PERKEMBANGAN ILMU FIQIH
PADA MASA RASULULLAH
SAW
(Mahasiswi PBA UIN Maliki
Malang)
BAB II
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Fiqih
Islam dalam pertumbuhan dan perkembangannya, sama halnya dengan benda hidup baik
yang konkrit maupun yang abstrak , tidak lahir tanpa melalui sesuatu, dan tidak
mencapai kesempurnaannya dengan satu loncatan saja. Akan tetapi ia lahir dari
sesuatu yang telah ada pada sebelumnya, lalu tumbuh secara alamiah, hingga
mencapai puncak kematangan dan kesempurnaanya. Kemudian ilmu fiqih mengalami
berbagai peristiwa sampai masa tuanya. Pada masa rasulullah saw ilmu syariat
barulah di tetapkan, dan pemegang undang-undang hukum Islam pada masa itu
adalah Rasulullah saw sendiri.
Hukum-hukum
syariat itu ditetapkan karena adanya sebuah peristiwa dan kejadian ataupun
bahkan adanya pertanyaan dari para sahabat Rasulullah saw. Karena Islam adalah
agama yang benar, dan lurus dan rahmatan lil ‘alamin maka dari itu ditetapkanlah
hukum oleh Rasulullah saw yang bersumber pada wahyu Ilahi untuk menyempurnakan
agama Allah swt.
Kondisi
ummat Islam pada masa itu sangat lemah dan krisis moral, mereka miskin iman,
miskin hati, tingkah laku mereka pun sangat menyalahi aturan yang berlaku.
Turunlah wahyu Allah kepada Rasulullah saw yang bertujuan untuk menyempurnakan akhlaq mereka dan
menetapkan suatu hukum. Sejarah fiqih Islam pada haqiqatnya tumbuh dan
berkembang pada masa nabi sendiri, karena nabilah yang mempunyai wewenang untuk
mentasyri’kan hukum.
Sumber-sumber yang dipakai
rasulullah untuk menetapkan suatu hukum itu semua bersumber pada al-Qur’an
(wahyu Allah swt) akan tetapi, disamping Al-Qur’an yang menjadi sumber
penetapan hukum adalah sunnah Rasulullah saw dan ijtihad Rasullah beserta para
sahabat-sahabatnya. Inilah yang dimaksud sejarah fiqih Islam yang merupakan ilmu yang membahas tentang
keadaan fiqih Islam pada masa Rasulullah saw.
Fase inilah yang dilalui umat Islam dalam penetapan hukum-hukum
syari’at. Fase ini tidak berlangsung cukup lama, hanya sebatas sepanjang hidup
Rasulullah saw.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Bagaimana situasi dan kondisi umat Islam pada masa Rasulullah saw ?
2.
Apa yang menjadi sumber pokok
dalam menentukan suatu hukum pada masa Rasulullah saw?
3.
Bagaimana perkembangan ilmu fiqih pada masa Rasulullah saw?
1.3 Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui situasi dan kondisi pada masa Rasdulullah
2. Untuk mengetahui sumber-sumber apa yang dipakai dalam menentukan
suatu hukum pada masa Rasulullah saw
3. Untuk mengetahui perkembangan Ilmu Fiqih pada masa Rasulullah
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Situasi dan Kondisi Umat
Islam Pada Masa Rasulullah saw
Masa pertama atau
masa Nabi saw adalah masa fiqih Islam mulai tumbuh dan membentuk dirinya
menjelma ke alam perwujudan. Masa Rasulullah walaupun berlangsung tidak lama
akan tetapi masa inilah yang meninggalkan kesan-kesan serta pengaruh yang
penting bagi perkembangan hukum Islam dan masa kulli (yang bersifat keseluruhan)
dan dasar yang universal. Situasi dan kondisi pada masa Rasulullah ini terbagi
kepada dua masa yang masing-masing mempunyai corak sendiri yang jauh berbeda.
Dua masa itu adalah periode makkah dan periode madinah.[1]
I.
Periode Makkah
Periode pertama adalah periode
makkah, yaitu selama Rasullah berada dimakkah lamanya 12 tahun dan beberapa
bulan sejak beliau di utus menjadi Rasul sampai beliau hijrah ke madinah. Pada
periode ini konsentrasi Rasulullah ditujukan pada penyabaran ajakan bertauhid,
ajakan untuk meng-Esakan Allah, mangubah arah muka dari penyembahan berhala
kepada hanya menyembah Allah swt semata. Disamping berusaha untuk menghindarkan
diri dari siksaan orang-orang yang menghalang-halangi dakwahnya, Kaum muslimin
pada masa itu hanya sedikit dan lemah, belum merupakan suatu umat yang
mempunyai urusan kenegaraan. Oleh karena itu maka pada periode ini tidak ada
jalan dan tidak sedikit yaitu terbatas
dengan hukum-hukum amaliyah yang mempunyai hubungan erat dan dapat menunjang
kepada kekokohan iman. Seperti larangan makan daging binatang yang disembelih
dengan tidak menyebut nama Allah , atau masih erat hubungannya dengan pembinaan
akhlaq seperti berbuat adil, larangan berbuat zina, larangan membunuh dan
sebagainya. [2]
Karena itu surat-surat makiyyah
seperti surat Yunus, Ar-Ra’du, Al-Furqon, Yasin dan Al-Hadid tidak terdapat
satu ayat pun dari ayat-ayat ahkam amaliyah, tetapi ayat-ayatnya berkenaan
dengan aqidah (keimanan). Akhlaq dan kissah-kisah perjalanan suri tauladan yang
perlu diberikan dalam rangka usaha
memperkokoh iman dan memperbaiki akhlaq.[3]
Pada masa ini belum banyak hal-hal yang mendorong
Nabi saw untuk mengadakan hukum atau undang-undang, karena itu tidak ada dalam
surat-surat yang telah disebutkan di atas adalah berisikan tentang hal-hal yang
mengenai aqidah kepercayaan, akhlaq dan sejarah.[4]
II.
Periode Madinah
Periode kedua adalah periode madinah
yaitu selama Rasulullah berada di Madinah
kurang lebih selama 10 tahun yaitu sejak beliau hijrah sampai beliau
wafat. Pada periode inilah ummat Islam telah kuat, pengikutnya telah banyak,
sehingga merupakan masyarakat yang mempunyai urusan kenegaraan.
Rintangan-rintangan dan gangguan-gangguan sudah melemah dan dalam masyarakat
mulailah timbul keperluan untuk menciptakan adanya hukum-hukum untuk
mentertibkan hubungan sebagian dengan bagian yang lain, dan juga hubungan dengan
ummat lain baik dalam keadaan damai maupun dalam keadaan perang. Oleh karena
itu di madinahlah disyariatkannya hukum-hukum tentang ibadah keseluruhannya
seperti perintah untuk menunaikan ibadah puasa, zakat, haji, sholat. Disamping
disyari’atkan hukum tentang perkawinan, talaq, waris, hutang-piutang, pidana
dan lain-lain. Surat-surat madaniyah seperti Al-Baqarah, Ali Imran, An-nisa’,
Al-Anfal, At-Taubah, An-Nur dan Al-Ahzab
adalah surat-surat yang mengandung ayat-ayat hukum beserta ayat-ayat
yang berkenaan dengan ibadah , aqidah, akhlaq dan kisah-kisah. [5]
Kekuasaan tasyri’iyah (menetapkan
hukum) dipegang oleh Rasulullah sendiri, walaupun dalam hal yang mendesak
pernah juga para sahabat berijtihad dalam mencari penetapan hukum, seperti Ali
bin Abi Thalib dikala melawat ke yaman, Mu’adz bin Jabal ketika menjadi hakim
di yaman dan Amr bin Ash dan lain-lain.[6]
Namun kejadian-kejadian semacam itu
tidaklah menunjukkan adanya pemegang kekuasaan tasyri’ selain Rasul, karena
perbuatan para sahabat-sahabat tersebut dalam keadaan terpaksa karena jauhnya
dengan Rasulullah atau karena terdesak oleh waktu atau fatwa dan keputusannya
itu sekedar hanya dengan melaksanakan bukan menetapkan. Pendeknya semua yang
berasal dari sahabat sebagai hasil ijtihad tidaklah merupakan ketentuan yang
wajib diikuti oleh kaum muslimin kecuali setelah di tetapkan oleh Rasulallah.
Oleh karena itu tidaklah terjadi pada masa hidup Rasulallah adanya dua pendapat
dalam satu kejadian atau peristiwa, dan tidaklah pula diketahui adanya seseorang
dari para sahabat Rasulullah berfatwa atau berijtihad tanpa ada persetujuan
dari Rasulullah sendiri. Dengan demikian pada masa itu Rasulullah lah sebagai
seseorang yang menetapkan hukum-hukum dalam syariat Islam, dan beliau
menetapkan hukum-hukum itu sesuai dengan wahyu Allah yang diturunkan kepadanya[7]
2.2 Sumber Pokok Dalam Penetapan
Hukum Syari’at Islam Pada Masa Rasulullah saw
1.
Al-Qur’an
Al-quran adalah kumpulan firman allah
yang diturunkan pada nabi Muhammad SAW dengan bahasa Arab dan diriwayatkan oleh
orang banyak atau secara mutawattir. Al-quran sumber hukum yang pertama dan
utama dalam hal penentuan suatu hukum, oleh karena itu kekuatan hukumnya tidak
dapat dikalahkan oleh sumber lain.
·
Pokok-pokok kandungan Al-quran
a.
Tauhid
Yaitu konsep ajaran kepercayaan yang
mengesakan Allah.
b.
Ibadah
Yaitu aturan tentang hubungan manusia
dengan penciptanya sebagai perbuatan yang menghidupkan tauhid, dan merupakan
wujud keimanan manusia.
c.
Muamalah
Yaitu konsep umum yang mengatur
hubungan manusia dengan sesame manusia, agar tercapai kebahagiaan hidup didunia
sampai akhirat.
d.
Janji dan Ancaman
Yaitu Al-quran yang menjanjikan
pahala dan surga bagi manusia yang menerima kebenaran Al-quran dan beramal
shaleh, dan ancaman kehinaan dan neraka bagi yang mengingkari Al-quran.
e.
Riwayat dan cerita umat terdahulu
Kisah para Nabi dan umat terdahulu
ada yang tunduk pada Allah ada pula yang mengingkari hukum Allah, ini untuk
menjadi teladan bagi orang-orang yang mencari kebahagiaan.
2.
As-Sunnah
Segala perkataan, perbuatan, dan
taqrir nabi Muhammad saw. Taqrir nabi adalah segala sikap, perkataan dan
perbuatan para sahabat nabi yang didiamkan oleh Nabi SAW.[8]
Kandungan dari nash-nash al-Qur’an dan as-sunnah pada garis besarnya
terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:
Pertama: hukum-hukum I’tiqodiah, yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan
iman terhadap Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya,
hari akhirat, qodlo serta qodar.
Kedua: hukum-hukum khuluqiyah, yaitu hukum yang berhubungan dengan
keutamaan-keutamaan yang wajib diikuti manusia dan kehinaan-kehinaan yang wajib
ditinggalkan.
Ketiga: hukum-hukum Amaliyah, yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan
perbuatan-perbuatan oleh mukalaf baik mengenai ibadah atau mu’amalah madaniah
dan maliah, akhwahusy-syakhsiyah, jinayat, jihat, dan sebagainya.
Bagian pertama, yaitu aqidah adalah merupakan dasar agama, sedangkan kedua,
yaitu akhlak adalah sebagai penyempurna bagi bagian pertama dan kedua.
Al-Qur’an dan as-sunnah banyak memberi penjelasan terhadap hukum bagian pertama
dan kedua disertai hujjah-hujjahnya, karena membuat bangunan, maka yang
mula-mula dibuat adalah dasar, baru kemudian yang di atasnya. Dasar dari
bangunan manusia beragama adalah aqidahnya dan keimanannya, sedangkan amalnya
adalah kelanjutan dari aqidah.
Disamping iman sebagai dasar, maka mutlak diperlukan akhlak, karena dengan
akhlak yang baik, keimanan dan amalan-amalan akan lebih sempurna, lebih tegak
dan kokoh. Oleh karena itu dalam membangun keimanan harus disertai dengan
pembangunan akhlak. Adapun bagian ketiga, yaitu hukum-hukum amaliyah adalah
bagian hukum-hukum yang dibicarakan dan yang menjadi objek ilmu fiqih, dan
hukum-hukum fiqih inilah yang dimaksud dengan hukum-hukum jika disebut secara
mutlak (tanpa batasan) dan yang juga disebut dengan hukum Islam.
Seperti telah disebutkan di atas, bahwa di dalam al-Qur’an ayat-ayat yang
berhubungan dengan ibadah dengan segala macamnya kira-kira 140 ayat, dan yang
berhubungan dengan akhwalusy-sykahsiyah kira-kira 70 ayat, dan yang berhubungan
dengan pidana kira-kira 30 ayat, dan yang berhubungan dengan mu’amalah
kira-kira 70 ayat, dan yang berhubungan dengan peradilan kira-kira 20 ayat.
Pada tiap-tiap bab tersebut diatas banyak nash-nash hadist, sebagian
hadist-hadist itu menjelaskan hukum yang disebut dalam al-Qur’an secara mujmal
(global), danm sebagian lain mensyari’at hukum yang tidak disyari’atkan oleh
al-Qur’an, sehingga dengan demikianlah menjadi sempurnalah hukum-hukum
terperinci. Kesemuanya itu ditambah dengan beberapa prinsip yang umum dalam
rangka penentuan hukum-hukum yang tidak ada nashnya, maka masa Rasul telah
meninggalkan hukum-hukum yang sempurna, yang memenuhi kebutuhan kaum muslimin
dalam segala keadaan dan situasi.
2.3 Perkembangan Ilmu Fiqih Pada Masa Rasulullah saw
llmu fiqih
berkembang mulai awal, yaitu pada masa Rasulullah saw. Disinilah dimulai fase
pertumbuhan ilmu fiqih sebelum memasuki pada masa atau fase-fase berikutnya.
Fase ini dimulai sejak Rasulullah saw tinggal di makkah selama 13 tahun, atau
12 tahun 5 bulan dan 13 hari mulai dari
18 Ramadhan tahun 41 sampai pada permulaan Rabi’ul awwal tahun 54 dari
kelahiran beliau. Ayat-ayat Al-qur’an yang turun selama ini disebut dengan
makiyyah. Setelah Rasulullah hijrah ke madinah dan tinggal disana selama 9
tahun 9 bulan dan 9 hari. Sejak awal bulan Rabiul awwal tahun 54 sampai dengan
tahun 63 dari kelahiran beliau. Ayat-ayat yang turun pada masa itu disebut dengan ayat-ayat
madaniyah.[9]
Sesudah Allah
mengizinkan Rosul-Nya dan para mukmin hijrah dari Makkah ke Madinah, maka dimulailah
fase kedua dari tasyri’, di sanalah mulai tersusun sendi-sendi pemerintahan Islam
yang mempunyai kepribadian tersendiri dalam bentuknya dan mulai menyusun masyarakat
yang mempunyai corak tersendiri pula, yaitu masyarakat Islam dan timbullah
keperluan kepada hukum amaliyah dan keperluan-keperluan masyarakat dalam
masalah hukum untuk mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan tata cara
kemasyarakatan. Rosul tidak membawa ke Madinah syari’at hukum-hukum dan
peraturan-peraturan yang telah ada, sebagaimana sebelum nabi berhijrah pun nabi
tidak tunduk kepada suatu peraturan. Karena itu, nabi menghadapkan
usaha-usahanya kepada hukum fiqih dan mulailah turun ayat-ayat hukum satu demi
satu. Dan ayat-ayat hukum yang turun itu adakalanya untuk menjawab suatu
pertanyaan, ada kalanya merupakan fatwa dan kadang-kadang untuk mewujudkan
suatu hukum.
Begitulah
ayat-ayat hukum itu turun secara beruntun sampai sempurnalah turunnya dengan
diakhiri oleh 3 ayat, surat 5, Al Maidah, yang turun lebih 3 (tiga) bulan
sebelum nabi wafat, dan itulah ayat hukum yang penghabisan turunnya.
Hukum-hukum
yang turun dalam masa ini bersifat praktis untuk menyelesaikan suatu peristiwa
dan transaksi yang terjadi. Kata fiqih pada masa itu dipergunakan untuk materi
hukum yang difahamkan dari nash Al Qur’an dan Sunnah, yang merupakan urusan
aqidah (kepercayaan), akhlaq dan amaliyah. Penghafal-penghafal AlQur’an di masa
itu dinamai Qurra’ dan merekalah yang bertindak sebagai ahli fiqih. Pada masa
itu qurra’ dan fuqoha’ masih satu makna,
mereka menghafal Al qur’an beserta hukum-hukum yang terkandung dalam ayat-ayat
itu.[10]
Masa ini, yaitu masa sepanjang hidup
Rasulullah setelah hijrah ke madinah, masa ini adalah masa tasyri’ sebenarnya
karena masa inilah turunnya Al-Qur’an dengan berbagai ayat tentang hukum. Setelah
Al-Qur’an, maka datanglah hadits (sunnah) dalam berbagai situasi dan
kondisinya, baik yang bersifat qauliyah (perkataan), atau fi’liyah (perbuatan),
maupun taqririyah (penetapan), untuk menjelaskan berbagai macam peristiwa yang
terjadi. Sebagai pelaksanaan tugas risalah dan menjelaskan wahyu yang
diturunkan kepadanya. Seperti dalam Al-qur’an
surat An-Nahl yang artinya :
“ Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar engkau menerangkan
kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
berfikir” .
Rasulullah adalah Muballigh dari Allah yang diberi wahyu
untuk menyampaikan kepada manusia dan menjelaskan maksud dan tujuan wahyu itu.
Penjelasan Rasulullah terhadap wahyu adakalanya dengan perkataan saja,
adakalanya dengan perbuatan saja dan kadang-kadang dengan perkataan bersamaan
dengan perbuatan.[11]
Hukum-hukum syari’at pada masa Rasulullah
bersumber pada dua sumber utama yaitu Al-qur’anul karim dan sunnah nabawiyah.
Maka apabila ada suatu pertanyaan yang datang kepada Rasulullah atau terjadi
suatu peristiwa yang membutuhkan keterangan dari syara, maka rasulullah menanti
turunnya wahyu untuk menjelaskannya, akan tetapi jika wahyu yang dinantikan,
itu tidak turun maka hal itu merupakan isyarat atau pemberitahuan dari Allah
maka Dia melimpahkan kepada Rasul-Nya untuk memberikan jawaban tasyri’ yang
telah lazim, karena rasulullah telah diakui Allah tidak mengucapkan sesuatu
dari hawa nafsu semata.[12]
Pada peristiwa yang lain
kadang-kadang Rasulullah berijtihad lalu menyatakan pendapatnya, atau beliau
melakukan musyawarah dengan para sahabat-sahabatnya, kemudian beliau mendukung
salah satu pendapat dari sahabatnya. Hal semacam ini tidak selalu mendapat
dukungan dari Allah kecuali yang memang benar. Bahkan sering mendapat celaan
dari Allah swt. Namun karena keputusan beliau telah terlanjur maka Allah
memberikan maafNya atas kekhilafan-kekhilafan itu melalui wahyu. Seperti contoh
dalam peristiwa pemberian izin kepada orang-orang munafik untuk tidak ikut
berangkat bersama dengan rombongan Rasulullah dalam perang tabuk. (peristiwa
ini dapat dilihat dalam qur’an surat
At-taubah ayat 42-43). Kekhilafan Rasulullah selalu dimaafkan oleh Allah
meskipun diikuti dengan teguran keras. Ayatnya yang berbunyi:
عفى الله عنك لم اذنت لهم
Artinya : Semoga Allah memaafkanmu,
mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang).
Ini merupakan isyarat bahwa
Rasulullah saw dalam ijtihadnya itu, tidak disertai taufiq dari Allah. Demikian
pula dalam pemberian izin kepada orang-orang yang meminta izin itu. Walaupun
diantara orang-orang munafiq itu ada juga orang-orang mukmin yang benar.[13]
Adapun ijtihad Rasulullah saw maka
rujukannya kepada wahyu pula, Karena Allah tidak membiarkan RasulNya dalam
kekeliruan. Maka penetapannya atas ijtihad Rasul-Nya tanpa pemberitahuan atas
kesalahannya, adalah pembetulan baginya yang setingkat dengan wahyu. Oleh sebab
itu dimasa hidup Rasulullah saw terciptanya dasar-dasar hukum yang bersifat
menyeluruh, dirinci mujmalnya, dibatasi mutlaknya, ditahsiskan umumnya, dan
dinashah (dihapus) yang dikehendaki Allah menghapusnya. Kesemuanya itu telah
dikokohkan dasar-dasarnya, dan telah ditetapkan asas-asasnya yang kesemua itu
telah sempurna di zaman Rasulullah. Sebagaimana firman Allah swt dalam
Al-Qur’an:
اليوم اكملت لكم دينكم و اتممت عليكم نعمتي و رضيت لكم الإسلام دينا
(المائدة : 3 )
Artinya: pada hari ini telah ku
sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan
telah Kuridhoi Islam itu jadi agama bagimu. (Al Maidah: 3).[14]
Diriwayatkan oleh Al Hakim dari Abu
Hurairah r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda:
تركت فيكم ما ان تمسكتم بهلن تضلواْ بعدي: كتاب الله وسنة رسوله صلى
الله عليه وسلم. (رواه الحاكم)
DAFTAR PUTAKA
Ash
shidieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Pengantar Ilmu Fiqh, Semarang: PT.
Pustaka Rizky Putra, 1967.
Djafar,
Muhammadiyah. Pengantar Ilmu Fiqh, Jakarta: kalam Mulia, 1993.
Mudjib,
Abdul. Pengantar Ilmu Fiqh, Malang: Biro Ilmiah, 1982.
Mushtofa,
Syadzali. Pengantar dan Azas-Azaz Hukum Islam, Sukoharjo: Ramadhani,
1989.
BAB III
PENUTUP
3.1
KESIMPULAN
·
Situasi dan kondisi pada masa Rasulullah terdapat dua periode,
yaitu periode makkah dan periode Madinah. Pada periode Makkah umat Islam pada
saat itu masih lemah dan masih sedikit jumlahnya. Sehingga mereka belum
mempunyai kedaulatan, kekuatan yang kuat. Sedangkan pada periode madinah umat Islam
jumlahnya sudah bertambah, dan mulailah membentuk suatu masyarakat Islam yang
berkedaulatan dan memiliki kekuasaan yang kuat.
·
Sumber-sumber hukum pada masa Rasulullah adalah Al-qur’an,
as-sunnah, dan ijtihad pada masa itu.
·
Perkembangan Fiqih di zaman Rasulalloh dibagi menjadi dua fase, yaitu
pertama fase di Makkah dan kedua fase di Madinah.
[1] Teungku Muhammad Hasbi As-syaddiqeqy, pengantar ilmu fiqih, PT pustaka rizki Putra, semarang , hal 32-33
[2] Abdul Mudjib, Pengantar Ilmu
Fiqih, Biro Ilmiah Fak Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, Malang , hal 24
[3] Ibid, hal 25
[4] Teungku Muhammad
Hasby As-syiddiqy, Op.cit, hal 33
[5] Abdul Mujib, Op.cit,
hal 25
[6] Teungku Muhammad
Hasby As-syiddiqy, op.cit hal 34
[7] Abdul Mujib, Op.cit,
hal 27
[8] Syadzali Musthofa, Pengantar
dan Azas-azas Hukum Islam Indonesia ,
CV Ramadhani, Solo, hal 35
[9] Muhammadiyah Djafar,
Pengantar Ilmu fiqih, Kalam Mulia, Jakarta ,
hal 54
[10] Teungku Muhammad Hasbi Ash shidieqy, op.cit,
hal 38-39
[11] Ibid hal 55
[12] Ibid hal 60
[13] Ibid hal 61
[14] Ibid hal 56
Tidak ada komentar:
Posting Komentar