Menulislah sesuai kemampuanmu

Rabu, 23 April 2014

Neo-Modernisme Islam di Indonesia (Tela’ah pemikiran Abdurrahman Wahid)





Neo-Modernisme Islam di Indonesia (Tela’ah pemikiran Abdurrahman Wahid)

By: Evi Muzaiyidah Bukhori (Mahasiswi Pascasarjana PBA UIN Maliki Malang)
 
BAB I
PENDAHULUAN
Pada umumnya kaum muslim dimanapun mengakui bahwa ajaran agama Islam bersumber pada Al-Qur’an dan Hadist. Tetapi untuk memahami agama tidak  cukup hanya memahami sumber – sumber ajaranya saja, karena ajaran itu akan senantiasa mengalami proses aktualisasi ke dalam realitas social penganutnya. Aktualisasi ini setidaknya akan dipengaruhi oleh kecenderungan corak pemahaman dan penafsiran terhadap doktrin tertentu.
 Dinamika pemikiran dan adu kekuatan antara konservatisme (paham yang selalu menengok Islam ke masa lalu) dan progresivisme (paham yang ingin merekonstruksi Islam untuk masa depan) merupakan agenda laten umat Islam sepanjang sejarah. Oleh karena itu, ketika istilah ‘pembaharuan’ Islam dikemukakan, sikap umat Islam sering ragu-ragu dan ambivalen; antara setuju karena hal itu merupakan kebutuhan dan ragu-ragu karena takut akan menggerogoti doktrin agama. Dalam konteks tersebut, menarik untuk diamati gagasan pembaharuan Abdurrahman Wahid, atau yang terkenal dengan Gus Dur, di Indonesia.
Konservatisme dan progresivisme di Indonesia mengakibatkan munculnya pola pikir tradisionalisme dan modernisme yang masing-masing pola pikir tersebut bersikukuh mempertahankannya. Dua pola pikir tersebut itulah yang mendominasi pemikiran dan pemahaman terhadap Islam di Indonesia yang kemudian disusul pola pikir yang berusaha menggabungkan dua pola pemikiran tersebut yang tampaknya ditransfer dari pemikiran Fazlurahman. Pola pemikiran tersebut dikenal sebagai pola pemikiran ‘neomodernisme’. Pada pola pemikiran Islam yang terakhir inilah tampaknya gagasan-gagasan Gus Dur dapat diletakkan.
Neomodernisme sebagai pola pemikiran Islam yang dibangun oleh Fazlurrahman itu mendapatkan sambutan di kalangan intelektual yang tumbuh dari kalangan modernis karena ia mengandung agenda-agenda pemikiran yang progresif yang merupakan tuntutan masyarakat modern. Akan tetapi, agenda-agenda ini dibangun di atas tradisi keislaman sehingga pemikiran yang dikembangkan harus mengapresiasi tradisi. Ini membuat gerakan pemikiran neomodernime tersebut bersentuhan dengan kalangan intelektual yang hidup dan dibesarkan di dalam lingkungan tradisionlis. Oleh karena itu, meski Gus Dur berasal dari lingkungan tradisionalis, namun dapat mengakomodir pola pemikiran Islam neomodernisme ini.
Dengan pola pemikiran neomodernisme sebagaimana telah diuraikan di atas, maka gagasan-gagasan Gus Dur dalam masalah masalah keagamaan, kemasyarakatan, kebudayaan, kebangsaan dan lain-lain terasa terlalu kritis, bahkan oleh sebagian orang dianggap nyleneh. Oleh karena, itu gagasan-gagasannya menjadi kontroversial, tetapi meski demikian gagasan-gagasannya itu dianggap discourse atau wacana oleh pemerhati intelektualitas atau kecendikiaan di Indonesia sendiri maupun di luar negeri sehingga gagasan-gagasannya selalu dibicarakan dan pribadinya yang public figur selalu menjadi sumber berita bagi pers.
Bagi orang-orang awam dan pengikut-pengikutnya bahkan ilmuwan intelek sekalipun, Gus Dur sering kali dilihat sebagai pribadi yang misterius, tak terduga, dan weruh sadurunge winarah (bisa mengetahui sesuatu sebelum sesuatu itu terjadi). Sebuah kata – kata jawa yang memiliki makna sangat dalam, sarat dengan hikmah dan misteri.
 Akan tetapi bagi orang yang sinis, Gus Dur barangkali akan dipahami sebagai orang yang memotong jalan orang lain, mengobrak-abrik barisan yang mapan, dan tidak jarang ngawur dan oportunis. Bagi seorang politikus, sikap nyeleneh Gus Dur barang kali akan selalu dikaitkan dengan kepentingan poliitik diri dan kelompoknya, ataupun caper (cari perhatian) dan bagi intelektual yang berjarak, dia mungkin akan menilai Gus Dur  sebagai pribadi yang terkadang baik bahkan sangat baik, dan terkadang ngawur dan bahkan sangat ngawur, tetapi memang punya kenekatan yang luar biasa dalam hal – hal tertentu, terutama dalam situasi yang genting atau menyangkut sesuatu yang prinsip, seperti hak bicara dan berekspresi, hubungan antar agama dan misi perdamaian.
Tulisan ini dimaksudkan untuk melihat dan mengkaji pemikiran Gus Dur sebagai seorang pembaru yang banyak melontarkan ide-ide atau gagasan-gagasan terutama yang menyangkut masalah-masalah keagamaan. Dengan demikian, yang menjadi masalah dalam tulisan ini adalah bagaimana ide-ide pembaruan Gus Dur. Selain ide-idenya, biografi singkat perlu juga ditulis sehingga tokoh yang sedang dibicarakan lebih bisa dikenal dengan sebaik-baiknya dan ide-ide yang dicetuskannya bisa lebih mudah dipahami.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Neo-modernisme
Secara sederhana Neo Modernisme dapat diartikan dengan dengan “paham modernisme baru”. Neo-modernisme digunakan untuk memberi identitas baru pada kecendrungan pemikiran islam yang muncul sejak beberapa dekade terakhir sebagai sintesis antara pola pemikiran tradisionalime dan modernisme.[1] Neo-modernisme merupakan tipologi pemikiran islam yang memiliki asumsi dasar bahwa islam harus dilibatkan dalam pergulatan modernisme.[2] Tetapi, dengan catatan, tanpa harus meninggalkan tradisi lama yang sudah mapan. Dengan cara, memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil hal-hal yang baru yang lebih baik.[3] Di Indonesia, semenjak tahun 1970-an sampe Tahun 1990-an, wacana keagamaan telah berkembang menuju wacana cultural. Islam Indonesia tidak luput dari dinamika pemikiran dan gerakan pembaharuan,  ide- ide telah mewarnai corak pemikiran Islam di Indonesia. Antusiasme kalangan Intelektual Islam dalam wacana pemikiran Islam cultural begitu tinggi sehingga sering disebut sebagai masa “antusiasme intelektual” untuk membedakan dengan masa “antusiasme politik” sebagaimana telah terjadi pada masa – masa sebelumnya.[4]
Sebagaimana anggapan paham neo-modernis, paham tradisionalis cenderung terlalu menyatu dengan budaya lokal, bertahan pada produk masa lampau dan sangat selektif dengan gagasan baru. Hal Inilah yang kemudian menyebabkan kecilnya kontribusi paham tradisionali khususnya dalam bidang pemikiran keagamaan.
Dari sini lah kemudian lahirlah paham modernisme. Modernisme adalah suatu perubahan dalam makna – makna yang menghidupi manusia,[5] Modernisme juga merupakan gerakan pembaharuan yang berusaha melawan kemapan paham tradisional. Ciri penting yang menjadi Visi dasar dari paham modernisme adalah usaha pemurnian agama islam dengan memberantas segala yang berbau khurofat dan bid’ah. Paham modern juga ingin melepaskan diri dari ikatan madzhab dan membuka kembali pintu ijtihad.[6] kalangan modern memandang,  hal ini merupakan alternative untuk mengentaskan masyarakat dari kebodohan. Maka tak heran jika bidang garapan yang digalakkan oleh paham ini tidak lepas dari kelembagaan, pendidikan dan keorganisasian.
Namun demikian, apa yang dirancang oleh paham modern ini tidak cukup mampu dan kuat untuk mengatasi problem-problem yang muncul kemudian. Banyak kritik bermunculan. Salah satunya, ia dianggap sebagai paham hanya terbelenggu oleh rutinitas mengolah lembaga-lembaga pembaharuan sehingga kehilangan kesegaran orientasi yang dimiliki.
Menurut Madjid, slogan paham modernisme, yaitu kembali pada Al Quran dan penentangan terhadap tradisi memiliki efek penolakan atas warisan khazanah islam klasik. Sehingga, lanjut madjid, hal ini lah yang mengakibatkan modernisme kekeringan intelektual.[7]
Munculnya para pemikir Islam, seperti Mukti Ali dan Harun Nasution, telah memberikan sumbangan intelektual yang besar, baik dalam kerangka memahami respons agama terhadap arus modernisasi maupun dalam mengembangkan tradisi kritis dilingkungan intelektual Islam, khususnya dikalangan para Ilmuwan, Mahasiswa, dan Dosen.
Neo-modernisme Islam di Indonesia dipelopori oleh sejumlah tokoh yang telah dimatangkan oleh pergulatan pemikiran keislaman, seperti Harun Nasution, Mukti Ali, Nur Cholish Majid, Munawir Syadzali, Abdurrahman Wahid, Dawam Rahardjo, Djohan Effendi, M. Amin Rais, A. Syafi’I Ma’arif, dan kuntowijoyo adalah figur – figur yang mendukung dan menyemarakkan wacana Neo-Modernisme, dan juga sebagai figur figur yang memunculkan gagasan Islam alternatif, yaitu menjadikan Islam sebagai jalan alternatif dalam merespons dinamika modernitas sehingga diperlukan gerakan Islamisasi dengan jalan menemukan asli Islam untuk menyusun system system keislaman.[8] Abdurrahman Wahid sekembalinya dari studi di Timur Tengah secara cepat beraliansi dengan gerakan itu. Sebagai konsekuensinya, beberapa perhimpunan pemuda di bawah NU dan kebanyakan ulama yang sering bertukar ide dengan Abdurrahman Wahid secara kuat dipengaruhi oleh pemikiran neo-modernis.
Fakror-faktor pembentukan neomodenisme yang pokok adalah hilangnya perasaan inferiority complex di kalangan umat Islam, khususnya bagi Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid terhadap Barat. Sebagai generasi yang tidak mengalami perang kemerdekaan dan tidak mengalami diskriminasi dari kalangan elite Eropa semasa kolonialisme, membuat mereka memiliki kepercayaan diri.[9]
Gerakan neo-modernisme mempunyai asumsi dasar bahwa Islam harus dilibatkan dalam proses pergulatan modernisme. Bahkan kalau mungkin, Islam diharapkan menjadi leading ism (ajaran-ajaran yang memimpin) di masa depan. Namun demikian, hal itu tidak berarti menghilangkan tradisi keislaman yang telah mapan. Hal ini melahirkan postulat (dalil) al-muhâfazhat ‘alâ al-qadîm al-shâlih wa al-akhdu bi al-jadîd alashlah (memelihara tradisi lama yang baik, dan mengambil tradisi baru yang lebih baik). Pada sisi lain, pendukung neo modernisme cenderung meletakkan dasar-dasar keislaman dalam konteks atau lingkup nasional. Mereka percaya bahwa betapapun, Islam bersifat universal, namun kondisikondisi suatu bangsa, secara tidak terelakkan, pasti berpengaruh terhadap Islam itu sendiri.
Neo-modernisme di Indonesia memiliki beberapa karakteristik, antara lain Pertama, ia berwatak progresif. Hal ini diindikasikan dengan penekanan sikap positif terhadap pentingnya modernitas, kemajuan, dan pengembangan. Ia sangat kritis dalam memperhatikan masalah-masalah keadilan sosial, disertai rasa optimis tentang ke arah mana manusia bergerak maju dan mau mengapreasi jalannya perubahan sosial yang begitu cepat.
Kedua, neo-modernisme seperti halnya fundamentalisme adalah respons rerhadap modernitas, gangguan globalisasi peradaban, dan kebudayaan Barat rerhadap dunia Islam. Tidak seperti fundamentalisme yang melihat Barat sebagai kebalikan Timur, neomodernisme tidak merasa perlu menekankan perbedaan dcngan Barat atau tidak menekankan identitas diri yang terpisah. Neomodernisme secara cerdas dapat mendekati keilmuan dan kebudayaan Barat, khususnya dalam ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan. Kritik rerhadap bagian tertentu budaya Barat bukan berarti hal itu tak dapat direkonsialisikan. Neomodernisme ridak hanya membela ide-ide liberal Barat seperti demokrasi, hak-hak asasi manusia, dan pemisahan agama dengan negara, namun menekankan bahwa ide-ide Islam ini memberi warisan umum rerhadap Barat.
Ketiga, pemikiran neo-modernisme Indonesia menganjurkan jenis sekularisme khusus yang berdasarkan Pancasila dan Konstitusi Indonesia, sehingga keinginan sektarianisme keagamaan tetap terpisah dari keinginan negara atau ada keterpisahan agama dengan negara. Neomodernisme Indonesia berargumentasi bahwa al-Quran dan Hadits tak berisi blue print tentang negara Islam atau tidak menetapkan bahwa negara agama adalah perlu atau mungkin. Atas pemikiran ini, Nurcholish Madjid pernah melontarkan ide kontroversial sekulariasi dan desakralisme. Sekularisasi adalah usaha untuk menduniawikan nilal-nilal yang sudah duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya.[10]
Keempat, neomodernisme menghadirkan sebuah keterbukaan, inklusivitas, dan pemahaman liberal Islam yang dapat direrima oleh segala kalangan, pengakuan pluralisme sosial, penekanan perlunya toleransi, dan hubungan harmonis di kalangan masyarakar.
Kelima, neomodernisme dimulai dengan semangat kembali pada abad modernisme (Muhammad Abduh) dengan memerhatikan rasionalitas dalam kegiatan ijtihad ataupun upaya individual dalam interpretasi nash. Kalangan neomodernisme mengembangkan sistem hermeneutik, ijtihad kontekstual, memerhatikan kekhususan masyarakat dan budaya Arab abad ke-17, dan melakukan interprerasi baru untuk merespons kebutuhan-kebutuhan dan perkembangan budaya masyarakat akhir abad ke-20. Bisa dikatakan, neomodernisme menyintesiskan tradisi keilmuan Islam, tuntutan modernis tentang ijtihad, tuntutan ilmu sosial Barat, dan kemanusiaan. Mereka bisa melakukan upaya ini karena mereka berlatar belakang tradisionalis (pesantren atau madrasah) yang dibekali dengan penguasaan Bahasa Arab dan akrab dengan warisan keilmuan Islam klasik. Dengan demikian, secara simultan neomodernisme adalah gerakan kembali pada dasar-dasar modernisme dan menyintesiskan pemikiran kaum tradisionalis, modernis, dan tuntutan Barat.[11]
Ahmad Amir Aziz Dalam Bukunya Neo-Modernisme Islam di Indonesia mengatakan, bahwa pemikir-pemikir di atas telah mendapat banyak simpati dari seluruh lapisan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya buku-buku mereka yang laku di pasaran. Ide-ide mereka pun, meskipun sering kontroversial, sepat sekali menjadi wacana publik yang mampu menggairahkan semangat intelektualisme.[12]
Menurut Bachtiar, kemunculan neo-modernisme sangat menarik mengingat tokoh-tokohnya telah bersentuhan dan mengalami sosialisasi dengan pemikiran tradisional dan modern sekaligus. Nor Cholis Madjid dan Abdurrahman Wahid, misalnya.
Dengan demikian, pemikiran neo-modernisme Islam telah mendapat tempat persemaiannya yang subur di Indonesia, dengan didukung banyaknya figur – figur yang turut memberikan konstribusinya dalam mengelaborasi gagasan – gagasan, neo-modernisme makin hari makin kian menemukan basis yang nyata ditengah pemikiran keagamaan yang begitu plural pada masyarakat Indonesia.[13]
B.     Profil Abdurrahman Wahid
Abdurrahman Wahid tokoh fenomenal yang dikenal sebagai pemikir, briliant, rasional, kiprah dan sepak terjangnya telah banyak mewarnai berbagai bidang: politik, sosial, ekonomi, seni, dan lainnya, lahir dengan nama Abdurrahman ad dakhil.[14] Secara leksikal, "Addakhil" berarti "Sang Penakluk", sebuah nama yang diambil Wahid Hasyim, orang tuanya, dari seorang perintis Dinasti Umayyah yang telah menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol. Belakangan kata "Addakhil" tidak cukup dikenal dan diganti nama "Wahid", Abdurrahman Wahid, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. "Gus" adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berarti "abang" atau "mas".
Gus Dur atau Abdurrahman wahid adalah putra pertama dari enam bersaudara yang dilahirkan di Denanyar Jombang Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940. Secara genetik Gus Dur adalah keturunan "darah biru". Ayah Gus Dur, Wahid Hasyim, Di lahirkan di Tebu Ireng, Jombang pada bulan Juni 1914. Ia adalah putra pertama dan anak kelima dari sepuluh bersaudara.[15] Ia adalah putra dari mantan Menteri Agama RI pertama, K.H. Wahid Hasyim, dengan Ny. Hj. Solehah, dan merupakan titisan langsung dari para kyai besar di Jawa.  Kakek dari ayahnya K.H. Hasyim Asy’ari adalah ulama besar pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jaawa Timur dan pernah memangku jabatan Rais Akbar Pengurus Besar Nahdlatul ‘Ulama.
Sementara itu kakek dari pihak ibunya, K.H. Bisri Syamsuri, juga pengasuh Pondok Pesantren di Denanyar, Jombang dan pernah memangku jabatan Rais ‘Am Pengurus Besar Nahdlatul ‘Ulama. Kedua kakek Abdurrahman Wahid inilah yang merupakan tokoh dan kyai cikal-bakal pendiri organisasi keagamaan Nahdlatul ‘Ulama (NU), di samping K.H.A. Wahab Hasbullah.
Dalam banyak aspek Abdurrahman Wahid seakan memang telah dipersiapkan sebagai “putra mahkota” yang kelak akan memimpin Nahdlatul ‘Ulama sebagai pewaris cita-cita ayahnya dan kakek-kakeknya. Idealisme yang dicita-citakan ayahnya, K.H Wahid Hasyim terhadap putranya ini tergambar jelas dari nama yang diberikannya: Abdurrahman Ad-dakhil atau “Sang Penakluk”, sebuah nama yang diambil K.H. Wahid Hasyim dari seorang perintis Dinasti Umayyah yang telah menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol beradab silam.[16]
Setamat Sekolah Dasar di Jakarta tahun 1953, Abdurrahman Wahid melanjutkan pendidikannya pada Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di Yogyakarta ia berdiam di rumah salah seorang teman Ayahnya, K.H Junaidi. Yang menarik adalah bahwa K.H Junaidi adalah salah seorang sejumlah kecil ulama' yang terlibat dalam gerakan Muhammadiyah pada periode itu. Ia anggota Majlis Tarjih atau Dewan Penasehat Agama Muhammadiyah.[17]
Hal ini mungkin biasa-biasa saja, tetapi saat itu, dan bahkan dalam beberapa dasawarasa kemudian, secara relatif hampir tidak terdapat pertautan antara kaum modernis Muhammadiyah dan kaum tradisional NU. Sebagaimana NU dulu dan sekarang, merupakan organisasi Ulama' yang mewakili Islam tradisional di Indonesia, hampir semua kaum Modernis tergabung dalam Muhammadiyah. dan lulus tahun 1957, sambil sesekali belajar mengaji pada K.H.Ali Maksum di Krapyak, Pendidikan keagamaan selanjutnya diasa di bebrapa pondok pesantren Nahdlatul ‘Ulama terkemuka, antara lain di pesantren Tegalrejo, Magelang dengan menyelesaikan waktu belajarnya kurang dari separoh santri pada umumnya (1957-1959). Dari tahun 1959 hingga 1963, ia belajar di Mu’allimat Bahrul ‘Ulum, pesantren Tambaberas, Jombang, Jawa Timur kepada K.H. Wahab Hasbullah.[18]
Berikutnya ia kembali ke Yogyakarta untuk mondok di pesantren Krapyak, dan tinggal tinggal di rumah pemimpin Nahdlatul ‘Ulama terkemuka K.H. Ma’shum. Setelah itu, beliau melanjutkan studinya ke Al-Azhar University Kairo Mesir dengan mengambil jurusan Departement of Higher Islamic and Arabic studies di Universitas al-Azhar, Kairo (Mesir) pada tahun 1964, Gus Dur dibuat kecewa dengan atmosfir intelektual di al-Azhar yang bisa memadamkan potensi pribadinya, karena tehnik pendidikannya yang masih bertumpu pada kekuatan hafalan, untuk itu ia banyak menghabiskan waktunya di perpustakaan – perpustakaan di kairo, kemudian pada tahun 1960 pindah ke Fakultas Sastra Universitas Baghdad. Pada saat di Baghdad rasa kekecewaan di kairo telah terobati, ia  menunjukan minat yang serius terhadap kajian Islam di Indonesia, hingga selama dua tahun terakhir di Baghdad Gus Dur memfokuskan diri pada riset mengenai sejarah Islam di Indonesia.[19]
Pada tahun 1971, ia menjajaki salah satu di Universitas Eropa untuk melanjutkan pendidikannya disana. Akan tetapi, harapannya tidak kesampaian karena kualifikasi- kualifikasi mahasiswa dari Timur Tengah tidak diakui Universitas-Universitas di Eropa. Selanjutnya, yang memotivasi Abdurrahman Wahid untuk pergi ke MC Gill University Kanada untuk mempelajari kajian-kajian ke Islaman secara mendalam. Namun pada akhirnya, ia memutuskan untuk kembali ke Indonesia setelah terilhami berita-berita menarik sekitar perkembangan dunia pesantren.
Sekembalinya di Indonesia, Gus Dur kembali ke Jombang, menjadi guru. Pada tahun 1971, ia mengajar di Fakultas Ushuluddin Universitas Hasyim Asy'ari Jombang. Tiga tahun kemudian oleh pamannya, K. H. Yusuf Hasyim, di beri amanat untuk menjadi sekretaris umum Pesantren Tebuireng, Jombang. Pada tahun yang sama Gus Dur mulai aktif menulis. Lewat tulisan – tulisannya, gagasan, dan pemikiran Gus Dur mulai mendapatkan perhatian dari khalayak, pada awal tahun 1980, Gus Dur dipercaya sebagai wakil Katib Syuriah PBNU. Dan Gus Dur pun menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahun 1983.[20]
Pada Muktamar ke-27 di Situbondo, 18-21 Desember 1984, bersama dengan K.H. Achmad Shiddiq, terpilih masing – masing ketua Tanfidziyah dan Syuriah PBNU. Posisi ini bertahan sampai dipilih kembali pada muktamar di Yogyakarta tahun 1989. Sampai dengan muktamar di cipasung tahun 1994 lalu, kedudukan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) masih kuat dan tetap dipercaya memimpin organisasi Islam terbesar ini bersama K.H. Ilyas Ruchiyat. Di luar NU beliau aktif di forum – forum lainnya. Di tingkat internasional ia adalah seorang ketua WCRP (world Conference For Religion and Peace), di samping itu pernah menerima penghargaan Ramon Magsaysay pada tahun 1993.[21]
Sebagai intelektual Sunni tradisional pada umumnya, Gus Dur membangun pemikirannya melalui paradigma konstektualisasi khazanah pemikiran sunni klasik.[22] Oleh karena itu wajar saja jika yang menjadi kepedulian utamanya minimal menyangkut tiga hal. Pertama, revitalisasi khazanah Islam tradisional Ahl-As-Sunnah Wal Jama’ah. Kedua, ikut berkiprah dalam wacana modernisme, dan ketiga, berupaya melalukan pencarian jawaban atas persoalan kongkrit yang dihadapi umat Islam Indonesia. Corak pemikiran Gus Dur yang liberal dan inklusif sangat di pengaruhi oleh penelitiannya yang panjang tentang khazanah pemikiran Islam tradisional yang kemudian menghasilkan reinterprestasi dan kontekstualisasi.[23] 
Jika dilacak, dari segi kultural, Gus Dur melintasi tiga model lapisan budaya. Pertama, kultur dunia pesantren yang sangat hirarkis, penuh dengan etika yang serba formal, dan apreciate dengan budaya lokal. Kedua, budaya timur tengah yang terbuka dan keras; dan ketiga, lapisan budaya barat yang liberal, rasional dan sekuler. Semua lapisan kultural itu tampaknya terinternalisasi dalam pribadi Gus Dur mebentuk sinergi. Hampir tidak ada yang secara dominan berpengaruh membentuk pribadi Gus Dur. Ia selalu berdialog dengan semua watak budaya tersebut. Dan inilah barangkali anasir yang menyebabkan Gus Dur selalu kelihatan dinamis dan tidak segera mudah dipahami, alias kontroversi.[24]
C.    Pemikiran Abdurrahman Wahid dalam Wacana Neo-Modernisme
1.      Islam dan Negara
Abdurrahman Wahid mengemukakan bahwa dalam Islam sama sekali tidak memiliki bentuk negara, yang penting bagi Islam adalah etik kemasyarakatan, alasannya Islam tidak mengenal konsep pemerintahan yang definitif. Dalam persoalan yang paling pokok adalah suksesi kekuasaan Islam tidak memiliki bentuk tetap, terkadang memakai istikhaf, ba’iat, dan ahl-halli wal aqdi. Ini menunjukkan kalau Islam punya konsep yang baku pastilah tidak akan terjadi bentuk yang sedemikian beragam.[25] Berdirinya negara Indonesia itu lebih disebabkan oleh adanya kesadaran berbangsa, bukan karena sekedar adanya faktor ideologi Islam. Ini merupakan kenyataan yang harus diterima secara obyektif sebab ia merasakan adanya gejala, kenyataan objektif demikian belum tuntas dipahami oleh sebagian aktifis pergerakan Islam di Indonesia. Ia berpendapat, ajaran agama sebagai komponen yang membentuk dan mengisi kehidupan warga negara Indonesia, seharusnya diperankan sebagai faktor komponen – komponen lain. Dengan begitu, ia tidak akan berfungsi sebagai faktor tandingan yang dapat mengundang disintegrasi dalam kehidupan berbangsa secara keseluruhan.
Gus Dur juga mengkritiki adanya kecenderungan sebagian aktifis pergerakan Islam yang berpegang pada pola idelistik yang menganggap Islam sebagai alternatif terhadap paham – paham kenegaraan lain, yang berisikan agar umat Islam dapat menerima kesadaran dan wawasan kebangsaan sebagai realitas objektif dan tidak perlu dipertentangkan, mengingat Indonesia sebagai suatu nation mempunyai pluralitas sosiohistoris yang berbeda dengan asal muasal Islam di Saudi Arabia. Gus Dur tidak sependapat jika Islamisasi di Indonesia diarahkan pada proses Arabisasi, karena itu akan memuat tercabutnya masyarakat Indonesia dari akar budayanya sendiri. Inilah yang disebut ”Pribumisasi Islam”[26]
Gagasan ”pribumisasi Islam” dimaksudkan Gus Dur sebagai jawaban atas problema yang dihadapi umat Islam sepanjang sejarahnya, yakni bagaimana mempertemukan budaya (’adah) dengan norma (syariah), sebagaimana juga menjadi persoalan dalam ushul fiqh. Menurut Gus Dur, tumpang tindih antara agama dan budaya akan terjadi terus menerus sebagai suatu proses yang akan memperkaya kehidupan dan akan membuatnya tidak gersang. Agama (Islam) dan budaya mempunyai independensi masing-masing, tetapi keduanya memang mempunyai wilayah tumpang tindih, sebagaiman filsafat dan ilmu pengetahuan. Orang tidak akan bisa berfilsafat tanpa ilmu pengetahuan, tetapi juga tidak bisa dikatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah filsafat. Di antara keduanya (agama dan budaya) terjadi tumpang tindih dan sekaligus perbedaan-perbedaannya.
”Pribumisasi Islam” dengan demikian, menurut Gus Dur adalah suatu pemahaman  yang mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal didalam merumuskan hukum-hukum agama tanpa merubah hukum itu sendiri. ”pribumisasi Islam” bukan suatu upaya meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nash, dengan tetap memberikan peranan kepada ushul fiqh dan qawaid al-fiqh. Disini, wahyu-dalam pandangan gus dur harus dipahami dengan mempertimbangkan faktor-faktor kontekstual, termasuk kesadaran hukum dan rasa keadilan.
Dalam proses ini pembauran Islam dengan budaya menurut Gus Dur tidak boleh terjadi, sebab berbaur berarti hilangnya sifat-sifat asli. Islam harus tetap pada sifat keilamannya. Al-Quran harus tetap dalam bahasa arab, terutama dalam solat, sebab hal ini telah merupakan norma. Sedang terjemahan Al-Quran hanyalah dimaksudkan untuk mempermudah pemahaman, bukan menggantikan Al-Quran itu sendiri.
Adapun persoalan yang muncul adalah kenyataan bahwa negara bangsa dan wawasan kebangsaan merupakan fakta yang tidak bisa dihindari. Dengan kata lain, idealisasi Islam sebagai konstruk sosial (atau negara) yang ideal hanya merupakan pelarian dari kenyataan.[27] Abdurrahman wahid mencoba menetralisir ketegangan hubungan Islam dan Negara dengan dua tawaran: Menjadikan etika sosial dalam kehidupan bernegara dan pribumi Islam. Dua tawaran ini yang satu sama lain bersifat saling menun jang tang mempunyai implikasi sosiaologis – politis yang tidak terelakan yaitu menempatkan Islam sebagai faktor komplementer dalam kehidupan sosio-kultural dan politik Indonesia.[28]
Gus Dur juga melihat Hubungan Islam dengan Pancasila dari prespektif sosiologi-politik, khususnya dari segi hubungan fungsional dan simbiotik diantara keduannya. Bagi Gus Dur, agama dan pancasila tidak boleh diidentikkan secara menyeluruh karena fungsi masing – masing berbeda. Pancasila berfungsi sebagai landasan hidup berbangsa dan bernegara, maka ia haruslah mewadai aspirasi agama – agama dan menopang kedudukannya secara fungsional. Sedangkan agama merupakan landasan keimanan warga masyarakat dan menjadi unsur motivatif dinamikanya.[29] Gus Dur mengatakan:
 “Tanpa pancasila Negara akan bubar. Pancasila adalah seperangkat asas yang akan ada selamanya. Ia adalah gagasan tentang Negara yang harus kita miliki dan kita perjuangkan”.
Dari perkataan tersebut, Wahid hendak menempatkan islam tidak secara formal. Tetapi, nilai-nilai islam lah yang harus dipegang sebagai fondasi moral umat islam dalam masyarat majemuk seperti Indonesia.
Gus Dur menunjukkan adanya komitmen untuk perkembangan misi kearah menyatunya Islam dalam tubuh bangsa Indonesia, yang mana telah memberikan sumbangan konseptual yang cukup berarti dan mempunyai dampak sosio-politis luas, yakni makin kohesif dan tuntasnya visi keislaman dalam bingkai wawasan kebangsaan.
2.      Islam dan Pluralisme
Dalam hal ini para pakar agama – agama berpendapat bahwa pluralisme dunia modern ini merupakan pengalaman baru. Pluralisme tradisional, orang – orang berlatar belakang berbeda, baik suku, ras dan agama, dan atas perbedaan itu hidup masing – masing di suatu komunitas yang berbeda pula, namun tak ada kesulitan dalam hubungan antar agama, karena tak ada sesuatu hal yang mendorong mereka untuk tidak mau berinteraksi. Pluralisme modern adalah konsekuensi logis dari munculnya mesyarakat modern. Maka sikap pluralism bagian penting dari upaya untuk merespon kemodernan secara tepat.[30]
Tulisan  Gus  Dur  berjudul  “Pengembangan  Fiqih  Secara Kontekstual”,  dipaparkan  bahwa  Ideologi  pluralisme  yang  dibawa Beliau dan  penghormatannya  terhadap  pluralitas  sepenuhnya  berdasarkan pemahaman  yang  mendalam  terhadap  ajaran  Islam  dan  juga  tradisi keilmuan NU  sendiri. Pertama,  prinsip pluralisme  secara  tegas  diakui di dalam  kitab  suci.  Al-Qur’an  secara  tegas  mendeklarasikan  bahwa pluralitas  masyarakat  dari  segi  agama,  etnis,  warna  kulit,  bangsa,  dan sebagainya, merupakan  keharusan  sejarah  yang menjadi  kehendak Allah (sunnatullah).  Karena  itu,  upaya  penyeragaman  dan  berbagai  bentuk hegemonisasi  yang  lain,  termasuk  dalam  hal  pemahaman  dan implementasi ajaran agama, merupakan sesuatu yang bertentangan dengan semangat dasar al-Qur’an.
Pluralitas  agama  dan  masyarakat  menjadi  alat  uji  parameter kualitas keberagamaan umat, apakah dengan pluralitas itu setiap kelompok atau  umat  beragama  bisa  hidup  berdampingan  secara  damai  dengan pemeluk  agama  lain  dengan  semangat  saling  belajar  dan  saling menghormati. Atau sebaliknya, pluralitas itu justeru menjadi alasan untuk membangun klaim-klaim kebenaran yang bersifat sectarian.[31]
Kedua,  nalar  keragaman  NU  sepenuhnya  dibangun  di  atas  spirit pluralisme. NU mengikuti  tradisi pemikiran madzhab yang menjadi pilar tegaknya  peradaban  fiqih.  Ajaran  Islam  digali  secara  langsung  dari sumbernya,  tetapi  melalui  pemikiran,  NU  terhindar  dari  pendekatan tekstual  dan  interpretasi  tunggal  terhadap  al-Qur’an  dan  al-Hadis.  Fiqih dirumuskan sebagai hukum atau kumpulan hukum yang ditarik dari dalil-dalil syar’i, yaitu al-Qur’an dan al-Hadis (al-ahkam al-mustanbathah min adillatiha  al-syar’iyyah). Definisi  ini  menurut  Gus  Dur,  secara  jelas menampakkan adanya proses untuk memahami situasi yang di situ ayat al-Qur’an  dan  al-Hadis  memperoleh  pengolahan  untuk  disimpulkan berdasarkan kebutuhan manusia.[32] Di sini nyata terlihat bahwa pluralisme yang  dikembangkan  Gus  Dur  adalah  revitalisasi  dari  ajaran  Islam  dan tradisi yang berfikir pesantren yang telah berkembang selama berabad – abad.
Toleransi yang diajarkan dan dipraktekkan Gus Dur  tidak sekedar menghormati  dan  menghargai  keyakinan  atau  pendirian  orang  lain  dari agama  yang  berbeda,  tetapi  juga  disertai  kesediaan  untuk  menerima ajaran-ajaran  yang  baik  dari  agama  lain,  dalam  sebuah  tulisannya  yang berjudul  Intelektual  di  Tengah  Eksklusivisme,  Gus  Dur  pernah mengatakan:
Saya membaca, menguasai, menerapkan  al-Qur’an,  al-Hadis,  dan kitab-kitab  Kuning  tidak  dikhususkan  bagi  orang  Islam.  Saya bersedia memakai yang mana pun asal benar dan cocok dan sesuai hati  nurani.  Saya  tidak mempedulikan  apakah  kutipan  dari  Injil, Bhagawad Gita, kalau bernas kita  terima. Dalam masalah bangsa, ayat  al-Qur’an  kita  pakai  secara  fungsional,  bukannya  untuk diyakini  secara  teologis.  Keyakinan  teologis  dipakai  dalam persoalan  mendasar.  Tetapi  aplikasi  adalah  soal  penafsiran. Berbicara masalah penafsiran berarti bukan  lagi masalah  teologis, melainkan sudah menjadi masalah pemikiran.[33]
Empat pemahaman tentang pluralisme agama yang dihubungkan dengan kebenaran agama sehingga muncul truth claim, Pertama, pada dasarnya setiap agama memiliki kebenaran, sebab kebenaran mutlak hanya ada pada satu agama, di agama lain tidak ada. Kedua, kebenaran ada pada tiap – tiap agama, tetapi kebenaran itu ada pada masing – masing agama secara menyeluruh. Ketiga, kebenaran itu ada pada masing – masing agama secara menyeluruh. Keempat, kebenaran sekalipun ada pada masing – masing agama, pada akhirnya akan menuju pada kebenaran tunggal, secara regulatif.[34] 
Gus Dur sangat berusaha menghilangkan sikap kebencian hanya membawa pada permusuhan. Padahal misi agama adalah perdamaian, sesuatu yang bertolak belakang dengan permusuhan. Sikap benci dan memusuhi adalah lawan paham pluralism, karena pluralisme meniscayakan adanya keterbukaan, sikap toleransi dan saling mengahargai kepada manusia secara keseluruhan.[35] Karena Islam di Indonesia mempunyai potensi besar dalam mempelopori pluranisme dan toleransi beragama, hanya saja, harus ada usaha yang continue dalam membina kerukunan seraya mencari penyelesaian secara damai manakala timbul konflik. Dari sini adanya progam pengembangan untuk membangun kerja sama dan dialog antar umat beragama, karena sifat Truth-Claim selalu melekat pada diri pemeluk agama, tetapi justru adanya perbedaan pengalaman dan penghayatan keagamaan itu dimungkinkan adanya titik temu.[36] yang dapat mengukuhkan konsep pluranisme agama di Indonesia. 
3.      Islam dan Demokrasi
Neo-modernisme menganggap bahwa tak ada pertentangan antara islam dan demokrasi. Tetapi, mencari kaitan antara keduanya tidak terlalu mudah. Sebab, kalau kita ingat, sejumlah idiologi pernah menyatakan kritik terhadap agama. Misal, hanya dipandang tak lebih sebagai keluh masyarakat tertindas. Sisi positif agama hanya sebagai penenang sementara. Sementara bagi masyarat yang mapan, agama hanya dijadikan legitimasi kekuasaan. Di sisi lain, sebagaimana pandangan ulama dan penguasa politik, bahwa dalam islam tak ada tempat untuk demokrasi. Alasan mereka adalah bahwa demokrasi adalah kekuasaan di tangan rakyat. Sementara dalam doktrin islam kekuasaan mutlak berpusat pada kekuasaan tuhan.[37]
Oleh karena itu, Islam dan demokrasi, bagi kalangan neo-modernis, ditafsirkan sebagai sesuatu yang sesuai, tidak ada benturan- dalam arti asalnya. Gus Dur lebih menekankan pada hubungan fungsional dan simbiotik. Menurutnya, islam adalah  seluruh keimanan umat islam, sementara pancasila harus mewadahi seluruh aspek agama di Indonesia.[38]
Demokrasi menjadi keharusan yang harus dipenuhi bukan saja karena demokrasi sangat memungkinkan terbentuknya suatu pola interaksi dan relasi politik yang equal tidak eksploitatif, tetapi demokrasi sangat mendukung tegaknya pluralisme bangsa. Minat Gus Dur sangat tinggi terhadap demokrasi didorong oleh cita – cita untuk menegakkan pluralisme itu. Dalam dunia modern, demokrasilah yang dapat mempersatukan beragam arah kecenderungan kekuatan – kekuatan bangsa. Demokrasi dapat mengubah keretcerai – beraian arah masing – masing kelompok menjadi berputar bersama – sama menuju arah kedewasaan, kemajuan dan integritas bangsa. Demokrasi menjadi sedemikian penting dalam sebuah Negara yang pluralistic  karena ternyata perikehidupan kebangsaan yang utuh hanya bisa tercapai dan tumbuh dalam suasana demokratis.[39]
Menurutnya, nilai demokrasi itu ada yang bersifat pokok dan yang bersifat lanjutan. Adapun nilai pokok itu adalah kebebasan, keadilan dan musyawarah. Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan individu dilam kuasa Negara atau hak individu dan hak kolektif dalam masyarakat. Keadilan memiliki arti bahwa terbukanya peluang bagi warga Negara untuk melakukan apa yang diinginkan. Sementara musyawarah berarti bentuk atau cara pemeliharaan kebebasan dan dan memperjuangkan keadilan itu lewat jalur permusyawaratan.[40] Untuk mencapai keadilan bagi seluruh warga Negara tidak hanya ditentukan sepihak dari pihak pengelola Negara tetapi harus melaui musyawarah dengan masyarakat yang ada. Pemilihan umum merupakan representasi dari sistem musyarawah itu sendiri.
Barton sendiri menyebut lima ciri yang menonjol dalam aliran neo-modernisme, perubahan dan pembangunan. Hal ini bukan berarti neo modernisme tidak bersikap kritis terhadap pembangunan. Aliran ini justru sangat kritis terhadap aspek-aspek tertentu dari pembangunan.
Kedua, tidak seperti aliran fundmentalisme, neo modernisme tidak melihat Barat sebagai ancaman atas Islam dan Umatnya. Peradaban Barat dan Islam harus saling mengisi. Dalam konteks ini neo-modernisme tidak hanya membela ide-ide Liberal Barat seperti demokrasi dan Hak Asasi Manusia, tetapi juga mengajukan argumentasi bahwa Islam mempunyai kepedulian yang sama dengan Barat mengenai hal itu.
Ketiga, neo-modernisme Islam mengafirmasi semangat “sekularisasi” dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai salah satu upaya membangun titik temu antara Islam dan negara. Preferensi ini didasarkan pada asumsi bahwa al-Qur’an dan Sunnah bukan saja tidak memuat cetak biru (blue print) untuk sebuah negara Islam, tetapi juga tidak menentukan bahwa negara Islam merupakan suatu keharusan
Keempat, Neo-modernisme sangat mengedepankan pemahaman Islam yang terbuka, inklusif dan liberal, uatamanya dalam menerima dan mengafirmasi pluralisme masyarkat dan menekankan signifikansi toleransi dan harmoni dalam hubungan antar-komunal.
Kelima,  Neo-modernisme banyak mewarisi semangat Muhammad Abduh dalam rasionalisme ijtihad secara kontekstual. Berbeda dengan kaum modernis sebelumnya, neo-modernisme berusaha membuat suatu sintesa antara khasanah pemikiran Islam tradisional dengan kaharusan berijtihad, serta dengan gagasan-gagasan Barat dengan ilmu-ilmu sosial dan humaniora.[41]
                        Menurut Gus Dur Suatu Negara disebut demokratis manakala mampu menjamin hak – hak dasar – dasar manusia yang meliputi:
1.      Jaminan keselamatan Fisik
2.      Jaminan keselamatan keyakinan beragama
3.      Jaminan kehidupan keutuhan rumah tangga
4.      Jaminan keselamatan Hak milik
5.      Jaminan kesehatan akal[42]
Dari pandangan tersebut bahwasanya agama baik secara teologis maupun sosiologis sangat mendukung proses demokratisi. Agama lahir dan berkembang dengan misi untuk melindungi dan menjunjung tinggi harkat manusia. Aktualisasi dari nilai kemanusiaan yang amat substansial dan universal selalu mengasumsikan terwujudnya keadilan dan kemerdekaan yang diyakini sebagai hak asasinya. Dalam konteks ini maka demokrasi dalam proses demokratisi merupakan kondisi niscaya bagi terwujudnya keadilan dan hak kemerdekaan seseorang.
Oleh karena itu, meskipun agama tidak secara sistematis mengajarkan praktek demokrasi namun agama member etos, spirit, dan muatan doctrinal yang mendorong bagi terwujudnya kehidupan demokratik, dan Islam sebagai sebuah agama maupun masyarakat muslim sebagai pemeluknyam telah memberikan sumbangannya salam proses sampai kini terus berlangsung. Maka Islam secara tegas akan tetap memberikan warna bagi bentuk demokrasi Indonesia.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan  uraian  dan  analisis  tentang  Neo-Modernisme Islam Di Indonesia menurut  pemikiran Abdurrahman Wahid yang merupakan salah satu tokoh neo-modernisme, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.      Menurut Abdurrahman Wahid Pribumisasi Islam bukanlah “Jawanisasi” atau sinkritisme, sebab pribumisasi Islam hanya mempertimbangkan kebutuhan – kebutuhan local didalam merumuskan hukum – hukum agama, tanpa merubah hukum Negara, juga bukan meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma – norma itu menampung kebutuhan – kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nash, dengan tetap memberikan peranan kepada ushul fiqh dan qaidah fiqh.
2.      Menurut Abdurrahman Wahid pluralisme merupakan adanya keterbukaan, menerima  perbedaan  sebagai  sunnatullah  agar saling  mengenal,  menghindari  perpecahan,  mengembangkan  kerjasama dengan menanamkan rasa saling pengertian, saling memiliki dan bersikap inklusif,  tidak  membatasi  pergaulan  dengan  siapapun,  namun  tetap meyakini  kebenaran  agama  sendiri  dengan  tidak  mempersamakan keyakinan secara total.
3.      Abdurrahman Wahid membangun pemikirannya dengan paradigma kontekstualisasi khasanah pemikiran sunni tradisional. Pada tataran ini ia merumuskan pemikirannya yang liberal dan inklusif berdasarkan teori ashul al-fiqh dan qawaid al-fiqhiyyah, yang keduannya menurut Abdurrahman Wahid sudah menyediakan berbagai rumusan dasar untuk membangun pemikiran baru yang kontekstual, inklusif, toleran terhadap pluralitas, termasuk terhadap nilai-nilai baru yang muncul. Abdurrahman Wahid dengan mudah merumuskan teori demokrasinya dengan menggunakan teori



DAFTAR PUSTAKA
Aziz, Ahmad Amir, Neo Modernisme Islam di Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 1999.
Bakri, Syamsul, Mudhofir, Jombang-Kairo, Jombang-Chicago: sintesis pemikiran Gus Dur dan Cak Nur dalam pembaharuan Islam di Indonesia, Solo: Tiga Serangkai, 2004.
Barton , Greg, Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, Yogyakarta: LKiS, 2009
                           , “Indonesia’s Nurcholish Madjid and Abdurrrahman Wahid as Intelectual Ulama: The Meeting of Islamic Traditionalism and Modernism in Neo-Modernist Thought”, dalam Islam and Christian Muslim, CSIC, Birmington, Vol. 8, No. 3, 1999. 
Catatan Kritis kaum muda, ICMI Negara dan Demokrasi, Yogyakarta: Kelompok Studi Lingkaran, 1995.
Dhakiri, M. Hanif, Mewarisi Kebesaran Gus Dur, Yogyakarta: LKiS, 2010.
Madjid ,Nurcholis,  Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1987.
Masdar, Ummaruddin, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais tentang Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1999.
Qodir , Zuli, Pembaharuan Pemikiran Islam, Wacana Dan Aksi Islam di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Rifai, Muhammad, Gus Dur: KH. Abdurrahman Wahid biografi Singkat 1940-2009, Jogjakarta: Garasi House of Book, 2010.
Roziqin, Badiatul, dkk., 101 Jejak Tokoh  Islam  Indonesia, Yogyakarta: e-Nusantara, 2009.
Tim INCReS, Beyond The Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran Dan Gerakan Gus Dur, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000.
Wahid, Abdurrahman, Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta: LKiS, 2010.
Zen, Muhammad Taufiek, Islam dan ProsesModernisasi di Indonesia, Jakarta: Departemen agama, 1985.
Nugroho, Anjar, Dkk,  Islam dan Demokrasi (studi pemikiran amien rais dan abdurrahman wahid) http://pemikiranislam.files.wordpress.com/2007/07/makolah-ilmiah-anjar.doc di akses hari Rabu 16 April 2014 jam 10.00 WIB



[1] Ahmad Amir Aziz, Neo Modernisme Islam di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1999), hal. 15
[2] Zuli Qodir, Pembaharuan Pemikiran Islam, Wacana Dan Aksi Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hal. 66
[3] Zuli Qodir, Pembaharuan Pemikiran Islam, Wacana Dan Aksi Islam di Indonesia, hal. 66
[4] Syamsul Bakri, Mudhofir, Jombang-Kairo, Jombang-Chicago: sintesis pemikiran Gus Dur dan Cak Nur dalam pembaharuan Islam di Indonesia, (Solo: Tiga Serangkai, 2004), hal. 10
[5] Muhammad Taufiek Zen, Islam dan ProsesModernisasi di Indonesia, Jakarta: Departemen agama, 1985, hal. 8
[6] Ahmad Amir Aziz, Neo Modernisme Islam di Indonesia, hal. 4
[7] Ahmad Amir Aziz, Neo Modernisme Islam di Indonesia, hal. 7
[8] Syamsul Bakri, Mudhofir, Jombang-Kairo, Jombang-Chicago: sintesis pemikiran Gus Dur dan Cak Nur dalam pembaharuan Islam di Indonesia, hal. 11
[9] Zuli Qodir, Pembaharuan Pemikiran Islam, Wacana Dan Aksi Islam di Indonesia, hal. 67
[10] Nurcholis, Madjid,  Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1987), hal. 207
[11] Barton, Greg, “Indonesia’s Nurcholish Madjid and Abdurrrahman Wahid as Intelectual Ulama: The Meeting of Islamic Traditionalism and Modernism in Neo-Modernist Thought”, dalam Islam and Christian Muslim, CSIC, Birmington, Vol. 8, No. 3, 1999, hal. 345 
[12] Ahmad Amir Aziz, Neo Modernisme Islam di Indonesia, hal. 8
[13] Ahmad Amir Aziz, Neo Modernisme Islam di Indonesia, hal. 20
[14] Badiatul Roziqin, dkk., 101 Jejak Tokoh  Islam  Indonesia, Yogyakarta: e-Nusantara, 2009, hlm. 35.
[15] Greg Barton, Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, (Yogyakarta: LKIS), hlm. 30.
[16] Muhammad Rifai, Gus Dur: KH. Abdurrahman Wahid biografi Singkat 1940-2009, Jogjakarta: Garasi House of Book, 2010, hal. 27
[17] Badiatul Roziqin, dkk., 101 Jejak Tokoh  Islam  Indonesia, hal. 36
[18] Ahmad Amir Aziz, Neo Modernisme Islam di Indonesia, hal. 29
[19] Muhammad Rifai, Gus Dur: KH. Abdurrahman Wahid biografi Singkat 1940-2009, hal. 35
[20] Muhammad Rifai, Gus Dur: KH. Abdurrahman Wahid biografi Singkat 1940-2009, hal. 37
[21] Ahmad Amir Aziz, Neo Modernisme Islam di Indonesia, hal. 30
[22] Ummaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais tentang Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1999, Hal. 121
[23] Ummaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais tentang Demokrasi, hal. 126
[24] Tim INCReS, Beyond The Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran Dan Gerakan Gus Dur, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000, hlm.39
[25] Ahmad Amir Aziz, Neo Modernisme Islam di Indonesia, hal. 41
[26] Ahmad Amir Aziz, Neo Modernisme Islam di Indonesia, hal. 43
[27] Ummaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais tentang Demokrasi, hal. 132
[28] Ummaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais tentang Demokrasi, hal. 133
[29] Ahmad Amir Aziz, Neo Modernisme Islam di Indonesia, hal. 46-47
[30] Catatan Kritis kaum muda, ICMI Negara dan Demokrasi, Yogyakarta: Kelompok Studi Lingkaran, 1995, hal. 4
[31] M. Hanif Dhakiri, Mewarisi Kebesaran Gus Dur, Yogyakarta: LKiS, 2010, hal. 63-64
[32] M. Hanif Dhakiri, Mewarisi Kebesaran Gus Dur, hal. 67
[33] Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta: LKiS, 2010. Cet. II, hal. 204
[34] Zuli Qodir, Pembaharuan Pemikiran Islam, Wacana Dan Aksi Islam di Indonesia, hal. 90-91
[35] Ahmad Amir Aziz, Neo Modernisme Islam di Indonesia, hal. 59-60
[36] Ahmad Amir Aziz, Neo Modernisme Islam di Indonesia, hal. 62
[37] Ahmad Amir Aziz, Neo Modernisme Islam di Indonesia, hal. 63-64
[38] Zuli Qodir, Pembaharuan Pemikiran Islam, Wacana Dan Aksi Islam di Indonesia, hal. 85
[39] Ummaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais tentang Demokrasi, hal. 144
[40] Ahmad Amir Aziz, Neo Modernisme Islam di Indonesia, hal. 65-66
[41]Anjar Nugroho, Dkk,  Islam dan Demokrasi (studi pemikiran amien rais dan abdurrahman wahid), hal. 11-12 http://pemikiranislam.files.wordpress.com/2007/07/makolah-ilmiah-anjar.doc di akses hari Rabu 16 April 2014 jam 10.00 WIB        
[42] Ahmad Amir Aziz, Neo Modernisme Islam di Indonesia, hal. 70


Tidak ada komentar:

Posting Komentar