KAJIAN
ORIENTALIS TERHADAP AL-QUR’AN
By: Evi Muzaiyidah Bukhori (Mahasiswa Pascasarjana UIN Maliki Malang)
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Allah swt telah menetapkan Muhammad saw sebagai Rasul-Nya yang
terakhir, dialah penyempurna Agama Islam dan penutup para Nabi sebagai khalifah
di bumi. Al-qur’an adalah kitab
suci yang di turunkan kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai mukjizat dan jalan
penerang bagi sekalian umat muslim di dunia, sebagai pedoman yang benar
untuk sebagai tuntunan menuju keridaan Alla SWT yaitu amal saleh yang ganjarannya
yaitu kenikmatan surga. Sebagai umat yang taat tentunya akan selalu berbuat
baik yang adapun dasar hukum perbuatan baik yaitu Al-Qur’an dan Hadis.
Namun seiring dengan berkembangnya zaman, muncullah
interpretasi-interpretasi mengenai ajaran Islam, salah satunya adalah gagasan
orientalisme. Bagaimanakah interpretasi mereka? Dan apa misi mereka? Akan
penulis bahas dalam makalah ini.
B.
Rumusan Masalah
1.
Siapakah orientalis dan apa saja objek kajiannya?
2.
Bagaimana perkembangan orientalis ?
3.
Apa saja dogma orientalis?
4.
Bagaimana implikasi filosofisnya?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui siapakah orientalis dan apa saja objek kajiannya.
2.
Untuk mengetahui bagaimana perkembangan orientalis.
3.
Untuk mengetahui apa saja dogma orientalis.
4.
Untuk mengetahui bagaimana implikasi filosofisnya.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN ORIENTALIS
Kata orientalisme adalah kata yang dinisbatkan kepada sebuah
studi/penelitian yang dilakukan oleh selain orang timur terhadap berbagai
disiplin ilmu ketimuran, baik bahasa, agama, sejarah dan permasalahan-permasalahan
sosio-kultural bangsa Timur. Atau ada juga yang mengatakan orientalisme adalah
suatu disiplin ilmu yang membahas tentang ketimuran.[1]
Kata orientalis biasa digunakan bagi para ilmuwan Barat yang
mempelajari hal-hal ketimuran dalam berbagai aspek, baik bahasa, kebiasaan,
peradaban, terlebih agama-agamanya. Secara umum, orientalis adalah sekelompok
orang atau golongan yang berasal dari negara-negara dan ras yang berbeda-beda,
yang mengkonsentrasikan diri dalam berbagai kajian ketimuran, khususnya dalam
hal keilmuan, peradaban, dan agama, khususnya negara Arab, Cina, Persia, dan
India. Selanjutnya, kata orientalis ini ditujukan kepada orang-orang Kristen
yang sangat berkeinginan untuk melakukan studi terhadap Islam dan Bahasa Arab.[2]
Objek kajiannya meliputi peradaban, agama, seni, sastera, bahasa
dan kebudayaannya. Gagasan pemikiran ini telah memberikan kesan yang besar
dalam membentuk persepsi Barat terhadap Islam dan dunia Islam. Caranya ialah
dengan menyebarkan kemunduran cara berfikir dunia Islam dalam pertarungan
peradaban antara Timur (Islam) dengan Barat. .Menurut Edwar Said, orientalisme
bukan sekedar wacana akademis tetapi juga memiliki akar-akar politis, ekonomis,
dan bahkan relijius. Secara politis, penelitian, kajian dan pandangan Barat
tentang dunia oriental bertujuan untuk kepentingan politik kolonialisme Eropa
untuk menguasai wilayah-wilayah Muslim. Dan kolonialisme Eropa tak bisa lain
berkaitan dengan kepentingan ekonomi dan sekaligus juga kepentingan keagamaan;
tegasnya penyebaran Kristen. Ketiga kepentingan yang saling terkait satu sama
lain ini tersimpul dalam slogan yang sangat terkenal tentang ekspansi Eropa ke
kawasan dunia Islam, yang mencakup 3G yakni Glory, Gold and Gospel: kejayaan,
kekayaan ekonomi dan penginjilan. Semua motif dan kepentingan orientalisme ini
secara implisit juga bersifat rasis. Dan ini tercermin dalam slogan missi
pembudayaan terhadap dunia Timur yang terbelakang, jika tidak primitif.
Faktor-faktor munculnya Orientalisme:
1.
Faktor Agama Faktor inilah yang menjadi asas kepada kemunculan dan
pertumbuhan orientalisma yang berlangsung begitu lama. Sasarannya antara lain
ialah :
a)
Menimbulkan keraguan ke atas kerasulan Muhammad s.a.w dan
menganggap hadis Nabi sebagai amal perbuatan ummat Islam (bukannya daripada
nabi) selama tiga abad pertama.
b)
Menimbulkan keraguan terhadap kebenaran al-Qur'an dan memutar
belitnnya.
c)
Memperkecil nilai fiqh Islam dan menganggapnya sebagai saduran dari
hukum Romawi.
d)
Menganaktirikan bahasa Arab dan menjauhkannya dari ilmu pengetahuan
yang semakin berkembang.
e)
Memperkenalkan teori bahwa Islam adalah berasal dari agama Yahudi
dan Nasrani
f)
Mengkristiankan ummat Islam.
g)
Menggunakan hadis-hadis dha'if dan maudhu' untuk menyokong
pendapatnya dan mengembangkan teorinya.
2.
Faktor ekonomi dan penjajahan Institusi-institusi kewangan,
industri-industri mega dan pihak pemerintah sendiri telah mengeluarkan banyak
modal untuk kajian-kajian bagi mengenalpasti keadaan negara-negara Islam dengan
lebih mendalam . Kajian tersebut sangat digalakkan terutamanya pada masa
sebelum penjajahan Barat dalam abad 19 dan 20 M.
3.
Faktor politik
a)
Melemahkan semangat ukhuwah Islamiyah dan memecah belah ummat untuk
membolehkan mereka (orang-orang Islam) dikuasai
b)
Menghidupkan bahasa Arab 'amiyyah (bahasa pasar) dan mengubah adat
istiadat yang diamalkan.
c)
Para pegawai di negara-negara Islam diarahkan untuk mempelajari
bahasa asing (iaitu bahasa penjajah) agar memahami kebudayaan dan agama
penjajah. Tujuannya agar mereka mudah dipengaruhi dan dikuasai.
4.
Faktor keilmuan
Sebagian
orientalis ada yang mengarahkan kajian dan analisanya semata-mata untuk
menambah ilmu dan pengetahuan. Sebagian mereka ada yang memahami asas-asas dan
roh Islam malah ada yang memeluk Islam, seperti Thomas Arnold yang mempunyai
peranan yang besar dalam menyedarkan kaum muslimin dengan bukunya ‘The
Preaching in Islam’, dan Dinet yang telah memeluk Islam dan tinggal di Algeria.
la menulis, buku Sinar Khusus Cahaya Islam. Ia meninggal di Perancis dan
dikebumikan di Algeria.
B.
PERKEMBANGAN ORIENTALIS
Tidak diketahui
secara pasti, siapa orang Barat yang mempelajari Orientalisme dan kapan
waktunya. Hal yang pasti adalah sebagian pendeta Barat mengunjungi Andalusia
bermaksud mempelajari Islam, menerjemahkan Al-Qur’an, dan buku-buku berbahasa
Arab ke dalam bahasa mereka. Selain itu mereka juga berguru kepada ulama-ulama
Islam diberbagai disiplin ilmu, diantaranya filsafat, kedokteran, dan
metafisika. Pendeta-pendeta tersebut adalah:
1.
Seorang pendeta Perancis bernama Gerbert, yang terpilih sebagai
pemimpin gereja Roma tahun 999 M, selepas belajar di berbagai perguruan di
Andalusia dan kembali ke negaranya.
2.
Pendeta Petrus (1092-1156)
3.
Pendeta Gerrardi Krimon (1114-1187)
Sekembalinya para pendeta tersebut ke negaranya masing-masing,
mereka menyebarkan kebudayaan Arab dan buku-buku karangan ulama-ulama terkenal
Islam. Kemudian mereka mendirikan sekolah khusus mengkaji Islam, seperti
madrasah Islam Badawiy.
Menjelang abad ke-18 yaitu abad dimana orang-orang Barat menguasai
dunia Islam dan menguasai kerajan-kerajaannya. Para pemikir Barat mulai
menyebarkan paham orientalisme melalui jurnal-jurnal yang diterbitakn diseluruh
penjuru negara dan kerajaan Barat. Mereka mengubah literatur Arab dan Islam
yang asli dan membeli dari oknum yang tidak bertanggung jawab atau bahkan
mencurinya dari perpustakaan di negara mereka. Jika dihitung, literatus Arab
yang langka pindah ke perpustakaan Eropa jumlahnya mencapai 250.000 jilid pada
abad 19 dan bertambah terus hingga saat ini.
Pada akhir abad 18 ini, para orientalis mengubah strategi mereka
dengan menampilkan wajah baru orientalisme, yang mereka sebut membebaskan
orientalisme dari tujuan misionaris kepada arah penelitian ilmiah saja.
Berkembanglah di berbagai kota di Eropa seperti London, Paris,
Leiden, dan St. Petersburg kuliah-kuliah yang mempelajari bahasa Timur seperti
Arab, Persia, Turki dan Urdu. Tujuan awal mereka dari kuliah-kuliah ini tiada
lain dalam rangka memperluas kekuasaan kolonialisme dengan cara memperalat para
ahli-ahli dalam urusan tata negara Islam.
Kemudian para orientalis mampu mengembangkan strategi dan wajah
baru mereka ke lembaga-lembaga keilmuan, seperti yang telah mereka lakukan di
lembaga bahasa Mesir, lembaga ilmu di Damaskus, dan lembaga ilmu di Bagdad.
Sampai sekarang telah berdiri yayasan keagamaan, politik, dan ekonomi di Barat
yang hidup atas sokongan bantuan kerajaan dan para pemimpin masa lalu, berupa
dana bantuan terhadap kegiatan orientalisme, lahan-lahan garapan serta
beasiswa-beasiswa yang diberikan secara Cuma-Cuma kepada mahasiswa yang mau
terjun dan menggeluti bidang orientalisme ini.[3]
C.
DOGMA ORIENTALIS
Menurut pengamatan Amien Rais sekurang-kurangnya terdapat enam dogma orientalisme, yaitu :
Pertama: ada perbedaan mutlak dan perbedaan sistematik antara Barat yang rasional,
maju, manusiawi dan superior, dengan Timur yang sesat, irrasional, terbelakang
dan inferior. Menurut anggapan mereka, hanya orang Eropa dan Amerika yang
merupakan manusia-penuh, sedangkan orang Asia-Afrika hanya bertaraf
setangah-manusia.
Edward W. Said menyatakan orientalisme memandang Timur sebagai sesuatu yang
keberadaannya tidak hanya disuguhkan melainkan juga tetap tinggal pasti dalam
waktu dan tempat bagi Barat. Seluruh periode sejarah budaya, politik dan sosial
timur hanyalah dianggap sebagai tanggapan semata-mata terhadap Barat. Barat adalah pelaku
(actor),sedangkan Timur hanyalah penanggap (reactor) yang pasif.
Barat adalah penonton, penilai dan juri bagi setiap segi tingkah laku
Timur.
Sikap-sikap orientalis kontemporer, lanjut Said, telah menguasai pers dan
pikiran masyarakat. Orang-orang Arab, umpamanya, dianggap si hidung belang yang
senang menerima suap yang kekayaannya merupakan penghinaan terang-terangan
terhadap peradaban sejati. Selalu ada asumsi bahwa meskipun konsumen Barat
tergolong minoritas dari penduduk dunia, mereka berhak untuk memiliki atau
membelanjakan sebagian besar sumber daya dunia. Mengapa? Karena mereka
manusia-manusia sejati yang berlainan dengan dunia Timur.
Kedua: abstraksi dan teorisasi tentang Timur lebih banyak didasarkan pada
teks-teks klasik, dan hal ini lebih diutamakan dari peda bukti-bukti nyata dari
mayarakat Timur yang konkret dan riil. Dalam masalah ini, para orientalis tidak
biasa mengelakan tuduhan Edward W. Said bahwa mereka tidak mau menyelidiki
perubahaan yang terjadi dalam masyarakat Timur, tetapi lebih mengutamakan isi
teks-tek kuno sehingga orientalisme berputar-putar di sekitar studi tekstual,
tidak realistis. Philiph K. Hitti, umpanya, mengatakan bahwa untuk mempelajari
islam dan umatnya tidak diperlukan kerangka teori baru karena, menurutnya, masyarakat
Islam yang sekarang sembilan abad yang lalu.
Ketiga: Timur
dianggap begitu lestari (tidak berubah-ubah), seragam, dan tidak sanggup
mendefinisikan dirinya. Karena itu menjadi tugas Barat untuk mendefinisikan apa
sesungguhnya Timur itu, dengan cara yang sangat digeneralisasi, dan
semua itu dianggap cukup objektif.
Keempat: pada dasarnya Timur itu merupakan sesuatu yang
perlu ditakuti, atau sesuatu yang perlu ditaklukkan. Apabila seseorang orientalis mempelajari Islam
dan umatnya, keempat dogma itu perlu ditambah dengan dua dogma pokok lainnya.
Kelima: Al-Quran bukanlah wahyu
Tuhan, melainkan buku karangan Muhammad SAW yang merupakan gabungan unsur-unsur
agama Yahudi, Kristen, dan tradisi Arab pra-Islam. Seorang orientalis bernama
Chateaubriand, misalnya, mengindoktrinasi murid-muridnya bahwa al-Quran itu
sekedar buku karangan Muhammad SAW. Al-Quran tidak memuat prinsip-prinsip
peradaban maupun ajaran yang memperluhur watak manusia. Ia bahkan mengatakan,
al-Quran tidak mengutuk tirani dan iak mengajurkan cinta pada kemerdekaan.
Keenam: kesahihan atau keaslian
semua Hadis harus diragukan. Malah ada yang mengeritik syarat-syarat sahnya
Hadis seperti yang dilakukan Joseph Schacht. Amien Rais menyindir bahwa
disamping ada hadis riwayat Bukhari dan Muslim ada juga “Hadis riwayat Josep
Schacht”.[4]
D.
IMPLIKASI FILOSOFIS ORIENTALIS
Objek
dan sasaran
terpenting yang diupayakan orientalis adalah menjadi manusia-manusia yang
mendustai kebenaran, membuka hati bagi kesesatan dan kekufuran, berdasankan
firman Allah SWT:
“Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana
mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka
janganlah kau jadikan diantara mereka penolong-penolong(Mu) , hingga
mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling, tawan
dan bunuhlah dia dimana saja kainu menemuinya, dan janganlah kamu
ambil seorangpun diantara mereka menjadi pelindung, dan jangan (pula) menjadi
penolong”.
Imaji-imaji
dan rekayasa orientalis tentang Nabi Muhammad SAW yang menandaskan bahwa beliau
telah menciptakan al-Qur’an dan mengilustrasikan pada setiap manusia sebagai
firman Allah adalah belahan masa lalu. Orang-orang musyrik dan kafir Makah
mengklaim bahwa al-Qur’an sebagai kebohongan seraya berkata: “Al-Qur’an adalah
perkataan seorang penyair, pcrkataan orang gila, perkataan pemuda yang
kerasukan jin, dan perkataan ahli sihir.” Mereka menandaskan pula, bahwa al.
Qur’an merupakan bagian dan mushaf-mushaf terdahulu. Ungkapan-ungkapan
orientalis klasi tersebut sama dengan apa yang diungkapan oleh para orientalis
kontemporer, sebab kekufuran mereka itu satu aliran, dan karena setiap musuh
Islam bertujuan untuk menciptakan wewenang-wewenang yang dapat memutus relasi
seorang muslim dengan kitab sucinya, al-Qur’an al-Karim, kemudian menciptakan
skeptisisme tentang kenabian Muhammad SAW.
Karya-karya
orientalis mengenai sejarah Nabi Muhammad SAW dan dakwahnya, juga mencakup
perbincangan tentang teologi Islam yang diawali dengan skeptisisme seseorang
tentang kebenaran al-Qur’an, mengilustrasikan al-Qur’an sebagai buatan Muhammad
saw, dan bahwa aktivitas para sahabat dalam melakukan kodifikasi al-Qur’an
sebagi sebagai firman Allah justru hanya akan menampakkan kesederhanaan mereka,
serta keimanan para Sahabat pada Nabi Muhammad SAW secara buta adalah karena
hati nurani mereka telah disihir sekte baru yang memusuhi Islam, menjauhi
agamanya dan mencegah penyebaran Islam.[5]
Al-Qur’an adalah satu-satunya
kitab suci yang menyatakan dirinya, bersih dari keraguan (la rayba fihi),
dijamin keseluruhan isinya terjaga (wa inna lahu la-hafizun), dan tiada
mungkin dibuat tandingannya (la ya’tuna bi-mitslihi). Barangkali
sifat-sifat inilah yang membuat kalangan non-muslim, khususnya
orientalis-missionaris Yahudi dan Kristen iri dan dengki (hasadan min ‘indi
anfusihim).
Tetapi tidaklah
mengherankan, karena sejak al-Qur’an diturunkan, sudah disinyalir bahwa orang
Yahudi dan Nasrani tidak akan rela sampai umat Islam mengikuti keinginan dan
keagamaan mereka. Selain itu, mereka ingin agar umat Islam melakukan apa yang
mereka lakukan seperti menggugat, dan mempersoalkan yang sudah jelas dan mapan
sehingga timbul keraguan terhadap yang benar dan sahih.
Dalam rangka
memberi kesan seolah-olah obyektif dan otoritatif, orientalis-missionaris biasa
berkedok sebagai pakar (expert scholar) mengenai bahasa, sejarah, agama,
tamaddun Timur, baik yang ‘jauh’ (far eastern, seperti Jepang, Cina dan
India) maupun yang ‘dekat’ (Near Eastern, seperti Persia, Mesir dan
Arabia).
Dari buku-buku
yang ditulis orientalis-missionaris, secara sembunyi maupun secara terbuka,
mereka memang benci terhadap al-Qur’an. Diantara ucapan mereka antara lain,
Galastowne berkata:
“Selama
masih terdapat pengaruh buku ini (al-Quran) Inggeris tidak akan
mencapai tujuan sedikitpun di negeri Arab, kecuali
pengaruh kitab ini telah dihilangkan. Oleh karena itu, Keluarkanlah rahasia
‘buku ini’ di kalangan umat Islam, niscaya tembok penghalang rencana kalian
hilang.”
Dalam kesempatan lain ia berkata:
“Selama
al-Qur’an masih ada di tengah umat Islam, Eropa tidak akan sanggup mengalahkan
Timur, sekaligus mereka (Eropa) tidak aman terhadap dirinya.”
Ucapan di atas
melukiskan betapa barat sangat takut terhadap Islam dan kebangkitan
kebangkitan umat Islam. Mereka tahu, jalan satu-satunya kebangkitan kaum
muslimin hanya dengan al-Qur’an, tidak ada jalan lain. Maka bisa dipastikan,
mereka berusaha segala daya dan berbagai cara, agar pengaruh al-Qur’an tidak
lagi nampak di kalangan kaum muslimin.
Pada tahun
1927, Alphonso Mingana, pendeta Kristen asal Irak dan mantan guru besar di
Unversitas Birmingham, Inggeris mengumumkan bahwa: “Sudah tiba saatnya sekarang
untuk melakukan studi kritis terhadap al-Qur’an sebagaimana telah kita lakukan
terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen
yang berbahasa Yunani”. Kitab suci Bible berbeda dengan al-Qur’an dari sisi
orisinalitasnya. Bible terlalu banyak campur tangan manusia di dalamnya,
sehingga sulit dibedakan mana yang benar-benar wahyu dan mana yang bukan wahyu.
Saint Jeremo pernah melontarkan bahwa banyak fakta penulis Bible,
diketahui bukan menyalin perkataan yang mereka temukan, tetapi menuliskan apa
yang mereka pikir sebagai maknanya. Sehingga yang terjadi bukan pembetulan
kesalahan tetapi penambahan kesalahan. Inilah barangkali yang menyebabkan orientalis-missionaris
cemburu terhadap al-Qur’an. Karena kekecewaan tersebut, pada tahun 1720 Master
of Trinity College, R Bentley menyeru umat Kristen agar mengabaikan kitab suci
mereka. Arthur Jeffery tahun 1937 berambisi membuat edisi kritis al-Quran, hendak
mengubah Mushaf Usmani yang ada dengan mushaf baru. Orientalis asal Australia
yang pernah mengajar di Columbia University ini, konon ingin mmerestorasi teks
al-Qur’an berdasarkan kitab al-Mashahif karya Ibn Abi Dawud as-Sijistani yang
ditengarai merekam becaa-bacaan dalam beberapa mushaf tandingan. Bagi
orientalis-missionaris, isnad tidak penting. Dan karenanya riwayat syadz boleh
saja dianggap sahih, riwayat garib dan ahad boleh saj menjadi mutawatir
dan masyhur, dan yang cacat disamakan dengan yang sempurna. Dalam hal ini,
tehnik dan strategi merka menjungkirbalikkan kriteria dan nilai, menganggap
penting yang sepele dan menyepelekan yang penting. Ada pula orientalis yang
ingin mengubah susunan ayat dan surat al-Qur’an secara krnologis, mau mengoreksi
bahasa al-Quran atau mengubah sebagian redakssi ayat-ayatnya. Kajian orientalis
terhadap al-Quran tidak sebatas mempertanyakan otensitas al-Qur’an. Isu klasik
yang diangkat adalah soal pengaruh Yahudi, Kristen, Zoroaster terhadap Islam
maupun kandungan al-Quran. Ada pula yang membandingkan ajaran al-Qur’an
dengan adat-istiadat jahiliyah, Romawi dan lain sebagainya. Biasanya
merekakatakan bahwa cerita-cerita dalam al-Qur’an keliru dan tidak sesuai
dengan versi bible yang mereka anggap akurat.
Singkatnya,
orientalis-missionaris, tidak akan menemukan jalan memahami esensi dan
eksistensi al-Qur’an, jika tidak memiliki iman dan penelaahan ilmiyah dan
obyektif alias jujur. Mereka-mungkin-mempunyai komentar tentang al-Quran tetapi
tidak pernah menyentuh dan merengkuh isinya. Orientalis-missionaris memang
tidak membutuhkan isi, seandainya mereka sudah mengetahui isinya sekalipun,
mereka akan membuangnya juga karena tidak memiliki kepentingan dengannya.
Orientalis dan
Hadis Nabi saw: Mengenai hadis, ulama salaf dan khalaf, tidak pernah ada yang
meyakini bahwa seluruh hadis yang ada itu asli dan sahih semuanya. Sebaliknya,
tidak ada pula yang berkeyakinan bahwa semua hadis itu palsu
belaka. Hanya orang yang bodoh dan tak berilmu mengatakan demikian. Tetapi orientalis-missionaris
cenderung pada pendapat kedua. Padahal dua pendapat di atas sama ekstrimnya.
Oleh karena itu, dalam rangka mengecek kebenaran dua pendapat ekstrim itu,
dalam ilmu hadis terdapat penelitian terhadap orang yang menyampaikan
hadis/Rijal al-hadis. Namun itulah masalahnya, karena mayoritas orientalis
tidak percaya adanya sanad hadis. Orientalis semisal Alois Sprenger, yang
pertama sekali mempersoalkan status hadis, berpendapat bahwa hadis adalah
kumpulan anekdot-anekdot (cerita-cerita bohong tapi menarik). Begitu pula
William Muir orientalis asal Inggeris, yang mengkaji biografi Muhammad saw dan
sejarah perkembangan Islam, berkata; Dari 4.000 hadis yang dianggap sahih oleh
Imam Bukhari, paling tidak separuhnya harus ditolak dari segi isnad, belum lagi
dari segi matannya. Selang beberapa waktu muncul Ignaz goldziher, orientalis
asal Hungaria yang pernah belajar di Universitas al-Azhar Kairo sekitar tahun
1873-1874, sepulang ke Eropa ia dinobatkan sebagai orientalis yang paling
banyak mengerti soal Islam. Pendapat Goldziher, lebih parah dari para
pendahulunya, katanya; dari sekian banyak hadis, sebagian besarnya, tidak
dijamin keasliannya, alias palsu. Menurut dia lagi, hadis adalah produk bikinan
masyarakat Islam beberapa abad setelah Muhammad wafat, bukan berasal dan tidak
asli dari nabi. Demikian kesimpulan orientalis-missionaris setelah bekerja
bertahun-tahun mengkaji hadis nabi saw. Adapun kaki tangan
orientalis-missionaris, telah menyebar pula di dunia timur, seperti dikemukakan
oleh Ahmad Muhammad Syakir, ketika membahas penyimpangan sebagian ulama
memahami hadis;
“Kamu lebih
tahu urusan duniamu”.
Ia berkata;
“Hadis ini
digembar-gemborkan oleh banyak orang Mesir, orientalis Eropa, kaki tangan
orientalis serta budak-budak missionaris. Mereka menjadikan hadis
ini sebagai dasar menolak ahli sunnah dan pendukungnnya. Jika mereka hendak
menolak sunnah, mengingkari syariat dalam kehidupan sosial, mereka mengatakan
ini adalah urusan dunia. Mereka berpegang pada riwayat hadis ini. Allah SWT
tahu bahwa sesungguhnya mereka tidak beriman kepada inti agama, tidak
kepada sifat Uluhiyah Allah dan tidak pula kepada risalah Nabi Muhammad saw.
Jika mereka beriman, itu hanya sebatas lisan saja.”
Secara umum
orientalis sangat memperhatikan kajian sunnah dan al-Qur’an secara khusus.
Menurut mereka, jika dapat menanamkan keraguan terhadap sunnah, maka secara
otomatis dapat menanamkan keraguan terhadap al-Qur’an, bahkan Islam itu
sendiri. Oleh karena itu, dalam kesempatan lain, Gibb berbicara tentang sunnah,
berkata:
“Sesungguhnya
Islam di bangun di atas landasan hadis-hadis Nabi lebih banyak, dari pada
landasan al-Qur’an. Tetapi jika kita dapat membuang hadis-hadis palsu, maka
sedikitpun Islam tidak ada yang tersisa”.
Akhirnya, dapat
kemukakan bahwa di satu pihak, kekeliruan pemahaman tentang kedudukan, fungsi
dan sejarah perkembangan hadis timbul akibat dangkalnya pengetahuan agama. Dan
di pihak lain, ia terjadi akibat pendangkalan agama yan dilakukan oleh
musuh-musuh Islam-khususnya para orientalis yang tidak beranggung jawab
yang mengatasnamakan penelitian ilmiyah untuk tujuan-tujuan tertentu. Gerakan gazwu
al-fikr dunia barat telah membanjiri dunia timur, sehingga ibarat air
bah, alirannya yang sangat deras, menggunung dan bergelombang telah
menghanyutkan umat Islam, termasuk tokoh-tokoh intelektual. Meskipun dari
kalangan orientalis kebanyakan fanatis dan sangat bersemangat ‘menyerang’
Islam, tetapi harus diakui berkat pengorbanan dan jasa orientalis,
terdapat beberapa penulis yang sampai hari ini karyanya masih digunakan
umat Islam. Diantara nama-nama yang berjasa dengan karya tulis mereka
adalah:
·
T.W. Arnold dengan bukunya Preaching of Islam, sebuah karya
yang sangat tinggi mutunya. Stanley Lahe/Poole mengarang ‘Saladin’,
(Salahuddin al-Ayyubi) dan buku ‘Moors In Spain’ (Bangsa Arab di
Spanyol)
·
A.W. J-Wensick, pengarang ensiklopedi yang sangat rapi menurut
abjad yang memuat hadis-hadis yang terdapat dalam kitab-kitab hadis sebanyak
empat belas yang masyhur, juga dari buku-buku sirah(biografi) dan perang-perang
terkenal. Dalam buku ini terdapat nama-nama perawi dan nama-nama kitab tempat
pengambilannya dan cara pengarang menyusun buku ini. Semuanya diterangkan
secara panjang lebar di dalam muqaddimahnya. Kitab ini terdiri atas 7 kitab
tebal. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Ustadz Fuad
Abdul Baqi’ yang diberi nama Miftah Kunuzi al-Sunnah. Buku ini diberi
kata pengantar oleh Sayyid Rasyid Ridha dan Ahmad Muhammad Syakir.
Studi barat
terhadap Islam,atau orientalisme dapat diibaratkan sebagai
ular berbisa. Meskipun berbisa, kalau di jamah oleh tangan ahli, bisa
tersebut dapat diambil manfaatnya. Tetapi, pasti beberapa orang, ada juga
yang mati karena bisa yang mematikan itu. Lebih parah lagi, jika umat Islam
sendiri, bahkan di kalangan pakarnya, yang menyebarkan dan menyuntikkan bisa
itu ke dalam tubuh umat Islam.[6]
BAB
III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
As-Syiba’i, Mustofa
Hassan. Membongkar Kepalsuan Orientalisme. Yogyakarta: Mitra Pustaka.
1997.
Arifin, Bey. Islam
& Para Orientalist. Surabaya: PT Bina Ilmu. 1983.
Arif, Syamsuddin. Orientalis
dan diabolisme Pemikiran. Jakarta: Gema Insani. 2008.
El-badawiy, Hasan Abdul
Rauf M. & Ghirah, Abdurrahman. Orientalisme & Misionarisme. Bandung:
Remaja Rosdakarya. 2007.
Said, Edward W. Orientalisme.
Bandung: Penerbit Pustaka. 1985.
Mahmud
Rifaan Nudin, http://ushuluddin4.blogspot.com/2013/04/fitnah-orientalis-terhadap-al-quran.html
[1] Hasan
Abdul Rauf Muhammad el-Badawiy dan Abdurrahman Ghirah, Orientalisme dan
Misionarisme, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), hal. 3.
[2] Ibid,
Hal. 4.
[3] Ibid,
hal. 7-8.
[4]
Mahmud Rifaan Nudin, http://ushuluddin4.blogspot.com/2013/04/fitnah-orientalis-terhadap-al-quran.html
[5] Ibid.
[6] http://www.referensimakalah.com/2011/11/pandangan-orientalis-tentang-al-quran_7160.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar