Menulislah sesuai kemampuanmu

Rabu, 16 April 2014

Kajian Orientalis Terhadap Al-Qur'an



KAJIAN ORIENTALIS TERHADAP AL-QUR’AN

By: Evi Muzaiyidah Bukhori (Mahasiswa Pascasarjana UIN Maliki Malang)

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Allah swt telah menetapkan Muhammad saw sebagai Rasul-Nya yang terakhir, dialah penyempurna Agama Islam dan penutup para Nabi sebagai khalifah di bumi. Al-qur’an adalah kitab suci yang di turunkan kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai mukjizat dan jalan penerang bagi sekalian  umat muslim di dunia, sebagai pedoman yang benar untuk sebagai tuntunan menuju keridaan Alla SWT yaitu amal saleh yang ganjarannya yaitu kenikmatan surga. Sebagai umat yang taat tentunya akan selalu berbuat baik yang adapun dasar hukum perbuatan baik yaitu Al-Qur’an dan Hadis.
Namun seiring dengan berkembangnya zaman, muncullah interpretasi-interpretasi mengenai ajaran Islam, salah satunya adalah gagasan orientalisme. Bagaimanakah interpretasi mereka? Dan apa misi mereka? Akan penulis bahas dalam makalah ini.

B.     Rumusan Masalah
1.      Siapakah orientalis dan apa saja objek kajiannya?
2.      Bagaimana perkembangan orientalis ?
3.      Apa saja dogma orientalis?
4.      Bagaimana implikasi filosofisnya?

C.     Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui siapakah orientalis dan apa saja objek kajiannya.
2.      Untuk mengetahui bagaimana perkembangan orientalis.
3.      Untuk mengetahui apa saja dogma orientalis.
4.      Untuk mengetahui bagaimana implikasi filosofisnya.




BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN ORIENTALIS
Kata orientalisme adalah kata yang dinisbatkan kepada sebuah studi/penelitian yang dilakukan oleh selain orang timur terhadap berbagai disiplin ilmu ketimuran, baik bahasa, agama, sejarah dan permasalahan-permasalahan sosio-kultural bangsa Timur. Atau ada juga yang mengatakan orientalisme adalah suatu disiplin ilmu yang membahas tentang ketimuran.[1]
Kata orientalis biasa digunakan bagi para ilmuwan Barat yang mempelajari hal-hal ketimuran dalam berbagai aspek, baik bahasa, kebiasaan, peradaban, terlebih agama-agamanya. Secara umum, orientalis adalah sekelompok orang atau golongan yang berasal dari negara-negara dan ras yang berbeda-beda, yang mengkonsentrasikan diri dalam berbagai kajian ketimuran, khususnya dalam hal keilmuan, peradaban, dan agama, khususnya negara Arab, Cina, Persia, dan India. Selanjutnya, kata orientalis ini ditujukan kepada orang-orang Kristen yang sangat berkeinginan untuk melakukan studi terhadap Islam dan Bahasa Arab.[2]
Objek kajiannya meliputi peradaban, agama, seni, sastera, bahasa dan kebudayaannya. Gagasan pemikiran ini telah memberikan kesan yang besar dalam membentuk persepsi Barat terhadap Islam dan dunia Islam. Caranya ialah dengan menyebarkan kemunduran cara berfikir dunia Islam dalam pertarungan peradaban antara Timur (Islam) dengan Barat. .Menurut Edwar Said, orientalisme bukan sekedar wacana akademis tetapi juga memiliki akar-akar politis, ekonomis, dan bahkan relijius. Secara politis, penelitian, kajian dan pandangan Barat tentang dunia oriental bertujuan untuk kepentingan politik kolonialisme Eropa untuk menguasai wilayah-wilayah Muslim. Dan kolonialisme Eropa tak bisa lain berkaitan dengan kepentingan ekonomi dan sekaligus juga kepentingan keagamaan; tegasnya penyebaran Kristen. Ketiga kepentingan yang saling terkait satu sama lain ini tersimpul dalam slogan yang sangat terkenal tentang ekspansi Eropa ke kawasan dunia Islam, yang mencakup 3G yakni Glory, Gold and Gospel: kejayaan, kekayaan ekonomi dan penginjilan. Semua motif dan kepentingan orientalisme ini secara implisit juga bersifat rasis. Dan ini tercermin dalam slogan missi pembudayaan terhadap dunia Timur yang terbelakang, jika tidak primitif.
Faktor-faktor munculnya Orientalisme:
1.      Faktor Agama Faktor inilah yang menjadi asas kepada kemunculan dan pertumbuhan orientalisma yang berlangsung begitu lama. Sasarannya antara lain ialah :
a)      Menimbulkan keraguan ke atas kerasulan Muhammad s.a.w dan menganggap hadis Nabi sebagai amal perbuatan ummat Islam (bukannya daripada nabi) selama tiga abad pertama.
b)    Menimbulkan keraguan terhadap kebenaran al-Qur'an dan memutar belitnnya.
c)     Memperkecil nilai fiqh Islam dan menganggapnya sebagai saduran dari hukum Romawi.
d)    Menganaktirikan bahasa Arab dan menjauhkannya dari ilmu pengetahuan yang semakin berkembang.
e)     Memperkenalkan teori bahwa Islam adalah berasal dari agama Yahudi dan Nasrani
f)      Mengkristiankan ummat Islam.
g)     Menggunakan hadis-hadis dha'if dan maudhu' untuk menyokong pendapatnya dan mengembangkan teorinya.
2.      Faktor ekonomi dan penjajahan Institusi-institusi kewangan, industri-industri mega dan pihak pemerintah sendiri telah mengeluarkan banyak modal untuk kajian-kajian bagi mengenalpasti keadaan negara-negara Islam dengan lebih mendalam . Kajian tersebut sangat digalakkan terutamanya pada masa sebelum penjajahan Barat dalam abad 19 dan 20 M.
3.      Faktor politik
a)     Melemahkan semangat ukhuwah Islamiyah dan memecah belah ummat untuk membolehkan mereka (orang-orang Islam) dikuasai
b)    Menghidupkan bahasa Arab 'amiyyah (bahasa pasar) dan mengubah adat istiadat yang diamalkan.
c)     Para pegawai di negara-negara Islam diarahkan untuk mempelajari bahasa asing (iaitu bahasa penjajah) agar memahami kebudayaan dan agama penjajah. Tujuannya agar mereka mudah dipengaruhi dan dikuasai.
4.      Faktor keilmuan
Sebagian orientalis ada yang mengarahkan kajian dan analisanya semata-mata untuk menambah ilmu dan pengetahuan. Sebagian mereka ada yang memahami asas-asas dan roh Islam malah ada yang memeluk Islam, seperti Thomas Arnold yang mempunyai peranan yang besar dalam menyedarkan kaum muslimin dengan bukunya ‘The Preaching in Islam’, dan Dinet yang telah memeluk Islam dan tinggal di Algeria. la menulis, buku Sinar Khusus Cahaya Islam. Ia meninggal di Perancis dan dikebumikan di Algeria.

B.     PERKEMBANGAN ORIENTALIS
Tidak diketahui secara pasti, siapa orang Barat yang mempelajari Orientalisme dan kapan waktunya. Hal yang pasti adalah sebagian pendeta Barat mengunjungi Andalusia bermaksud mempelajari Islam, menerjemahkan Al-Qur’an, dan buku-buku berbahasa Arab ke dalam bahasa mereka. Selain itu mereka juga berguru kepada ulama-ulama Islam diberbagai disiplin ilmu, diantaranya filsafat, kedokteran, dan metafisika. Pendeta-pendeta tersebut adalah:
1.      Seorang pendeta Perancis bernama Gerbert, yang terpilih sebagai pemimpin gereja Roma tahun 999 M, selepas belajar di berbagai perguruan di Andalusia dan kembali ke negaranya.
2.      Pendeta Petrus (1092-1156)
3.      Pendeta Gerrardi Krimon (1114-1187)
Sekembalinya para pendeta tersebut ke negaranya masing-masing, mereka menyebarkan kebudayaan Arab dan buku-buku karangan ulama-ulama terkenal Islam. Kemudian mereka mendirikan sekolah khusus mengkaji Islam, seperti madrasah Islam Badawiy.
Menjelang abad ke-18 yaitu abad dimana orang-orang Barat menguasai dunia Islam dan menguasai kerajan-kerajaannya. Para pemikir Barat mulai menyebarkan paham orientalisme melalui jurnal-jurnal yang diterbitakn diseluruh penjuru negara dan kerajaan Barat. Mereka mengubah literatur Arab dan Islam yang asli dan membeli dari oknum yang tidak bertanggung jawab atau bahkan mencurinya dari perpustakaan di negara mereka. Jika dihitung, literatus Arab yang langka pindah ke perpustakaan Eropa jumlahnya mencapai 250.000 jilid pada abad 19 dan bertambah terus hingga saat ini.
Pada akhir abad 18 ini, para orientalis mengubah strategi mereka dengan menampilkan wajah baru orientalisme, yang mereka sebut membebaskan orientalisme dari tujuan misionaris kepada arah penelitian ilmiah saja.
Berkembanglah di berbagai kota di Eropa seperti London, Paris, Leiden, dan St. Petersburg kuliah-kuliah yang mempelajari bahasa Timur seperti Arab, Persia, Turki dan Urdu. Tujuan awal mereka dari kuliah-kuliah ini tiada lain dalam rangka memperluas kekuasaan kolonialisme dengan cara memperalat para ahli-ahli dalam urusan tata negara Islam.
Kemudian para orientalis mampu mengembangkan strategi dan wajah baru mereka ke lembaga-lembaga keilmuan, seperti yang telah mereka lakukan di lembaga bahasa Mesir, lembaga ilmu di Damaskus, dan lembaga ilmu di Bagdad. Sampai sekarang telah berdiri yayasan keagamaan, politik, dan ekonomi di Barat yang hidup atas sokongan bantuan kerajaan dan para pemimpin masa lalu, berupa dana bantuan terhadap kegiatan orientalisme, lahan-lahan garapan serta beasiswa-beasiswa yang diberikan secara Cuma-Cuma kepada mahasiswa yang mau terjun dan menggeluti bidang orientalisme ini.[3]

C.     DOGMA ORIENTALIS
Menurut pengamatan Amien Rais sekurang-kurangnya terdapat enam dogma orientalisme, yaitu :
Pertama: ada perbedaan mutlak dan perbedaan sistematik antara Barat yang rasional, maju, manusiawi dan superior, dengan Timur yang sesat, irrasional, terbelakang dan inferior. Menurut anggapan mereka, hanya orang Eropa dan Amerika yang merupakan manusia-penuh, sedangkan orang Asia-Afrika hanya bertaraf setangah-manusia.
Edward W. Said menyatakan orientalisme memandang Timur sebagai sesuatu yang keberadaannya tidak hanya disuguhkan melainkan juga tetap tinggal pasti dalam waktu dan tempat bagi Barat. Seluruh periode sejarah budaya, politik dan sosial timur hanyalah dianggap sebagai tanggapan semata-mata terhadap Barat. Barat adalah pelaku (actor),sedangkan Timur hanyalah penanggap (reactor) yang pasif. Barat adalah penonton, penilai dan juri bagi setiap segi tingkah laku Timur.
Sikap-sikap orientalis kontemporer, lanjut Said, telah menguasai pers dan pikiran masyarakat. Orang-orang Arab, umpamanya, dianggap si hidung belang yang senang menerima suap yang kekayaannya merupakan penghinaan terang-terangan terhadap peradaban sejati. Selalu ada asumsi bahwa meskipun konsumen Barat tergolong minoritas dari penduduk dunia, mereka berhak untuk memiliki atau membelanjakan sebagian besar sumber daya dunia. Mengapa? Karena mereka manusia-manusia sejati yang berlainan dengan dunia Timur.
Kedua: abstraksi dan teorisasi tentang Timur lebih banyak didasarkan pada teks-teks klasik, dan hal ini lebih diutamakan dari peda bukti-bukti nyata dari mayarakat Timur yang konkret dan riil. Dalam masalah ini, para orientalis tidak biasa mengelakan tuduhan Edward W. Said bahwa mereka tidak mau menyelidiki perubahaan yang terjadi dalam masyarakat Timur, tetapi lebih mengutamakan isi teks-tek kuno sehingga orientalisme berputar-putar di sekitar studi tekstual, tidak realistis. Philiph K. Hitti, umpanya, mengatakan bahwa untuk mempelajari islam dan umatnya tidak diperlukan kerangka teori baru karena, menurutnya, masyarakat Islam yang sekarang sembilan abad yang lalu.
Ketiga: Timur dianggap begitu lestari (tidak berubah-ubah), seragam, dan tidak sanggup mendefinisikan dirinya. Karena itu menjadi tugas Barat untuk mendefinisikan apa sesungguhnya Timur itu, dengan cara yang sangat  digeneralisasi, dan semua itu dianggap cukup objektif.
Keempat: pada dasarnya Timur itu merupakan sesuatu yang perlu ditakuti, atau sesuatu yang perlu ditaklukkan. Apabila seseorang orientalis mempelajari Islam dan umatnya, keempat dogma itu perlu ditambah dengan dua dogma pokok lainnya.
Kelima: Al-Quran bukanlah wahyu Tuhan, melainkan buku karangan Muhammad SAW yang merupakan gabungan unsur-unsur agama Yahudi, Kristen, dan tradisi Arab pra-Islam. Seorang orientalis bernama Chateaubriand, misalnya, mengindoktrinasi murid-muridnya bahwa al-Quran itu sekedar buku karangan Muhammad SAW. Al-Quran tidak memuat prinsip-prinsip peradaban maupun ajaran yang memperluhur watak manusia. Ia bahkan mengatakan, al-Quran tidak mengutuk tirani dan iak mengajurkan cinta pada kemerdekaan.
Keenam: kesahihan atau keaslian semua Hadis harus diragukan. Malah ada yang mengeritik syarat-syarat sahnya Hadis seperti yang dilakukan Joseph Schacht. Amien Rais menyindir bahwa disamping ada hadis riwayat Bukhari dan Muslim ada juga “Hadis riwayat Josep Schacht”.[4]

D.    IMPLIKASI FILOSOFIS ORIENTALIS
Objek dan sasaran terpenting yang diupayakan orientalis adalah menjadi manusia-manusia yang mendustai kebenaran, membuka hati bagi kesesatan dan kekufuran, berdasankan firman Allah SWT:
“Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah  kau jadikan diantara mereka penolong-penolong(Mu) , hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling, tawan dan  bunuhlah dia dimana saja kainu menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorangpun diantara mereka menjadi pelindung, dan jangan (pula) menjadi penolong”.
Imaji-imaji dan rekayasa orientalis tentang Nabi Muhammad SAW yang menandaskan bahwa beliau telah menciptakan al-Qur’an dan mengilustrasikan pada setiap manusia sebagai firman Allah adalah belahan masa lalu. Orang-orang musyrik dan kafir Makah mengklaim bahwa al-Qur’an sebagai kebohongan seraya berkata: “Al-Qur’an adalah perkataan seorang penyair, pcrkataan orang gila, perkataan pemuda yang kerasukan jin, dan perkataan ahli sihir.” Mereka menandaskan pula, bahwa al. Qur’an merupakan bagian dan mushaf-mushaf terdahulu. Ungkapan-ungkapan orientalis klasi tersebut sama dengan apa yang diungkapan oleh para orientalis kontemporer, sebab kekufuran mereka itu satu aliran, dan karena setiap musuh Islam bertujuan untuk menciptakan wewenang-wewenang yang dapat memutus relasi seorang muslim dengan kitab sucinya, al-Qur’an al-Karim, kemudian menciptakan skeptisisme tentang kenabian Muhammad SAW.
Karya-karya orientalis mengenai sejarah Nabi Muhammad SAW dan dakwahnya, juga mencakup perbincangan tentang teologi Islam yang diawali dengan skeptisisme seseorang tentang kebenaran al-Qur’an, mengilustrasikan al-Qur’an sebagai buatan Muhammad saw, dan bahwa aktivitas para sahabat dalam melakukan kodifikasi al-Qur’an sebagi sebagai firman Allah justru hanya akan menampakkan kesederhanaan mereka, serta keimanan para Sahabat pada Nabi Muhammad SAW secara buta adalah karena hati nurani mereka telah disihir sekte baru yang memusuhi Islam, menjauhi agamanya dan mencegah penyebaran Islam.[5]
Al-Qur’an adalah satu-satunya kitab suci yang menyatakan dirinya, bersih dari keraguan (la rayba fihi), dijamin keseluruhan isinya terjaga (wa inna lahu la-hafizun), dan tiada mungkin dibuat tandingannya (la ya’tuna bi-mitslihi). Barangkali sifat-sifat inilah yang membuat kalangan non-muslim, khususnya orientalis-missionaris Yahudi dan Kristen iri dan dengki (hasadan min ‘indi anfusihim).
Tetapi tidaklah mengherankan, karena sejak al-Qur’an diturunkan, sudah disinyalir bahwa orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela sampai umat Islam mengikuti keinginan dan keagamaan mereka. Selain itu, mereka ingin agar umat Islam melakukan apa yang mereka lakukan seperti menggugat, dan mempersoalkan yang sudah jelas dan mapan sehingga timbul keraguan terhadap yang benar dan sahih.
Dalam rangka memberi kesan seolah-olah obyektif dan otoritatif, orientalis-missionaris biasa berkedok sebagai pakar (expert scholar) mengenai bahasa, sejarah, agama, tamaddun Timur, baik yang ‘jauh’  (far eastern, seperti Jepang, Cina dan India) maupun yang ‘dekat’ (Near Eastern, seperti Persia, Mesir dan Arabia). 
Dari buku-buku yang ditulis orientalis-missionaris, secara sembunyi maupun secara terbuka, mereka memang benci terhadap al-Qur’an. Diantara ucapan mereka antara lain, Galastowne berkata:
Selama masih terdapat pengaruh buku ini (al-Quran) Inggeris tidak akan mencapai   tujuan sedikitpun di negeri Arab,  kecuali  pengaruh kitab ini telah dihilangkan. Oleh karena itu, Keluarkanlah rahasia ‘buku ini’ di kalangan umat Islam, niscaya tembok penghalang rencana kalian hilang.”
Dalam kesempatan lain ia berkata:
“Selama al-Qur’an masih ada di tengah umat Islam, Eropa tidak akan sanggup mengalahkan Timur, sekaligus mereka (Eropa) tidak aman  terhadap dirinya.”
Ucapan di atas melukiskan betapa  barat sangat takut terhadap Islam dan kebangkitan kebangkitan umat Islam. Mereka tahu, jalan satu-satunya kebangkitan kaum muslimin hanya dengan al-Qur’an, tidak ada jalan lain. Maka bisa dipastikan, mereka berusaha segala daya dan berbagai cara, agar pengaruh al-Qur’an tidak lagi nampak di kalangan kaum muslimin.
Pada tahun 1927, Alphonso Mingana, pendeta Kristen asal Irak dan mantan guru besar di Unversitas Birmingham, Inggeris mengumumkan bahwa: “Sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan studi kritis terhadap al-Qur’an sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani”. Kitab suci Bible berbeda dengan al-Qur’an dari sisi orisinalitasnya. Bible terlalu banyak campur tangan manusia di dalamnya, sehingga sulit dibedakan mana yang benar-benar wahyu dan mana yang bukan wahyu. Saint Jeremo pernah melontarkan bahwa banyak fakta penulis  Bible, diketahui bukan menyalin perkataan yang mereka temukan, tetapi menuliskan apa yang mereka pikir sebagai maknanya. Sehingga yang terjadi bukan pembetulan kesalahan tetapi penambahan kesalahan. Inilah barangkali yang menyebabkan orientalis-missionaris cemburu terhadap al-Qur’an. Karena kekecewaan tersebut, pada tahun 1720 Master of Trinity College, R Bentley menyeru umat Kristen agar mengabaikan kitab suci mereka. Arthur Jeffery tahun 1937 berambisi membuat edisi kritis al-Quran, hendak mengubah Mushaf Usmani yang ada dengan mushaf baru. Orientalis asal Australia yang pernah mengajar di Columbia University ini, konon ingin mmerestorasi teks al-Qur’an berdasarkan kitab al-Mashahif karya Ibn Abi Dawud as-Sijistani yang ditengarai merekam becaa-bacaan dalam beberapa mushaf tandingan. Bagi orientalis-missionaris, isnad tidak penting. Dan karenanya riwayat syadz boleh saja dianggap sahih, riwayat  garib dan ahad boleh saj menjadi mutawatir dan masyhur, dan yang cacat disamakan dengan yang sempurna. Dalam hal ini, tehnik dan strategi merka menjungkirbalikkan kriteria dan nilai, menganggap penting yang sepele dan menyepelekan yang penting. Ada pula orientalis yang ingin mengubah susunan ayat dan surat al-Qur’an secara krnologis, mau mengoreksi bahasa al-Quran atau mengubah sebagian redakssi ayat-ayatnya. Kajian orientalis terhadap al-Quran tidak sebatas mempertanyakan otensitas al-Qur’an. Isu klasik yang diangkat adalah soal pengaruh Yahudi, Kristen, Zoroaster terhadap Islam maupun kandungan al-Quran. Ada  pula yang membandingkan ajaran al-Qur’an dengan adat-istiadat jahiliyah, Romawi dan lain sebagainya. Biasanya merekakatakan  bahwa cerita-cerita dalam al-Qur’an keliru dan tidak sesuai dengan versi bible yang mereka anggap akurat.
Singkatnya, orientalis-missionaris, tidak akan menemukan jalan memahami esensi dan eksistensi al-Qur’an, jika tidak memiliki iman dan penelaahan ilmiyah dan obyektif alias jujur. Mereka-mungkin-mempunyai komentar tentang al-Quran tetapi tidak pernah menyentuh dan merengkuh isinya. Orientalis-missionaris memang tidak membutuhkan isi, seandainya mereka sudah mengetahui isinya sekalipun, mereka akan membuangnya juga karena tidak memiliki kepentingan dengannya.
Orientalis dan Hadis Nabi saw: Mengenai hadis, ulama salaf dan khalaf, tidak pernah ada yang meyakini bahwa seluruh hadis yang ada itu asli dan sahih semuanya. Sebaliknya, tidak ada pula yang berkeyakinan bahwa semua hadis   itu palsu belaka. Hanya orang yang bodoh dan tak berilmu mengatakan demikian. Tetapi orientalis-missionaris cenderung pada pendapat kedua. Padahal dua pendapat di atas sama ekstrimnya. Oleh karena itu, dalam rangka mengecek kebenaran dua pendapat ekstrim itu, dalam ilmu hadis terdapat penelitian terhadap orang yang menyampaikan hadis/Rijal al-hadis. Namun itulah masalahnya, karena mayoritas orientalis tidak percaya adanya sanad hadis. Orientalis semisal Alois Sprenger, yang pertama sekali mempersoalkan status hadis, berpendapat bahwa hadis adalah kumpulan anekdot-anekdot (cerita-cerita bohong tapi menarik). Begitu pula William Muir orientalis asal Inggeris, yang mengkaji biografi Muhammad saw dan sejarah perkembangan Islam, berkata; Dari 4.000 hadis yang dianggap sahih oleh Imam Bukhari, paling tidak separuhnya harus ditolak dari segi isnad, belum lagi dari segi matannya. Selang beberapa waktu muncul Ignaz goldziher, orientalis asal Hungaria yang pernah belajar di Universitas al-Azhar Kairo sekitar tahun 1873-1874, sepulang ke Eropa ia dinobatkan sebagai orientalis yang paling banyak mengerti soal Islam. Pendapat Goldziher, lebih parah dari para pendahulunya, katanya; dari sekian banyak hadis, sebagian besarnya, tidak dijamin keasliannya, alias palsu. Menurut dia lagi, hadis adalah produk bikinan masyarakat Islam beberapa abad setelah Muhammad wafat, bukan berasal dan tidak asli dari nabi. Demikian kesimpulan orientalis-missionaris setelah bekerja bertahun-tahun mengkaji hadis  nabi saw. Adapun kaki tangan orientalis-missionaris, telah menyebar pula di dunia timur, seperti dikemukakan oleh Ahmad Muhammad Syakir, ketika membahas penyimpangan sebagian ulama memahami hadis;
“Kamu lebih tahu urusan duniamu”.
Ia berkata;
Hadis ini digembar-gemborkan oleh banyak orang Mesir, orientalis Eropa, kaki tangan orientalis  serta budak-budak  missionaris. Mereka menjadikan hadis ini sebagai dasar menolak ahli sunnah dan pendukungnnya. Jika mereka hendak menolak sunnah, mengingkari syariat dalam kehidupan sosial, mereka mengatakan ini adalah urusan dunia. Mereka berpegang pada riwayat hadis ini.  Allah SWT tahu bahwa sesungguhnya mereka tidak beriman kepada inti  agama, tidak kepada sifat Uluhiyah Allah dan tidak pula kepada risalah Nabi Muhammad saw. Jika mereka beriman, itu hanya sebatas lisan saja.”
Secara umum orientalis sangat memperhatikan kajian sunnah dan al-Qur’an secara khusus. Menurut mereka, jika dapat menanamkan keraguan terhadap sunnah, maka secara otomatis dapat menanamkan keraguan terhadap al-Qur’an, bahkan Islam itu sendiri. Oleh karena itu, dalam kesempatan lain, Gibb berbicara tentang sunnah, berkata:
Sesungguhnya Islam di bangun di atas landasan hadis-hadis Nabi lebih banyak,  dari pada landasan al-Qur’an. Tetapi jika kita dapat membuang hadis-hadis palsu, maka sedikitpun Islam tidak  ada yang tersisa”.
Akhirnya, dapat kemukakan bahwa di satu pihak, kekeliruan pemahaman tentang kedudukan, fungsi dan sejarah perkembangan hadis timbul akibat dangkalnya pengetahuan agama. Dan di pihak lain, ia terjadi akibat pendangkalan agama yan dilakukan oleh musuh-musuh Islam-khususnya para orientalis yang tidak beranggung jawab  yang mengatasnamakan penelitian ilmiyah untuk tujuan-tujuan tertentu. Gerakan gazwu al-fikr  dunia barat telah membanjiri dunia timur, sehingga ibarat air bah, alirannya yang sangat deras, menggunung dan  bergelombang telah menghanyutkan umat Islam, termasuk tokoh-tokoh intelektual. Meskipun dari kalangan orientalis kebanyakan fanatis dan sangat bersemangat ‘menyerang’ Islam, tetapi harus diakui berkat  pengorbanan dan jasa orientalis, terdapat beberapa penulis yang sampai hari ini karyanya masih digunakan  umat Islam. Diantara nama-nama yang berjasa dengan karya tulis mereka adalah:
·         T.W. Arnold dengan bukunya Preaching of Islam, sebuah karya yang sangat tinggi mutunya. Stanley Lahe/Poole mengarang ‘Saladin’,  (Salahuddin al-Ayyubi) dan buku ‘Moors In Spain’ (Bangsa Arab di Spanyol)
·         A.W. J-Wensick, pengarang ensiklopedi yang sangat rapi menurut abjad yang memuat hadis-hadis yang terdapat dalam kitab-kitab hadis sebanyak empat belas yang masyhur, juga dari buku-buku sirah(biografi) dan perang-perang terkenal. Dalam buku ini terdapat nama-nama perawi dan nama-nama kitab tempat pengambilannya dan cara pengarang menyusun buku ini. Semuanya diterangkan secara panjang lebar di dalam muqaddimahnya. Kitab ini terdiri atas 7 kitab tebal.  Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Ustadz Fuad Abdul Baqi’ yang diberi nama Miftah Kunuzi al-Sunnah. Buku ini diberi kata pengantar oleh Sayyid Rasyid Ridha dan Ahmad Muhammad Syakir.
Studi barat terhadap Islam,atau  orientalisme  dapat diibaratkan sebagai ular  berbisa. Meskipun berbisa, kalau di jamah oleh tangan ahli, bisa tersebut dapat diambil  manfaatnya. Tetapi, pasti beberapa orang, ada juga yang mati karena bisa yang mematikan itu. Lebih parah lagi, jika umat Islam sendiri, bahkan di kalangan pakarnya, yang menyebarkan dan menyuntikkan bisa itu ke dalam tubuh umat Islam.[6]



BAB III
KESIMPULAN




DAFTAR PUSTAKA

As-Syiba’i, Mustofa Hassan. Membongkar Kepalsuan Orientalisme. Yogyakarta: Mitra Pustaka. 1997.
Arifin, Bey. Islam & Para Orientalist. Surabaya: PT Bina Ilmu. 1983.
Arif, Syamsuddin. Orientalis dan diabolisme Pemikiran. Jakarta: Gema Insani. 2008.
El-badawiy, Hasan Abdul Rauf M. & Ghirah, Abdurrahman. Orientalisme & Misionarisme. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2007.
Said, Edward W. Orientalisme. Bandung: Penerbit Pustaka. 1985.



[1] Hasan Abdul Rauf Muhammad el-Badawiy dan Abdurrahman Ghirah, Orientalisme dan Misionarisme, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), hal. 3.
[2] Ibid, Hal. 4.
[3] Ibid, hal. 7-8.
[5] Ibid.
[6] http://www.referensimakalah.com/2011/11/pandangan-orientalis-tentang-al-quran_7160.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar