Menulislah sesuai kemampuanmu

Senin, 23 Maret 2015

PERKEMBANGAN ILMU FIQIH PADA MASA RASULULLAH SAW


PERKEMBANGAN ILMU FIQIH
PADA MASA RASULULLAH SAW

By: Evi Muzaiyidah Bukhori
(Mahasiswi PBA UIN Maliki Malang)

BAB II
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang

Fiqih Islam dalam pertumbuhan dan perkembangannya, sama halnya dengan benda hidup baik yang konkrit maupun yang abstrak , tidak lahir tanpa melalui sesuatu, dan tidak mencapai kesempurnaannya dengan satu loncatan saja. Akan tetapi ia lahir dari sesuatu yang telah ada pada sebelumnya, lalu tumbuh secara alamiah, hingga mencapai puncak kematangan dan kesempurnaanya. Kemudian ilmu fiqih mengalami berbagai peristiwa sampai masa tuanya. Pada masa rasulullah saw ilmu syariat barulah di tetapkan, dan pemegang undang-undang hukum Islam pada masa itu adalah Rasulullah saw sendiri.
Hukum-hukum syariat itu ditetapkan karena adanya sebuah peristiwa dan kejadian ataupun bahkan adanya pertanyaan dari para sahabat Rasulullah saw. Karena Islam adalah agama yang benar, dan lurus dan rahmatan lil ‘alamin maka dari itu ditetapkanlah hukum oleh Rasulullah saw yang bersumber pada wahyu Ilahi untuk menyempurnakan agama Allah swt.
              Kondisi ummat Islam pada masa itu sangat lemah dan krisis moral, mereka miskin iman, miskin hati, tingkah laku mereka pun sangat menyalahi aturan yang berlaku. Turunlah wahyu Allah kepada Rasulullah saw yang bertujuan  untuk menyempurnakan akhlaq mereka dan menetapkan suatu hukum. Sejarah fiqih Islam pada haqiqatnya tumbuh dan berkembang pada masa nabi sendiri, karena nabilah yang mempunyai wewenang untuk mentasyri’kan hukum.
            Sumber-sumber yang dipakai rasulullah untuk menetapkan suatu hukum itu semua bersumber pada al-Qur’an (wahyu Allah swt) akan tetapi, disamping Al-Qur’an yang menjadi sumber penetapan hukum adalah sunnah Rasulullah saw dan ijtihad Rasullah beserta para sahabat-sahabatnya. Inilah yang dimaksud sejarah fiqih Islam  yang merupakan ilmu yang membahas tentang keadaan fiqih Islam pada masa Rasulullah saw.

Fase inilah yang dilalui umat Islam dalam penetapan hukum-hukum syari’at. Fase ini tidak berlangsung cukup lama, hanya sebatas sepanjang hidup Rasulullah saw.
1.2   Rumusan Masalah

1.      Bagaimana situasi dan kondisi umat Islam pada masa Rasulullah saw ?
2.      Apa yang menjadi sumber  pokok dalam menentukan suatu hukum pada masa Rasulullah saw?
3.      Bagaimana perkembangan ilmu fiqih pada masa Rasulullah saw?

1.3  Tujuan Masalah

1.  Untuk mengetahui situasi dan kondisi pada masa Rasdulullah
2. Untuk mengetahui sumber-sumber apa yang dipakai dalam menentukan suatu hukum   pada masa Rasulullah saw
3.  Untuk mengetahui perkembangan Ilmu Fiqih pada masa Rasulullah








BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Situasi dan Kondisi Umat Islam Pada Masa Rasulullah saw
            Masa pertama atau masa Nabi saw adalah masa fiqih Islam mulai tumbuh dan membentuk dirinya menjelma ke alam perwujudan. Masa Rasulullah walaupun berlangsung tidak lama akan tetapi masa inilah yang meninggalkan kesan-kesan serta pengaruh yang penting bagi perkembangan hukum Islam dan masa kulli (yang bersifat keseluruhan) dan dasar yang universal. Situasi dan kondisi pada masa Rasulullah ini terbagi kepada dua masa yang masing-masing mempunyai corak sendiri yang jauh berbeda. Dua masa itu adalah periode makkah dan periode madinah.[1]
I.                   Periode Makkah
Periode pertama adalah periode makkah, yaitu selama Rasullah berada dimakkah lamanya 12 tahun dan beberapa bulan sejak beliau di utus menjadi Rasul sampai beliau hijrah ke madinah. Pada periode ini konsentrasi Rasulullah ditujukan pada penyabaran ajakan bertauhid, ajakan untuk meng-Esakan Allah, mangubah arah muka dari penyembahan berhala kepada hanya menyembah Allah swt semata. Disamping berusaha untuk menghindarkan diri dari siksaan orang-orang yang menghalang-halangi dakwahnya, Kaum muslimin pada masa itu hanya sedikit dan lemah, belum merupakan suatu umat yang mempunyai urusan kenegaraan. Oleh karena itu maka pada periode ini tidak ada jalan dan tidak  sedikit yaitu terbatas dengan hukum-hukum amaliyah yang mempunyai hubungan erat dan dapat menunjang kepada kekokohan iman. Seperti larangan makan daging binatang yang disembelih dengan tidak menyebut nama Allah , atau masih erat hubungannya dengan pembinaan akhlaq seperti berbuat adil, larangan berbuat zina, larangan membunuh dan sebagainya.  [2]
Karena itu surat-surat makiyyah seperti surat Yunus, Ar-Ra’du, Al-Furqon, Yasin dan Al-Hadid tidak terdapat satu ayat pun dari ayat-ayat ahkam amaliyah, tetapi ayat-ayatnya berkenaan dengan aqidah (keimanan). Akhlaq dan kissah-kisah perjalanan suri tauladan yang perlu diberikan dalam rangka usaha  memperkokoh iman dan memperbaiki akhlaq.[3]
Pada  masa ini belum banyak hal-hal yang mendorong Nabi saw untuk mengadakan hukum atau undang-undang, karena itu tidak ada dalam surat-surat yang telah disebutkan di atas adalah berisikan tentang hal-hal yang mengenai aqidah kepercayaan, akhlaq dan sejarah.[4]
II.  Periode Madinah
Periode kedua adalah periode madinah yaitu selama Rasulullah berada di Madinah  kurang lebih selama 10 tahun yaitu sejak beliau hijrah sampai beliau wafat. Pada periode inilah ummat Islam telah kuat, pengikutnya telah banyak, sehingga merupakan masyarakat yang mempunyai urusan kenegaraan. Rintangan-rintangan dan gangguan-gangguan sudah melemah dan dalam masyarakat mulailah timbul keperluan untuk menciptakan adanya hukum-hukum untuk mentertibkan hubungan sebagian dengan bagian yang lain, dan juga hubungan dengan ummat lain baik dalam keadaan damai maupun dalam keadaan perang. Oleh karena itu di madinahlah disyariatkannya hukum-hukum tentang ibadah keseluruhannya seperti perintah untuk menunaikan ibadah puasa, zakat, haji, sholat. Disamping disyari’atkan hukum tentang perkawinan, talaq, waris, hutang-piutang, pidana dan lain-lain. Surat-surat madaniyah seperti Al-Baqarah, Ali Imran, An-nisa’, Al-Anfal, At-Taubah, An-Nur dan Al-Ahzab  adalah surat-surat yang mengandung ayat-ayat hukum beserta ayat-ayat yang berkenaan dengan ibadah , aqidah, akhlaq dan kisah-kisah. [5]
Kekuasaan tasyri’iyah (menetapkan hukum) dipegang oleh Rasulullah sendiri, walaupun dalam hal yang mendesak pernah juga para sahabat berijtihad dalam mencari penetapan hukum, seperti Ali bin Abi Thalib dikala melawat ke yaman, Mu’adz bin Jabal ketika menjadi hakim di yaman dan Amr bin Ash dan lain-lain.[6]
Namun kejadian-kejadian semacam itu tidaklah menunjukkan adanya pemegang kekuasaan tasyri’ selain Rasul, karena perbuatan para sahabat-sahabat tersebut dalam keadaan terpaksa karena jauhnya dengan Rasulullah atau karena terdesak oleh waktu atau fatwa dan keputusannya itu sekedar hanya dengan melaksanakan bukan menetapkan. Pendeknya semua yang berasal dari sahabat sebagai hasil ijtihad tidaklah merupakan ketentuan yang wajib diikuti oleh kaum muslimin kecuali setelah di tetapkan oleh Rasulallah. Oleh karena itu tidaklah terjadi pada masa hidup Rasulallah adanya dua pendapat dalam satu kejadian atau peristiwa, dan tidaklah pula diketahui adanya seseorang dari para sahabat Rasulullah berfatwa atau berijtihad tanpa ada persetujuan dari Rasulullah sendiri. Dengan demikian pada masa itu Rasulullah lah sebagai seseorang yang menetapkan hukum-hukum dalam syariat Islam, dan beliau menetapkan hukum-hukum itu sesuai dengan wahyu Allah yang diturunkan kepadanya[7]
2.2  Sumber  Pokok Dalam Penetapan Hukum Syari’at Islam Pada Masa Rasulullah saw
1.      Al-Qur’an
           Al-quran adalah kumpulan firman allah yang diturunkan pada nabi Muhammad SAW dengan bahasa Arab dan diriwayatkan oleh orang banyak atau secara mutawattir. Al-quran sumber hukum yang pertama dan utama dalam hal penentuan suatu hukum, oleh karena itu kekuatan hukumnya tidak dapat dikalahkan oleh sumber lain.

·         Pokok-pokok kandungan Al-quran
a.      Tauhid
           Yaitu konsep ajaran kepercayaan yang mengesakan Allah.
b.      Ibadah
           Yaitu aturan tentang hubungan manusia dengan penciptanya sebagai perbuatan yang menghidupkan tauhid, dan merupakan wujud keimanan manusia.
c.       Muamalah
           Yaitu konsep umum yang mengatur hubungan manusia dengan sesame manusia, agar tercapai kebahagiaan hidup didunia sampai akhirat.
d.      Janji dan Ancaman
           Yaitu Al-quran yang menjanjikan pahala dan surga bagi manusia yang menerima kebenaran Al-quran dan beramal shaleh, dan ancaman kehinaan dan neraka bagi yang mengingkari Al-quran.
e.       Riwayat dan cerita umat terdahulu
           Kisah para Nabi dan umat terdahulu ada yang tunduk pada Allah ada pula yang mengingkari hukum Allah, ini untuk menjadi teladan bagi orang-orang yang mencari kebahagiaan.
2.      As-Sunnah
Segala perkataan, perbuatan, dan taqrir nabi Muhammad saw. Taqrir nabi adalah segala sikap, perkataan dan perbuatan para sahabat nabi yang didiamkan oleh Nabi SAW.[8]
Kandungan dari nash-nash al-Qur’an dan as-sunnah pada garis besarnya terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:
Pertama: hukum-hukum I’tiqodiah, yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan iman terhadap Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, hari akhirat, qodlo serta qodar.
Kedua: hukum-hukum khuluqiyah, yaitu hukum yang berhubungan dengan keutamaan-keutamaan yang wajib diikuti manusia dan kehinaan-kehinaan yang wajib ditinggalkan.
Ketiga: hukum-hukum Amaliyah, yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan oleh mukalaf baik mengenai ibadah atau mu’amalah madaniah dan maliah, akhwahusy-syakhsiyah, jinayat, jihat, dan sebagainya.
Bagian pertama, yaitu aqidah adalah merupakan dasar agama, sedangkan kedua, yaitu akhlak adalah sebagai penyempurna bagi bagian pertama dan kedua. Al-Qur’an dan as-sunnah banyak memberi penjelasan terhadap hukum bagian pertama dan kedua disertai hujjah-hujjahnya, karena membuat bangunan, maka yang mula-mula dibuat adalah dasar, baru kemudian yang di atasnya. Dasar dari bangunan manusia beragama adalah aqidahnya dan keimanannya, sedangkan amalnya adalah kelanjutan dari aqidah.
Disamping iman sebagai dasar, maka mutlak diperlukan akhlak, karena dengan akhlak yang baik, keimanan dan amalan-amalan akan lebih sempurna, lebih tegak dan kokoh. Oleh karena itu dalam membangun keimanan harus disertai dengan pembangunan akhlak. Adapun bagian ketiga, yaitu hukum-hukum amaliyah adalah bagian hukum-hukum yang dibicarakan dan yang menjadi objek ilmu fiqih, dan hukum-hukum fiqih inilah yang dimaksud dengan hukum-hukum jika disebut secara mutlak (tanpa batasan) dan yang juga disebut dengan hukum Islam.
Seperti telah disebutkan di atas, bahwa di dalam al-Qur’an ayat-ayat yang berhubungan dengan ibadah dengan segala macamnya kira-kira 140 ayat, dan yang berhubungan dengan akhwalusy-sykahsiyah kira-kira 70 ayat, dan yang berhubungan dengan pidana kira-kira 30 ayat, dan yang berhubungan dengan mu’amalah kira-kira 70 ayat, dan yang berhubungan dengan peradilan kira-kira 20 ayat. Pada tiap-tiap bab tersebut diatas banyak nash-nash hadist, sebagian hadist-hadist itu menjelaskan hukum yang disebut dalam al-Qur’an secara mujmal (global), danm sebagian lain mensyari’at hukum yang tidak disyari’atkan oleh al-Qur’an, sehingga dengan demikianlah menjadi sempurnalah hukum-hukum terperinci. Kesemuanya itu ditambah dengan beberapa prinsip yang umum dalam rangka penentuan hukum-hukum yang tidak ada nashnya, maka masa Rasul telah meninggalkan hukum-hukum yang sempurna, yang memenuhi kebutuhan kaum muslimin dalam segala keadaan dan situasi.    

2.3  Perkembangan Ilmu Fiqih Pada Masa Rasulullah saw
llmu fiqih berkembang mulai awal, yaitu pada masa Rasulullah saw. Disinilah dimulai fase pertumbuhan ilmu fiqih sebelum memasuki pada masa atau fase-fase berikutnya. Fase ini dimulai sejak Rasulullah saw tinggal di makkah selama 13 tahun, atau 12 tahun 5 bulan dan 13 hari  mulai dari 18 Ramadhan tahun 41 sampai pada permulaan Rabi’ul awwal tahun 54 dari kelahiran beliau. Ayat-ayat Al-qur’an yang turun selama ini disebut dengan makiyyah. Setelah Rasulullah hijrah ke madinah dan tinggal disana selama 9 tahun 9 bulan dan 9 hari. Sejak awal bulan Rabiul awwal tahun 54 sampai dengan tahun 63 dari kelahiran beliau. Ayat-ayat yang  turun pada masa itu disebut dengan ayat-ayat madaniyah.[9]
Sesudah Allah mengizinkan Rosul-Nya dan para mukmin hijrah dari Makkah ke Madinah, maka dimulailah fase kedua dari tasyri’, di sanalah mulai tersusun sendi-sendi pemerintahan Islam yang mempunyai kepribadian tersendiri dalam bentuknya dan mulai menyusun masyarakat yang mempunyai corak tersendiri pula, yaitu masyarakat Islam dan timbullah keperluan kepada hukum amaliyah dan keperluan-keperluan masyarakat dalam masalah hukum untuk mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan tata cara kemasyarakatan. Rosul tidak membawa ke Madinah syari’at hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang telah ada, sebagaimana sebelum nabi berhijrah pun nabi tidak tunduk kepada suatu peraturan. Karena itu, nabi menghadapkan usaha-usahanya kepada hukum fiqih dan mulailah turun ayat-ayat hukum satu demi satu. Dan ayat-ayat hukum yang turun itu adakalanya untuk menjawab suatu pertanyaan, ada kalanya merupakan fatwa dan kadang-kadang untuk mewujudkan suatu hukum.
Begitulah ayat-ayat hukum itu turun secara beruntun sampai sempurnalah turunnya dengan diakhiri oleh 3 ayat, surat 5, Al Maidah, yang turun lebih 3 (tiga) bulan sebelum nabi wafat, dan itulah ayat hukum yang penghabisan turunnya.
Hukum-hukum yang turun dalam masa ini bersifat praktis untuk menyelesaikan suatu peristiwa dan transaksi yang terjadi. Kata fiqih pada masa itu dipergunakan untuk materi hukum yang difahamkan dari nash Al Qur’an dan Sunnah, yang merupakan urusan aqidah (kepercayaan), akhlaq dan amaliyah. Penghafal-penghafal AlQur’an di masa itu dinamai Qurra’ dan merekalah yang bertindak sebagai ahli fiqih. Pada masa itu qurra’ dan fuqoha’ masih  satu makna, mereka menghafal Al qur’an beserta hukum-hukum yang terkandung dalam ayat-ayat itu.[10]
Masa ini, yaitu masa sepanjang hidup Rasulullah setelah hijrah ke madinah, masa ini adalah masa tasyri’ sebenarnya karena masa inilah turunnya Al-Qur’an dengan berbagai ayat tentang hukum. Setelah Al-Qur’an, maka datanglah hadits (sunnah) dalam berbagai situasi dan kondisinya, baik yang bersifat qauliyah (perkataan), atau fi’liyah (perbuatan), maupun taqririyah (penetapan), untuk menjelaskan berbagai macam peristiwa yang terjadi. Sebagai pelaksanaan tugas risalah dan menjelaskan wahyu yang diturunkan kepadanya. Seperti dalam Al-qur’an  surat An-Nahl yang artinya :
“ Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar engkau menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka berfikir” .
            Rasulullah adalah Muballigh dari Allah yang diberi wahyu untuk menyampaikan kepada manusia dan menjelaskan maksud dan tujuan wahyu itu. Penjelasan Rasulullah terhadap wahyu adakalanya dengan perkataan saja, adakalanya dengan perbuatan saja dan kadang-kadang dengan perkataan bersamaan dengan perbuatan.[11]
Hukum-hukum syari’at pada masa Rasulullah bersumber pada dua sumber utama yaitu Al-qur’anul karim dan sunnah nabawiyah. Maka apabila ada suatu pertanyaan yang datang kepada Rasulullah atau terjadi suatu peristiwa yang membutuhkan keterangan dari syara, maka rasulullah menanti turunnya wahyu untuk menjelaskannya, akan tetapi jika wahyu yang dinantikan, itu tidak turun maka hal itu merupakan isyarat atau pemberitahuan dari Allah maka Dia melimpahkan kepada Rasul-Nya untuk memberikan jawaban tasyri’ yang telah lazim, karena rasulullah telah diakui Allah tidak mengucapkan sesuatu dari hawa nafsu semata.[12]
Pada peristiwa yang lain kadang-kadang Rasulullah berijtihad lalu menyatakan pendapatnya, atau beliau melakukan musyawarah dengan para sahabat-sahabatnya, kemudian beliau mendukung salah satu pendapat dari sahabatnya. Hal semacam ini tidak selalu mendapat dukungan dari Allah kecuali yang memang benar. Bahkan sering mendapat celaan dari Allah swt. Namun karena keputusan beliau telah terlanjur maka Allah memberikan maafNya atas kekhilafan-kekhilafan itu melalui wahyu. Seperti contoh dalam peristiwa pemberian izin kepada orang-orang munafik untuk tidak ikut berangkat bersama dengan rombongan Rasulullah dalam perang tabuk. (peristiwa ini dapat dilihat dalam qur’an surat  At-taubah ayat 42-43). Kekhilafan Rasulullah selalu dimaafkan oleh Allah meskipun diikuti dengan teguran keras. Ayatnya yang berbunyi:   
عفى الله عنك لم اذنت لهم
Artinya : Semoga Allah memaafkanmu, mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang).
Ini merupakan isyarat bahwa Rasulullah saw dalam ijtihadnya itu, tidak disertai taufiq dari Allah. Demikian pula dalam pemberian izin kepada orang-orang yang meminta izin itu. Walaupun diantara orang-orang munafiq itu ada juga orang-orang mukmin yang benar.[13]
Adapun ijtihad Rasulullah saw maka rujukannya kepada wahyu pula, Karena Allah tidak membiarkan RasulNya dalam kekeliruan. Maka penetapannya atas ijtihad Rasul-Nya tanpa pemberitahuan atas kesalahannya, adalah pembetulan baginya yang setingkat dengan wahyu. Oleh sebab itu dimasa hidup Rasulullah saw terciptanya dasar-dasar hukum yang bersifat menyeluruh, dirinci mujmalnya, dibatasi mutlaknya, ditahsiskan umumnya, dan dinashah (dihapus) yang dikehendaki Allah menghapusnya. Kesemuanya itu telah dikokohkan dasar-dasarnya, dan telah ditetapkan asas-asasnya yang kesemua itu telah sempurna di zaman Rasulullah. Sebagaimana firman Allah swt dalam Al-Qur’an:
اليوم اكملت لكم دينكم و اتممت عليكم نعمتي و رضيت لكم الإسلام دينا (المائدة : 3 )
Artinya: pada hari ini telah ku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridhoi Islam itu jadi agama bagimu. (Al Maidah: 3).[14]
Diriwayatkan oleh Al Hakim dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda:
تركت فيكم ما ان تمسكتم بهلن تضلواْ بعدي: كتاب الله وسنة رسوله صلى الله عليه وسلم. (رواه الحاكم)
DAFTAR PUTAKA
Ash shidieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Pengantar Ilmu Fiqh, Semarang: PT. Pustaka Rizky Putra, 1967.
Djafar, Muhammadiyah. Pengantar Ilmu Fiqh, Jakarta: kalam Mulia, 1993.
Mudjib, Abdul. Pengantar Ilmu Fiqh, Malang: Biro Ilmiah, 1982.
Mushtofa, Syadzali. Pengantar dan Azas-Azaz Hukum Islam, Sukoharjo: Ramadhani, 1989.
















BAB III
PENUTUP
3.1                                                              KESIMPULAN
·         Situasi dan kondisi pada masa Rasulullah terdapat dua periode, yaitu periode makkah dan periode Madinah. Pada periode Makkah umat Islam pada saat itu masih lemah dan masih sedikit jumlahnya. Sehingga mereka belum mempunyai kedaulatan, kekuatan yang kuat. Sedangkan pada periode madinah umat Islam jumlahnya sudah bertambah, dan mulailah membentuk suatu masyarakat Islam yang berkedaulatan dan memiliki kekuasaan yang kuat.
·         Sumber-sumber hukum pada masa Rasulullah adalah Al-qur’an, as-sunnah, dan ijtihad pada masa itu.
·         Perkembangan Fiqih di zaman Rasulalloh dibagi menjadi dua fase, yaitu pertama fase di Makkah dan kedua fase di Madinah.




[1] Teungku Muhammad Hasbi As-syaddiqeqy, pengantar ilmu fiqih, PT pustaka rizki Putra, semarang, hal 32-33
[2] Abdul Mudjib, Pengantar Ilmu Fiqih, Biro Ilmiah Fak Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, Malang, hal 24
[3] Ibid, hal 25
[4] Teungku Muhammad Hasby As-syiddiqy, Op.cit, hal 33
[5] Abdul Mujib, Op.cit, hal 25
[6] Teungku Muhammad Hasby As-syiddiqy, op.cit hal 34
[7] Abdul Mujib, Op.cit, hal 27
[8] Syadzali Musthofa, Pengantar dan Azas-azas Hukum Islam Indonesia, CV Ramadhani, Solo, hal 35
[9] Muhammadiyah Djafar, Pengantar Ilmu fiqih, Kalam Mulia, Jakarta, hal 54 
[10]  Teungku Muhammad Hasbi Ash shidieqy, op.cit, hal 38-39
[11] Ibid hal 55
[12]  Ibid hal 60
[13] Ibid hal 61
[14]  Ibid hal 56

Tidak ada komentar:

Posting Komentar