme.[2]
Tetapi, dengan catatan, tanpa harus meninggalkan tradisi lama yang sudah mapan.
Dengan cara, memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil hal-hal yang baru
yang lebih baik.[3]
Di Indonesia, semenjak tahun 1970-an sampe Tahun 1990-an, wacana keagamaan
telah berkembang menuju wacana cultural. Islam Indonesia tidak luput dari
dinamika pemikiran dan gerakan pembaharuan, ide- ide telah mewarnai corak pemikiran Islam
di Indonesia. Antusiasme kalangan Intelektual Islam dalam wacana pemikiran
Islam cultural begitu tinggi sehingga sering disebut sebagai masa “antusiasme
intelektual” untuk membedakan dengan masa “antusiasme politik” sebagaimana
telah terjadi pada masa – masa sebelumnya.[4]
Sebagaimana anggapan paham neo-modernis, paham
tradisionalis cenderung terlalu menyatu dengan budaya lokal, bertahan pada
produk masa lampau dan sangat selektif dengan gagasan baru. Hal Inilah yang
kemudian menyebabkan kecilnya kontribusi paham tradisionali khususnya dalam
bidang pemikiran keagamaan.
Dari sini lah kemudian lahirlah paham
modernisme. Modernisme adalah suatu perubahan dalam makna – makna yang
menghidupi manusia,[5]
Modernisme juga merupakan gerakan pembaharuan yang berusaha melawan kemapan
paham tradisional. Ciri penting yang menjadi Visi dasar dari paham modernisme
adalah usaha pemurnian agama islam dengan memberantas segala yang berbau
khurofat dan bid’ah. Paham modern juga ingin melepaskan diri dari ikatan
madzhab dan membuka kembali pintu ijtihad.[6]
kalangan modern memandang, hal ini merupakan alternative untuk
mengentaskan masyarakat dari kebodohan. Maka tak heran jika bidang garapan yang
digalakkan oleh paham ini tidak lepas dari kelembagaan, pendidikan dan
keorganisasian.
Namun demikian, apa yang dirancang oleh paham
modern ini tidak cukup mampu dan kuat untuk mengatasi problem-problem yang
muncul kemudian. Banyak kritik bermunculan. Salah satunya, ia dianggap sebagai
paham hanya terbelenggu oleh rutinitas mengolah lembaga-lembaga pembaharuan
sehingga kehilangan kesegaran orientasi yang dimiliki.
Menurut Madjid, slogan paham modernisme, yaitu
kembali pada Al Quran dan penentangan terhadap tradisi memiliki efek penolakan
atas warisan khazanah islam klasik. Sehingga, lanjut madjid, hal ini lah yang
mengakibatkan modernisme kekeringan intelektual.[7]
Munculnya para pemikir Islam, seperti Mukti Ali dan Harun
Nasution, telah memberikan sumbangan intelektual yang besar, baik dalam
kerangka memahami respons agama terhadap arus modernisasi maupun dalam
mengembangkan tradisi kritis dilingkungan intelektual Islam, khususnya
dikalangan para Ilmuwan, Mahasiswa, dan Dosen.
Neo-modernisme Islam di Indonesia dipelopori oleh
sejumlah tokoh yang telah dimatangkan oleh pergulatan pemikiran keislaman,
seperti Harun Nasution, Mukti Ali, Nur Cholish Majid, Munawir Syadzali, Abdurrahman
Wahid, Dawam Rahardjo, Djohan Effendi, M. Amin Rais, A. Syafi’I Ma’arif, dan
kuntowijoyo adalah figur – figur yang mendukung dan menyemarakkan wacana
Neo-Modernisme, dan juga sebagai figur figur yang memunculkan gagasan Islam alternatif,
yaitu menjadikan Islam sebagai jalan alternatif dalam merespons dinamika
modernitas sehingga diperlukan gerakan Islamisasi dengan jalan menemukan asli
Islam untuk menyusun system system keislaman.[8] Abdurrahman
Wahid sekembalinya dari studi di Timur Tengah secara cepat beraliansi dengan
gerakan itu. Sebagai konsekuensinya, beberapa perhimpunan pemuda di bawah NU
dan kebanyakan ulama yang sering bertukar ide dengan Abdurrahman Wahid secara
kuat dipengaruhi oleh pemikiran neo-modernis.
Fakror-faktor pembentukan neomodenisme yang pokok adalah
hilangnya perasaan inferiority complex di
kalangan umat Islam, khususnya bagi Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid
terhadap Barat. Sebagai generasi yang tidak mengalami perang kemerdekaan dan
tidak mengalami diskriminasi dari kalangan elite Eropa semasa kolonialisme,
membuat mereka memiliki kepercayaan diri.[9]
Gerakan neo-modernisme
mempunyai asumsi dasar bahwa Islam harus dilibatkan dalam proses pergulatan
modernisme. Bahkan kalau mungkin, Islam diharapkan menjadi leading ism (ajaran-ajaran
yang memimpin) di masa depan. Namun demikian, hal itu tidak berarti
menghilangkan tradisi keislaman yang telah mapan. Hal ini melahirkan postulat (dalil)
al-muhâfazhat ‘alâ al-qadîm al-shâlih wa al-akhdu bi al-jadîd alashlah (memelihara
tradisi lama yang baik, dan mengambil tradisi baru yang lebih baik). Pada sisi
lain, pendukung neo modernisme cenderung meletakkan dasar-dasar keislaman dalam
konteks atau lingkup nasional. Mereka percaya bahwa betapapun, Islam bersifat
universal, namun kondisikondisi suatu bangsa, secara tidak terelakkan, pasti
berpengaruh terhadap Islam itu sendiri.
Neo-modernisme di Indonesia
memiliki beberapa karakteristik, antara lain Pertama, ia berwatak
progresif. Hal ini diindikasikan dengan penekanan sikap positif terhadap
pentingnya modernitas, kemajuan, dan pengembangan. Ia sangat kritis dalam
memperhatikan masalah-masalah keadilan sosial, disertai rasa optimis tentang ke
arah mana manusia bergerak maju dan mau mengapreasi jalannya perubahan sosial
yang begitu cepat.
Kedua, neo-modernisme seperti halnya
fundamentalisme adalah respons rerhadap modernitas, gangguan globalisasi
peradaban, dan kebudayaan Barat rerhadap dunia Islam. Tidak seperti
fundamentalisme yang melihat Barat sebagai kebalikan Timur, neomodernisme tidak
merasa perlu menekankan perbedaan dcngan Barat atau tidak menekankan identitas
diri yang terpisah. Neomodernisme secara cerdas dapat mendekati keilmuan dan
kebudayaan Barat, khususnya dalam ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan. Kritik
rerhadap bagian tertentu budaya Barat bukan berarti hal itu tak dapat
direkonsialisikan. Neomodernisme ridak hanya membela ide-ide liberal Barat
seperti demokrasi, hak-hak asasi manusia, dan pemisahan agama dengan negara,
namun menekankan bahwa ide-ide Islam ini memberi warisan umum rerhadap Barat.
Ketiga, pemikiran neo-modernisme Indonesia
menganjurkan jenis sekularisme khusus yang berdasarkan Pancasila dan Konstitusi
Indonesia, sehingga keinginan sektarianisme keagamaan tetap terpisah dari
keinginan negara atau ada keterpisahan agama dengan negara. Neomodernisme
Indonesia berargumentasi bahwa al-Quran dan Hadits tak berisi blue print tentang
negara Islam atau tidak menetapkan bahwa negara agama adalah perlu atau
mungkin. Atas pemikiran ini, Nurcholish Madjid pernah melontarkan ide
kontroversial sekulariasi dan desakralisme. Sekularisasi adalah
usaha untuk menduniawikan nilal-nilal yang sudah duniawi dan melepaskan umat
Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya.[10]
Keempat, neomodernisme menghadirkan sebuah keterbukaan,
inklusivitas, dan pemahaman liberal Islam yang dapat direrima oleh segala
kalangan, pengakuan pluralisme sosial, penekanan perlunya toleransi, dan
hubungan harmonis di kalangan masyarakar.
Kelima, neomodernisme dimulai dengan semangat kembali
pada abad modernisme (Muhammad Abduh) dengan memerhatikan rasionalitas dalam
kegiatan ijtihad ataupun upaya individual dalam interpretasi nash. Kalangan
neomodernisme mengembangkan sistem hermeneutik, ijtihad kontekstual,
memerhatikan kekhususan masyarakat dan budaya Arab abad ke-17, dan melakukan
interprerasi baru untuk merespons kebutuhan-kebutuhan dan perkembangan budaya
masyarakat akhir abad ke-20. Bisa dikatakan, neomodernisme menyintesiskan
tradisi keilmuan Islam, tuntutan modernis tentang ijtihad, tuntutan ilmu sosial
Barat, dan kemanusiaan. Mereka bisa melakukan upaya ini karena mereka berlatar
belakang tradisionalis (pesantren atau madrasah) yang dibekali dengan
penguasaan Bahasa Arab dan akrab dengan warisan keilmuan Islam klasik. Dengan
demikian, secara simultan neomodernisme adalah gerakan kembali pada dasar-dasar
modernisme dan menyintesiskan pemikiran kaum tradisionalis, modernis, dan
tuntutan Barat.[11]
Ahmad Amir Aziz Dalam Bukunya Neo-Modernisme
Islam di Indonesia mengatakan, bahwa pemikir-pemikir di atas telah mendapat
banyak simpati dari seluruh lapisan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari
banyaknya buku-buku mereka yang laku di pasaran. Ide-ide mereka pun, meskipun
sering kontroversial, sepat sekali menjadi wacana publik yang mampu menggairahkan
semangat intelektualisme.[12]
Menurut Bachtiar, kemunculan neo-modernisme
sangat menarik mengingat tokoh-tokohnya telah bersentuhan dan mengalami
sosialisasi dengan pemikiran tradisional dan modern sekaligus. Nor Cholis
Madjid dan Abdurrahman Wahid, misalnya.
Dengan demikian, pemikiran neo-modernisme Islam
telah mendapat tempat persemaiannya yang subur di Indonesia, dengan didukung
banyaknya figur – figur yang turut memberikan konstribusinya dalam
mengelaborasi gagasan – gagasan, neo-modernisme makin hari makin kian menemukan
basis yang nyata ditengah pemikiran keagamaan yang begitu plural pada
masyarakat Indonesia.[13]
B. Profil
Abdurrahman Wahid
Abdurrahman Wahid tokoh fenomenal yang dikenal
sebagai pemikir, briliant, rasional, kiprah dan sepak terjangnya telah banyak
mewarnai berbagai bidang: politik, sosial, ekonomi, seni, dan lainnya, lahir
dengan nama Abdurrahman ad dakhil.[14] Secara
leksikal, "Addakhil" berarti "Sang Penakluk", sebuah nama
yang diambil Wahid Hasyim, orang tuanya, dari seorang perintis Dinasti Umayyah
yang telah menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol. Belakangan kata
"Addakhil" tidak cukup dikenal dan diganti nama "Wahid",
Abdurrahman Wahid, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur.
"Gus" adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak
kiai yang berarti "abang" atau "mas".
Gus Dur atau Abdurrahman wahid
adalah putra pertama dari enam bersaudara yang dilahirkan di Denanyar Jombang
Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940. Secara genetik Gus Dur adalah keturunan
"darah biru". Ayah Gus Dur, Wahid Hasyim, Di lahirkan di Tebu Ireng,
Jombang pada bulan Juni 1914. Ia adalah putra pertama dan anak kelima dari
sepuluh bersaudara.[15] Ia adalah
putra dari mantan Menteri Agama RI pertama, K.H. Wahid Hasyim, dengan Ny. Hj.
Solehah, dan merupakan titisan langsung dari para kyai besar di Jawa.
Kakek dari ayahnya K.H. Hasyim Asy’ari adalah ulama besar pengasuh Pondok
Pesantren Tebuireng, Jombang, Jaawa Timur dan pernah memangku jabatan Rais
Akbar Pengurus Besar Nahdlatul ‘Ulama.
Sementara
itu kakek dari pihak ibunya, K.H. Bisri Syamsuri, juga pengasuh Pondok
Pesantren di Denanyar, Jombang dan pernah memangku jabatan Rais ‘Am
Pengurus Besar Nahdlatul ‘Ulama. Kedua kakek Abdurrahman Wahid inilah yang
merupakan tokoh dan kyai cikal-bakal pendiri organisasi keagamaan Nahdlatul
‘Ulama (NU), di samping K.H.A. Wahab Hasbullah.
Dalam
banyak aspek Abdurrahman Wahid seakan memang telah dipersiapkan sebagai “putra
mahkota” yang kelak akan memimpin Nahdlatul ‘Ulama sebagai pewaris cita-cita
ayahnya dan kakek-kakeknya. Idealisme yang dicita-citakan ayahnya, K.H Wahid
Hasyim terhadap putranya ini tergambar jelas dari nama yang diberikannya:
Abdurrahman Ad-dakhil atau “Sang Penakluk”, sebuah nama yang diambil K.H.
Wahid Hasyim dari seorang perintis Dinasti Umayyah yang telah menancapkan
tonggak kejayaan Islam di Spanyol beradab silam.[16]
Setamat
Sekolah Dasar di Jakarta tahun 1953, Abdurrahman Wahid melanjutkan
pendidikannya pada Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di Yogyakarta ia berdiam di
rumah salah seorang teman Ayahnya, K.H Junaidi. Yang menarik adalah bahwa K.H
Junaidi adalah salah seorang sejumlah kecil ulama' yang terlibat dalam gerakan
Muhammadiyah pada periode itu. Ia anggota Majlis Tarjih atau Dewan Penasehat
Agama Muhammadiyah.[17]
Hal ini mungkin biasa-biasa saja, tetapi saat itu, dan bahkan dalam
beberapa dasawarasa kemudian, secara relatif hampir tidak terdapat pertautan
antara kaum modernis Muhammadiyah dan kaum tradisional NU. Sebagaimana NU dulu
dan sekarang, merupakan organisasi Ulama' yang mewakili Islam tradisional di
Indonesia, hampir semua kaum Modernis tergabung dalam Muhammadiyah. dan lulus
tahun 1957, sambil sesekali belajar mengaji pada K.H.Ali Maksum di Krapyak,
Pendidikan keagamaan selanjutnya diasa di bebrapa pondok pesantren Nahdlatul
‘Ulama terkemuka, antara lain di pesantren Tegalrejo, Magelang dengan
menyelesaikan waktu belajarnya kurang dari separoh santri pada umumnya
(1957-1959). Dari tahun 1959 hingga 1963, ia belajar di Mu’allimat Bahrul
‘Ulum, pesantren Tambaberas, Jombang, Jawa Timur kepada K.H. Wahab Hasbullah.[18]
Berikutnya
ia kembali ke Yogyakarta untuk mondok di pesantren Krapyak, dan tinggal tinggal
di rumah pemimpin Nahdlatul ‘Ulama terkemuka K.H. Ma’shum. Setelah itu, beliau melanjutkan studinya
ke Al-Azhar University Kairo Mesir dengan mengambil jurusan Departement of
Higher Islamic and Arabic studies di
Universitas al-Azhar, Kairo (Mesir) pada tahun 1964, Gus Dur dibuat kecewa
dengan atmosfir intelektual di al-Azhar yang bisa memadamkan potensi
pribadinya, karena tehnik pendidikannya yang masih bertumpu pada kekuatan
hafalan, untuk itu ia banyak menghabiskan waktunya di perpustakaan –
perpustakaan di kairo, kemudian pada tahun 1960 pindah ke Fakultas Sastra
Universitas Baghdad.
Pada saat di Baghdad rasa kekecewaan di kairo telah terobati, ia menunjukan minat yang serius terhadap kajian
Islam di Indonesia, hingga selama dua tahun terakhir di Baghdad Gus Dur
memfokuskan diri pada riset mengenai sejarah Islam di Indonesia.[19]
Pada tahun 1971, ia menjajaki salah satu di Universitas Eropa untuk
melanjutkan pendidikannya disana. Akan tetapi, harapannya tidak kesampaian
karena kualifikasi- kualifikasi mahasiswa dari Timur Tengah tidak diakui
Universitas-Universitas di Eropa. Selanjutnya, yang memotivasi Abdurrahman
Wahid untuk pergi ke MC Gill University Kanada untuk mempelajari kajian-kajian
ke Islaman secara mendalam. Namun pada akhirnya, ia memutuskan untuk kembali ke
Indonesia setelah terilhami berita-berita menarik sekitar perkembangan dunia
pesantren.
Sekembalinya di Indonesia, Gus Dur kembali ke Jombang, menjadi guru.
Pada tahun 1971, ia mengajar di Fakultas Ushuluddin Universitas Hasyim Asy'ari
Jombang. Tiga tahun kemudian oleh pamannya, K. H. Yusuf Hasyim, di beri amanat
untuk menjadi sekretaris umum Pesantren Tebuireng, Jombang. Pada tahun yang
sama Gus Dur mulai aktif menulis. Lewat tulisan – tulisannya, gagasan, dan
pemikiran Gus Dur mulai mendapatkan perhatian dari khalayak, pada awal tahun
1980, Gus Dur dipercaya sebagai wakil Katib Syuriah PBNU. Dan Gus Dur pun
menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahun 1983.[20]
Pada
Muktamar ke-27 di Situbondo, 18-21 Desember 1984, bersama dengan K.H. Achmad
Shiddiq, terpilih masing – masing ketua Tanfidziyah dan Syuriah PBNU. Posisi
ini bertahan sampai dipilih kembali pada muktamar di Yogyakarta tahun 1989.
Sampai dengan muktamar di cipasung tahun 1994 lalu, kedudukan Abdurrahman Wahid
(Gus Dur) masih kuat dan tetap dipercaya memimpin organisasi Islam terbesar ini
bersama K.H. Ilyas Ruchiyat. Di luar NU beliau aktif di forum – forum lainnya.
Di tingkat internasional ia adalah seorang ketua WCRP (world Conference For
Religion and Peace), di samping itu pernah menerima penghargaan Ramon
Magsaysay pada tahun 1993.[21]
Sebagai
intelektual Sunni tradisional pada umumnya, Gus Dur membangun
pemikirannya melalui paradigma konstektualisasi khazanah pemikiran sunni
klasik.[22] Oleh
karena itu wajar saja jika yang menjadi kepedulian utamanya minimal menyangkut
tiga hal. Pertama, revitalisasi khazanah Islam tradisional Ahl-As-Sunnah
Wal Jama’ah. Kedua, ikut berkiprah dalam wacana modernisme, dan ketiga,
berupaya melalukan pencarian jawaban atas persoalan kongkrit yang dihadapi
umat Islam Indonesia. Corak pemikiran Gus Dur yang liberal dan inklusif sangat
di pengaruhi oleh penelitiannya yang panjang tentang khazanah pemikiran Islam
tradisional yang kemudian menghasilkan reinterprestasi dan kontekstualisasi.[23]
Jika dilacak,
dari segi kultural, Gus Dur melintasi tiga model lapisan budaya. Pertama,
kultur dunia pesantren yang sangat hirarkis, penuh dengan etika yang serba
formal, dan apreciate dengan budaya lokal. Kedua, budaya timur tengah
yang terbuka dan keras; dan ketiga, lapisan budaya barat yang liberal,
rasional dan sekuler. Semua lapisan kultural itu tampaknya terinternalisasi
dalam pribadi Gus Dur mebentuk sinergi. Hampir tidak ada yang secara dominan
berpengaruh membentuk pribadi Gus Dur. Ia selalu berdialog dengan semua watak
budaya tersebut. Dan inilah barangkali anasir yang menyebabkan Gus Dur selalu
kelihatan dinamis dan tidak segera mudah dipahami, alias kontroversi.[24]
C.
Pemikiran Abdurrahman Wahid dalam Wacana Neo-Modernisme
1.
Islam dan
Negara
Abdurrahman
Wahid mengemukakan bahwa dalam Islam sama sekali tidak memiliki bentuk negara,
yang penting bagi Islam adalah etik kemasyarakatan, alasannya Islam tidak
mengenal konsep pemerintahan yang definitif. Dalam persoalan yang paling pokok
adalah suksesi kekuasaan Islam tidak memiliki bentuk tetap, terkadang memakai istikhaf,
ba’iat, dan ahl-halli wal aqdi. Ini menunjukkan kalau Islam punya
konsep yang baku pastilah tidak akan terjadi bentuk yang sedemikian beragam.[25]
Berdirinya negara Indonesia itu lebih disebabkan oleh adanya kesadaran
berbangsa, bukan karena sekedar adanya faktor ideologi Islam. Ini merupakan
kenyataan yang harus diterima secara obyektif sebab ia merasakan adanya gejala,
kenyataan objektif demikian belum tuntas dipahami oleh sebagian aktifis
pergerakan Islam di Indonesia. Ia berpendapat, ajaran agama sebagai komponen
yang membentuk dan mengisi kehidupan warga negara Indonesia, seharusnya
diperankan sebagai faktor komponen – komponen lain. Dengan begitu, ia tidak
akan berfungsi sebagai faktor tandingan yang dapat mengundang disintegrasi
dalam kehidupan berbangsa secara keseluruhan.
Gus Dur juga
mengkritiki adanya kecenderungan sebagian aktifis pergerakan Islam yang
berpegang pada pola idelistik yang menganggap Islam sebagai alternatif terhadap
paham – paham kenegaraan lain, yang berisikan agar umat Islam dapat menerima
kesadaran dan wawasan kebangsaan sebagai realitas objektif dan tidak perlu
dipertentangkan, mengingat Indonesia sebagai suatu nation mempunyai
pluralitas sosiohistoris yang berbeda dengan asal muasal Islam di Saudi Arabia.
Gus Dur tidak sependapat jika Islamisasi di Indonesia diarahkan pada proses
Arabisasi, karena itu akan memuat tercabutnya masyarakat Indonesia dari akar
budayanya sendiri. Inilah yang disebut ”Pribumisasi Islam”[26]
Gagasan
”pribumisasi Islam” dimaksudkan Gus Dur sebagai jawaban atas problema yang
dihadapi umat Islam sepanjang sejarahnya, yakni bagaimana mempertemukan budaya
(’adah) dengan norma (syariah), sebagaimana juga menjadi persoalan dalam ushul
fiqh. Menurut Gus Dur, tumpang tindih antara agama dan budaya akan terjadi
terus menerus sebagai suatu proses yang akan memperkaya kehidupan dan akan
membuatnya tidak gersang. Agama (Islam) dan budaya mempunyai independensi
masing-masing, tetapi keduanya memang mempunyai wilayah tumpang tindih,
sebagaiman filsafat dan ilmu pengetahuan. Orang tidak akan bisa berfilsafat
tanpa ilmu pengetahuan, tetapi juga tidak bisa dikatakan bahwa ilmu pengetahuan
adalah filsafat. Di antara keduanya (agama dan budaya) terjadi tumpang tindih
dan sekaligus perbedaan-perbedaannya.
”Pribumisasi
Islam” dengan demikian, menurut Gus Dur adalah suatu pemahaman yang
mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal didalam merumuskan hukum-hukum agama
tanpa merubah hukum itu sendiri. ”pribumisasi Islam” bukan suatu upaya
meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma-norma itu menampung
kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan
oleh variasi pemahaman nash, dengan tetap memberikan peranan kepada ushul
fiqh dan qawaid al-fiqh. Disini, wahyu-dalam pandangan gus dur harus
dipahami dengan mempertimbangkan faktor-faktor kontekstual, termasuk kesadaran
hukum dan rasa keadilan.
Dalam proses
ini pembauran Islam dengan budaya menurut Gus Dur tidak boleh terjadi, sebab
berbaur berarti hilangnya sifat-sifat asli. Islam harus tetap pada sifat
keilamannya. Al-Quran harus tetap dalam bahasa arab, terutama dalam solat,
sebab hal ini telah merupakan norma. Sedang terjemahan Al-Quran hanyalah
dimaksudkan untuk mempermudah pemahaman, bukan menggantikan Al-Quran itu
sendiri.
Adapun
persoalan yang muncul adalah kenyataan bahwa negara bangsa dan wawasan
kebangsaan merupakan fakta yang tidak bisa dihindari. Dengan kata lain,
idealisasi Islam sebagai konstruk sosial (atau negara) yang ideal hanya
merupakan pelarian dari kenyataan.[27]
Abdurrahman wahid mencoba menetralisir ketegangan hubungan Islam dan Negara
dengan dua tawaran: Menjadikan etika sosial dalam kehidupan bernegara dan
pribumi Islam. Dua tawaran ini yang satu sama lain bersifat saling menun jang
tang mempunyai implikasi sosiaologis – politis yang tidak terelakan yaitu menempatkan
Islam sebagai faktor komplementer dalam kehidupan sosio-kultural dan politik
Indonesia.[28]
Gus Dur juga melihat Hubungan Islam dengan Pancasila dari prespektif
sosiologi-politik, khususnya dari segi hubungan fungsional dan simbiotik
diantara keduannya. Bagi Gus Dur, agama dan pancasila tidak boleh diidentikkan
secara menyeluruh karena fungsi masing – masing berbeda. Pancasila berfungsi
sebagai landasan hidup berbangsa dan bernegara, maka ia haruslah mewadai
aspirasi agama – agama dan menopang kedudukannya secara fungsional. Sedangkan
agama merupakan landasan keimanan warga masyarakat dan menjadi unsur motivatif
dinamikanya.[29]
Gus Dur
mengatakan:
“Tanpa
pancasila Negara akan bubar. Pancasila adalah seperangkat asas yang akan ada
selamanya. Ia adalah gagasan tentang Negara yang harus kita miliki dan kita
perjuangkan”.
Dari
perkataan tersebut, Wahid hendak menempatkan islam tidak secara formal. Tetapi,
nilai-nilai islam lah yang harus dipegang sebagai fondasi moral umat islam
dalam masyarat majemuk seperti Indonesia.
Gus
Dur menunjukkan adanya komitmen untuk perkembangan misi kearah menyatunya Islam
dalam tubuh bangsa Indonesia, yang mana telah memberikan sumbangan konseptual
yang cukup berarti dan mempunyai dampak sosio-politis luas, yakni makin kohesif
dan tuntasnya visi keislaman dalam bingkai wawasan kebangsaan.
2.
Islam dan Pluralisme
Dalam hal ini para pakar agama – agama berpendapat bahwa pluralisme
dunia modern ini merupakan pengalaman baru. Pluralisme tradisional, orang –
orang berlatar belakang berbeda, baik suku, ras dan agama, dan atas perbedaan
itu hidup masing – masing di suatu komunitas yang berbeda pula, namun tak ada
kesulitan dalam hubungan antar agama, karena tak ada sesuatu hal yang mendorong
mereka untuk tidak mau berinteraksi. Pluralisme modern adalah konsekuensi logis
dari munculnya mesyarakat modern. Maka sikap pluralism bagian penting dari
upaya untuk merespon kemodernan secara tepat.[30]
Tulisan Gus Dur
berjudul “Pengembangan Fiqih
Secara Kontekstual”,
dipaparkan bahwa Ideologi
pluralisme yang dibawa Beliau dan penghormatannya terhadap
pluralitas sepenuhnya berdasarkan pemahaman yang
mendalam terhadap ajaran
Islam dan juga
tradisi keilmuan NU sendiri.
Pertama, prinsip pluralisme secara
tegas diakui di dalam kitab
suci. Al-Qur’an secara
tegas mendeklarasikan bahwa pluralitas masyarakat
dari segi agama,
etnis, warna kulit,
bangsa, dan sebagainya,
merupakan keharusan sejarah
yang menjadi kehendak Allah
(sunnatullah). Karena itu,
upaya penyeragaman dan
berbagai bentuk hegemonisasi yang
lain, termasuk dalam
hal pemahaman dan implementasi ajaran agama, merupakan
sesuatu yang bertentangan dengan semangat dasar al-Qur’an.
Pluralitas agama dan
masyarakat menjadi alat
uji parameter kualitas
keberagamaan umat, apakah dengan pluralitas itu setiap kelompok atau umat beragama bisa
hidup berdampingan secara
damai dengan pemeluk agama
lain dengan semangat
saling belajar dan
saling menghormati. Atau sebaliknya, pluralitas itu justeru menjadi
alasan untuk membangun klaim-klaim kebenaran yang bersifat sectarian.[31]
Kedua, nalar keragaman
NU sepenuhnya dibangun
di atas spirit pluralisme. NU mengikuti tradisi pemikiran madzhab yang menjadi pilar
tegaknya peradaban fiqih.
Ajaran Islam digali
secara langsung dari sumbernya, tetapi
melalui pemikiran, NU
terhindar dari pendekatan tekstual dan
interpretasi tunggal terhadap
al-Qur’an dan al-Hadis.
Fiqih dirumuskan sebagai hukum atau kumpulan hukum yang ditarik dari
dalil-dalil syar’i, yaitu al-Qur’an dan al-Hadis (al-ahkam al-mustanbathah
min adillatiha al-syar’iyyah). Definisi ini
menurut Gus Dur,
secara jelas menampakkan adanya
proses untuk memahami situasi yang di situ ayat al-Qur’an dan
al-Hadis memperoleh pengolahan
untuk disimpulkan berdasarkan
kebutuhan manusia.[32] Di
sini nyata terlihat bahwa pluralisme yang
dikembangkan Gus Dur
adalah revitalisasi dari
ajaran Islam dan tradisi yang berfikir pesantren yang
telah berkembang selama berabad – abad.
Toleransi yang diajarkan dan dipraktekkan Gus Dur tidak sekedar menghormati dan
menghargai keyakinan atau
pendirian orang lain
dari agama yang berbeda,
tetapi juga disertai
kesediaan untuk menerima ajaran-ajaran yang
baik dari agama
lain, dalam sebuah
tulisannya yang berjudul Intelektual di
Tengah Eksklusivisme, Gus
Dur pernah mengatakan:
Saya membaca, menguasai, menerapkan
al-Qur’an, al-Hadis, dan kitab-kitab Kuning
tidak dikhususkan bagi
orang Islam. Saya bersedia memakai yang mana pun asal
benar dan cocok dan sesuai hati nurani. Saya
tidak mempedulikan apakah kutipan
dari Injil, Bhagawad Gita, kalau
bernas kita terima. Dalam masalah
bangsa, ayat al-Qur’an kita
pakai secara fungsional,
bukannya untuk diyakini secara
teologis. Keyakinan teologis
dipakai dalam persoalan mendasar.
Tetapi aplikasi adalah
soal penafsiran. Berbicara
masalah penafsiran berarti bukan lagi
masalah teologis, melainkan sudah
menjadi masalah pemikiran.[33]
Empat pemahaman tentang pluralisme agama yang dihubungkan dengan
kebenaran agama sehingga muncul truth claim, Pertama, pada
dasarnya setiap agama memiliki kebenaran, sebab kebenaran mutlak hanya ada pada
satu agama, di agama lain tidak ada. Kedua, kebenaran ada pada tiap –
tiap agama, tetapi kebenaran itu ada pada masing – masing agama secara
menyeluruh. Ketiga, kebenaran itu ada pada masing – masing agama secara
menyeluruh. Keempat, kebenaran sekalipun ada pada masing – masing agama,
pada akhirnya akan menuju pada kebenaran tunggal, secara regulatif.[34]
Gus Dur sangat berusaha menghilangkan sikap kebencian hanya membawa
pada permusuhan. Padahal misi agama adalah perdamaian, sesuatu yang bertolak
belakang dengan permusuhan. Sikap benci dan memusuhi adalah lawan paham
pluralism, karena pluralisme meniscayakan adanya keterbukaan, sikap toleransi
dan saling mengahargai kepada manusia secara keseluruhan.[35]
Karena Islam di Indonesia mempunyai potensi besar dalam mempelopori pluranisme
dan toleransi beragama, hanya saja, harus ada usaha yang continue dalam membina
kerukunan seraya mencari penyelesaian secara damai manakala timbul konflik. Dari
sini adanya progam pengembangan untuk membangun kerja sama dan dialog antar
umat beragama, karena sifat Truth-Claim selalu melekat pada diri pemeluk
agama, tetapi justru adanya perbedaan pengalaman dan penghayatan keagamaan itu
dimungkinkan adanya titik temu.[36]
yang dapat mengukuhkan konsep pluranisme agama di Indonesia.
3.
Islam dan Demokrasi
Neo-modernisme
menganggap bahwa tak ada pertentangan antara islam dan demokrasi. Tetapi,
mencari kaitan antara keduanya tidak terlalu mudah. Sebab, kalau kita ingat,
sejumlah idiologi pernah menyatakan kritik terhadap agama. Misal, hanya
dipandang tak lebih sebagai keluh masyarakat tertindas. Sisi positif agama
hanya sebagai penenang sementara. Sementara bagi masyarat yang mapan, agama
hanya dijadikan legitimasi kekuasaan. Di sisi lain, sebagaimana pandangan ulama
dan penguasa politik, bahwa dalam islam tak ada tempat untuk demokrasi. Alasan
mereka adalah bahwa demokrasi adalah kekuasaan di tangan rakyat. Sementara
dalam doktrin islam kekuasaan mutlak berpusat pada kekuasaan tuhan.[37]
Oleh karena
itu, Islam dan demokrasi, bagi kalangan neo-modernis, ditafsirkan sebagai
sesuatu yang sesuai, tidak ada benturan- dalam arti asalnya. Gus Dur lebih
menekankan pada hubungan fungsional dan simbiotik. Menurutnya, islam
adalah seluruh keimanan umat islam, sementara pancasila harus mewadahi
seluruh aspek agama di Indonesia.[38]
Demokrasi
menjadi keharusan yang harus dipenuhi bukan saja karena demokrasi sangat
memungkinkan terbentuknya suatu pola interaksi dan relasi politik yang equal
tidak eksploitatif, tetapi demokrasi sangat mendukung tegaknya pluralisme
bangsa. Minat Gus Dur sangat tinggi terhadap demokrasi didorong oleh
cita – cita untuk menegakkan pluralisme itu. Dalam dunia modern, demokrasilah
yang dapat mempersatukan beragam arah kecenderungan kekuatan – kekuatan bangsa.
Demokrasi dapat mengubah keretcerai – beraian arah masing – masing kelompok
menjadi berputar bersama – sama menuju arah kedewasaan, kemajuan dan integritas
bangsa. Demokrasi menjadi sedemikian penting dalam sebuah Negara yang
pluralistic karena ternyata
perikehidupan kebangsaan yang utuh hanya bisa tercapai dan tumbuh dalam suasana
demokratis.[39]
Menurutnya,
nilai demokrasi itu ada yang bersifat pokok dan yang bersifat lanjutan. Adapun
nilai pokok itu adalah kebebasan, keadilan dan musyawarah. Kebebasan yang
dimaksud adalah kebebasan individu dilam kuasa Negara atau hak individu dan hak
kolektif dalam masyarakat. Keadilan memiliki arti bahwa terbukanya peluang bagi
warga Negara untuk melakukan apa yang diinginkan. Sementara musyawarah berarti
bentuk atau cara pemeliharaan kebebasan dan dan memperjuangkan keadilan itu
lewat jalur permusyawaratan.[40]
Untuk mencapai keadilan bagi seluruh warga Negara tidak hanya ditentukan
sepihak dari pihak pengelola Negara tetapi harus melaui musyawarah dengan
masyarakat yang ada. Pemilihan umum merupakan representasi dari sistem
musyarawah itu sendiri.
Barton sendiri menyebut lima ciri yang menonjol dalam
aliran neo-modernisme, perubahan dan pembangunan. Hal ini bukan berarti neo
modernisme tidak bersikap kritis terhadap pembangunan. Aliran ini justru sangat
kritis terhadap aspek-aspek tertentu dari pembangunan.
Kedua, tidak seperti
aliran fundmentalisme, neo modernisme tidak melihat Barat sebagai ancaman atas
Islam dan Umatnya. Peradaban Barat dan Islam harus saling mengisi. Dalam
konteks ini neo-modernisme tidak hanya membela ide-ide Liberal Barat seperti
demokrasi dan Hak Asasi Manusia, tetapi juga mengajukan argumentasi bahwa Islam
mempunyai kepedulian yang sama dengan Barat mengenai hal itu.
Ketiga,
neo-modernisme Islam mengafirmasi semangat “sekularisasi” dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara sebagai salah satu upaya membangun titik temu antara
Islam dan negara. Preferensi ini didasarkan pada asumsi bahwa al-Qur’an dan
Sunnah bukan saja tidak memuat cetak biru (blue print) untuk sebuah negara
Islam, tetapi juga tidak menentukan bahwa negara Islam merupakan suatu
keharusan
Keempat, Neo-modernisme
sangat mengedepankan pemahaman Islam yang terbuka, inklusif dan liberal,
uatamanya dalam menerima dan mengafirmasi pluralisme masyarkat dan menekankan
signifikansi toleransi dan harmoni dalam hubungan antar-komunal.
Kelima, Neo-modernisme banyak mewarisi semangat
Muhammad Abduh dalam rasionalisme ijtihad secara kontekstual. Berbeda dengan
kaum modernis sebelumnya, neo-modernisme berusaha membuat suatu sintesa antara
khasanah pemikiran Islam tradisional dengan kaharusan berijtihad, serta dengan
gagasan-gagasan Barat dengan ilmu-ilmu sosial dan humaniora.[41]
Menurut Gus Dur Suatu
Negara disebut demokratis manakala mampu menjamin hak – hak dasar – dasar
manusia yang meliputi:
1.
Jaminan
keselamatan Fisik
2.
Jaminan
keselamatan keyakinan beragama
3.
Jaminan
kehidupan keutuhan rumah tangga
4.
Jaminan
keselamatan Hak milik
5.
Jaminan
kesehatan akal[42]
Dari pandangan tersebut bahwasanya agama baik secara teologis
maupun sosiologis sangat mendukung proses demokratisi. Agama lahir dan
berkembang dengan misi untuk melindungi dan menjunjung tinggi harkat manusia.
Aktualisasi dari nilai kemanusiaan yang amat substansial dan universal selalu
mengasumsikan terwujudnya keadilan dan kemerdekaan yang diyakini sebagai hak
asasinya. Dalam konteks ini maka demokrasi dalam proses demokratisi merupakan
kondisi niscaya bagi terwujudnya keadilan dan hak kemerdekaan seseorang.
Oleh karena itu, meskipun agama tidak secara sistematis mengajarkan
praktek demokrasi namun agama member etos, spirit, dan muatan doctrinal yang
mendorong bagi terwujudnya kehidupan demokratik, dan Islam sebagai sebuah agama
maupun masyarakat muslim sebagai pemeluknyam telah memberikan sumbangannya
salam proses sampai kini terus berlangsung. Maka Islam secara tegas akan tetap
memberikan warna bagi bentuk demokrasi Indonesia.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian
dan analisis tentang
Neo-Modernisme Islam Di Indonesia menurut pemikiran Abdurrahman Wahid yang merupakan
salah satu tokoh neo-modernisme, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai
berikut:
1.
Menurut
Abdurrahman Wahid Pribumisasi Islam bukanlah “Jawanisasi” atau sinkritisme,
sebab pribumisasi Islam hanya mempertimbangkan kebutuhan – kebutuhan local
didalam merumuskan hukum – hukum agama, tanpa merubah hukum Negara, juga bukan
meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma – norma itu menampung
kebutuhan – kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan
oleh variasi pemahaman nash, dengan tetap memberikan peranan kepada ushul
fiqh dan qaidah fiqh.
2.
Menurut
Abdurrahman Wahid pluralisme merupakan adanya keterbukaan, menerima perbedaan
sebagai sunnatullah agar saling
mengenal, menghindari perpecahan,
mengembangkan kerjasama dengan
menanamkan rasa saling pengertian, saling memiliki dan bersikap inklusif, tidak
membatasi pergaulan dengan
siapapun, namun tetap meyakini kebenaran
agama sendiri dengan
tidak mempersamakan keyakinan
secara total.
3.
Abdurrahman
Wahid membangun pemikirannya dengan paradigma kontekstualisasi khasanah
pemikiran sunni tradisional. Pada tataran ini ia merumuskan pemikirannya yang
liberal dan inklusif berdasarkan teori ashul al-fiqh dan qawaid al-fiqhiyyah,
yang keduannya menurut Abdurrahman Wahid sudah menyediakan berbagai rumusan
dasar untuk membangun pemikiran baru yang kontekstual, inklusif, toleran
terhadap pluralitas, termasuk terhadap nilai-nilai baru yang muncul.
Abdurrahman Wahid dengan mudah merumuskan teori demokrasinya dengan menggunakan
teori
DAFTAR
PUSTAKA
Aziz, Ahmad
Amir, Neo Modernisme Islam di Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 1999.
Bakri, Syamsul, Mudhofir, Jombang-Kairo, Jombang-Chicago:
sintesis pemikiran Gus Dur dan Cak Nur dalam pembaharuan Islam di Indonesia,
Solo: Tiga Serangkai, 2004.
Barton , Greg, Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of
Abdurrahman Wahid, Yogyakarta: LKiS, 2009
, “Indonesia’s Nurcholish
Madjid and Abdurrrahman Wahid as Intelectual Ulama: The Meeting of
Islamic Traditionalism and Modernism in Neo-Modernist Thought”, dalam Islam
and Christian Muslim, CSIC, Birmington, Vol. 8, No. 3, 1999.
Catatan Kritis kaum muda, ICMI Negara dan Demokrasi,
Yogyakarta: Kelompok Studi Lingkaran, 1995.
Dhakiri, M. Hanif, Mewarisi Kebesaran Gus Dur, Yogyakarta:
LKiS, 2010.
Madjid ,Nurcholis, Islam,
Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1987.
Masdar, Ummaruddin, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais
tentang Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1999.
Qodir , Zuli, Pembaharuan
Pemikiran Islam, Wacana Dan Aksi Islam di Indonesia, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2006.
Rifai, Muhammad, Gus Dur: KH. Abdurrahman Wahid biografi Singkat
1940-2009, Jogjakarta: Garasi House of Book, 2010.
Roziqin, Badiatul, dkk., 101 Jejak Tokoh Islam
Indonesia, Yogyakarta: e-Nusantara, 2009.
Tim INCReS, Beyond
The Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran Dan Gerakan Gus Dur, Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2000.
Wahid, Abdurrahman, Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta:
LKiS, 2010.
Zen, Muhammad Taufiek, Islam dan ProsesModernisasi di Indonesia,
Jakarta: Departemen agama, 1985.
Nugroho,
Anjar, Dkk, Islam dan Demokrasi
(studi pemikiran amien rais dan abdurrahman wahid) http://pemikiranislam.files.wordpress.com/2007/07/makolah-ilmiah-anjar.doc di akses hari Rabu 16 April 2014 jam 10.00 WIB
[1] Ahmad Amir Aziz, Neo Modernisme Islam di
Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1999), hal. 15
[2] Zuli Qodir, Pembaharuan Pemikiran Islam,
Wacana Dan Aksi Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006),
hal. 66
[3] Zuli Qodir, Pembaharuan Pemikiran Islam,
Wacana Dan Aksi Islam di Indonesia, hal. 66
[4] Syamsul Bakri,
Mudhofir, Jombang-Kairo, Jombang-Chicago: sintesis pemikiran Gus Dur dan Cak
Nur dalam pembaharuan Islam di Indonesia, (Solo: Tiga Serangkai, 2004),
hal. 10
[5] Muhammad
Taufiek Zen, Islam dan ProsesModernisasi di Indonesia, Jakarta:
Departemen agama, 1985, hal. 8
[6] Ahmad Amir Aziz, Neo Modernisme Islam di Indonesia,
hal. 4
[7] Ahmad Amir Aziz, Neo Modernisme Islam di
Indonesia, hal. 7
[8] Syamsul Bakri,
Mudhofir, Jombang-Kairo, Jombang-Chicago: sintesis pemikiran Gus Dur dan Cak
Nur dalam pembaharuan Islam di Indonesia, hal. 11
[9] Zuli Qodir, Pembaharuan Pemikiran Islam,
Wacana Dan Aksi Islam di Indonesia, hal. 67
[10] Nurcholis,
Madjid, Islam, Kemodernan dan
Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1987), hal. 207
[11]
Barton, Greg, “Indonesia’s
Nurcholish Madjid and Abdurrrahman Wahid as Intelectual Ulama: The
Meeting of Islamic Traditionalism and Modernism in Neo-Modernist Thought”,
dalam Islam and Christian Muslim, CSIC, Birmington, Vol. 8, No. 3, 1999,
hal. 345
[12] Ahmad Amir Aziz, Neo Modernisme Islam di
Indonesia, hal. 8
[13] Ahmad Amir Aziz, Neo Modernisme Islam di Indonesia,
hal. 20
[14]
Badiatul
Roziqin, dkk., 101 Jejak Tokoh
Islam Indonesia, Yogyakarta:
e-Nusantara, 2009, hlm. 35.
[15] Greg Barton, Biografi
Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, (Yogyakarta: LKIS),
hlm. 30.
[16]
Muhammad Rifai,
Gus Dur: KH. Abdurrahman Wahid biografi Singkat 1940-2009, Jogjakarta:
Garasi House of Book, 2010, hal. 27
[17] Badiatul
Roziqin, dkk., 101 Jejak Tokoh
Islam Indonesia, hal. 36
[18]
Ahmad Amir Aziz, Neo Modernisme Islam di
Indonesia, hal. 29
[19] Muhammad Rifai,
Gus Dur: KH. Abdurrahman Wahid biografi Singkat 1940-2009, hal. 35
[20] Muhammad Rifai,
Gus Dur: KH. Abdurrahman Wahid biografi Singkat 1940-2009, hal. 37
[21] Ahmad Amir Aziz, Neo Modernisme Islam di
Indonesia, hal. 30
[22] Ummaruddin
Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais tentang Demokrasi,
Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1999, Hal. 121
[23] Ummaruddin
Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais tentang Demokrasi, hal.
126
[24] Tim
INCReS, Beyond The Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran Dan Gerakan Gus Dur,
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000, hlm.39
[25] Ahmad Amir Aziz, Neo Modernisme Islam di
Indonesia, hal. 41
[26] Ahmad Amir Aziz, Neo Modernisme Islam di
Indonesia, hal. 43
[27] Ummaruddin
Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais tentang Demokrasi, hal.
132
[28] Ummaruddin
Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais tentang Demokrasi, hal.
133
[29] Ahmad Amir Aziz, Neo Modernisme Islam di
Indonesia, hal. 46-47
[30] Catatan Kritis
kaum muda, ICMI Negara dan Demokrasi, Yogyakarta: Kelompok Studi
Lingkaran, 1995, hal. 4
[31] M. Hanif
Dhakiri, Mewarisi Kebesaran Gus Dur, Yogyakarta: LKiS, 2010, hal. 63-64
[32] M. Hanif
Dhakiri, Mewarisi Kebesaran Gus Dur, hal. 67
[33] Abdurrahman
Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta: LKiS, 2010. Cet. II, hal.
204
[34] Zuli Qodir, Pembaharuan Pemikiran Islam,
Wacana Dan Aksi Islam di Indonesia, hal. 90-91
[35] Ahmad Amir Aziz, Neo Modernisme Islam di
Indonesia, hal. 59-60
[36] Ahmad Amir Aziz, Neo Modernisme Islam di
Indonesia, hal. 62
[37] Ahmad Amir Aziz, Neo Modernisme Islam di
Indonesia, hal. 63-64
[38] Zuli Qodir, Pembaharuan Pemikiran Islam,
Wacana Dan Aksi Islam di Indonesia, hal. 85
[39] Ummaruddin
Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais tentang Demokrasi, hal.
144
[40] Ahmad Amir Aziz, Neo Modernisme Islam di
Indonesia, hal. 65-66
[41]Anjar Nugroho, Dkk, Islam
dan Demokrasi (studi pemikiran amien rais dan abdurrahman wahid), hal.
11-12 http://pemikiranislam.files.wordpress.com/2007/07/makolah-ilmiah-anjar.doc di akses hari Rabu 16 April 2014 jam 10.00 WIB
[42] Ahmad Amir Aziz, Neo Modernisme Islam di
Indonesia, hal. 70
Tidak ada komentar:
Posting Komentar