BELAJAR
By: Evi Muzaiyidah Bukhori
(Mahasiswi PBA UIN Maliki Malang)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
belakang
Masalah
mendidik adalah masalahnya setiap orang, karena setiap orang sejak dahulu
hingga sekarang, tentu berusaha mendidik anak-anaknya dan anak-anak lain yang
diserahkan kepadannya untuk dididik. Demikian pula dengan masalah “belajar”dan
“mengajar”, yang dapat dikatakan sebagai tindak pelaksanaan usaha pendidikan,
adalah masalah setiap orang. Tiap orang boleh dikatakan sebagai belajar,
misalnya belajarnya seorang murid kepada gurunya, olahragawan kepada
pelatihnya, dan sebagainnya.[1]
Dalam
menentukan definisi tentang belajar dapat dilakukan pendekatan dari berbagai
segi, tergantung dari sudut teori belajar mana yang dianut oleh seseorang.
Karena masalah belajar adalah masalahnya setiap orang, maka tidak mustahil jika
banyak pihak yang berusaha mempelajari dan menerangkan perihal hakikat belajar
itu. Namun sampai sekarang, hanya para ahli ilmu jiwalah yang paling berhasil
dalam memberikan sumbangan dan menjawab banyak persoalan sehubungan dengan
belajar. Maka konsep-konsep dan prinsip-prinsip serta informasi lainnya yang
telah tersusun dalam lapangan psikologi itu, akan sangat berguna untuk
memahami, merangsang dan memberi arah dalam aktivitas belajar.[2]
Karena
hal yang demikian itu, belajar adalah masalah setiap orang, maka jelaslah
kiranya perlu dan penting untuk menjelaskan dan merumuskan masalah belajar itu,[3]
dan bahwa belajar sangat penting bagi kehidupan seorang manusia. Dan juga kita
mengerti kalau manusia membutuhkan waktu yang lama untuk belajar sehingga
menjadi manusia dewasa. Manusia akan senantiasa belajar kapanpun dan dimanapun
dia berada.[4] Dan oleh
karenanya, pemahaman yang benar mengenai arti belajar dengan segala aspek,
bentuk, dan manifestasinyamutlak diperlukanoleh para pendidik khususnya para
guru. Kekeliruan atau ketidaklengkapan persepsi mereka terhadap proses belajar
dan hal-hal yang berkaitan dengannya mungkin akan mengakibatkan kurang
bermutunya hasil pembelajaran yang dicapai peserta didik.[5]
Oleh karenannya kami akan menjelaskan dalam makalah ini tentang definisi
belajar, jenis-jenis belajar dan teori-teori pokok dalam belajar.
1.2.
Rumusan
masalah
Berdasarkan latar belakang di atas
maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.
Apa
definisi dari belajar?
2.
Apa saja
jenis-jenis belajar?
3.
Sebutkan
dan jelaskan teori-teori pokok belajar?
1.3.
Tujuan
Dari rumusan masalah yang
dikemukakan di atas, maka tujuannya adalah sebagai berikut:
1.
Untuk
mengetahui definisi dari belajar
2.
Untuk
mengetahui jenis-jenis belajar
3.
Untuk
mengetahui teori-teori pokok belajar
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Definisi
belajar
Belajar
adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental
dalam penyelenggaraan setiap jenis dan jenjang pendidikan. Ini berarti bahwa
berhasil arau gagalnya pencapaian tujuan pendidikan itu amat bergantung pada
proses belajar yang dialami siswa, baik ketika ia berada di sekolah maupun di
lingkungan rumah atau keluarganya sendiri.[6]
Di samping itu, ada
pula sebagian orang yang memandang belajar sebagai pelatihan belaka seperti
yang tampak pada pelatihan membaca dan menulis. Berdasarkan persepsi semacam
ini, biasanya mereka akan merasa cukup puas bila anak-anak mereka telah mampu
memperlihatkan ketrampilan jasmaniah tertentu walaupun tanpa pengetahuan
mengenai arti, hakikat, dan tujuan keterampilan tersebut.[7]
Secara kuantitatif
(ditinjau dari sudut jumlah), belajar berarti kegiatan pengisian atau pengembangan
kemampuan kognitif dengan fakta sebanyak-banyaknya. Jadi, belajar dalam hal ini
dipandang dari sudut banyaknya materi yang dikuasai siswa.[8]
Secara
institusional (tinjauan kelembagaan), belajar dipandang sebagai proses
“validasi” atau pengabsahan terhadap penguasaan siswa atas materi-materi yang
telah ia pelajari. Bukti institusional yang menunjukkan siswa telah belajar
dapat diketahui seusai proses mengajar. Ukuranya semakin baik mutu guru
mengajar akan semakin baik pula mutu perolehan siswa yang kemudian dinyatakan
dalam bentuk skor.[9]
Adapun pengertian
belajar secara kualitatif (tinjauan mutu), ialah proses memperoleh arti-arti
dan pemahaman-pemahaman serta cara-cara menafsirkan dunia di sekeliling siswa.
Belajar dalam pengertian ini difokuskan pada tercapainya daya pikir dan
tindakan yang berkualitas untuk memecahkan masalah-masalah yang kini dan nanti
dihadapi siswa.[10]
Para
ahli psikologi mempunya tafsiran sendiri-sendiri apa yang dimaksud dengan
belajar. Tafsiran itu saling berbeda antara satu dengan yang lainnya,
berdasarkan anggapan yang mereka berikan dalam proses dan kegiatan belajar itu.
Ada yang mengatakan kalau belajar adalah semata-mata mengumpulkan atau
menghafalkan fakta-fakta yang tersaji dalam bentuk informasi/ materi pelajaran.
Disamping itu pula ada yang memandang belajar sebagai latihan belaka yang
seperti tampak pada latihan membaca dan menulis. Tapi, ada banyak sekali
pengertian yang benar tentang belajar. Dan akan diuraikan secara lengkap di
bawah ini,[11]
1.
Hilgrad
dan bower dalam bukunya theories of learning mengemukakan, bahwa belajar
berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap sesuatu situasi
tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya yang berulang-ulang dalam situasi
itu, dimana perubahan tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atau dasar
kecenderungan respon pembawaan, kematangan atau keadaan-keadaan sesaat
seseorang”.
2.
Gagne,
dalam buku the conditions of learning menyatakan bahwa :”belajar terjadi
apabila situasi stimulus bersama dengan isi ingatan mempengaruhi siswa
sedemikian rupa sehingga perbuatannya berubah dari waktu sebelum ia mengalami
situasi itu ke waktu sesudah ia mengalami situasi tadi.
3.
Morgan
dalam buku introduction to psychology mengemukakan belajar adalah setiap
perubahan yang relatif, menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu
hasil dari latihan atau pengalaman.[12]
4.
T. Raka
Joni, dalam artikelnya yang berjudul: “Teori mengajar dan psikologi belajar”
mengatakan bahwa: belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil
pengalaman kecuali perubahan tingkah laku yang disebabkan oleh proses
menjadinya seseorang atau perubahan instiktif.
5.
H. Carl
Witherington dalam bukunya “educational Psycology” mengemukakan bahwa:
belajar adalah suatu perubahan di dalam kepribadian yang menyatakan diri sebagai
suatu pola baru daripada reaksi yang berupa kecakapan, sikap, kebiasaan,
kepandaian atau suatu pengertian.
6.
Cronbach,
dalam bukunya “educational psychology” mengatakan bahwa : “belajar
adalah mengalami dan dalam mengalami itu si pelajar mempergunakan panca
inderannya”.
7.
W.S.
Winkel dalam bukunya psikologi pendidikan dan evaluasi belajar menyatakan
bahwa: belajar adalah sebagai proses pembentukan tingkah laku secara
terorganisir.[13]
8.
Slameto
mengemukakan bahwa belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan individu
untuk memperoleh suatu perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan, sebagai
hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi individu dengan
lingkungannya.
9.
Moeslichatoen
mengemukakan bahwa belajar dapat diartikan sebagai proses yang membuat
terjadinnya proses belajar dan perubahan itu sendiri dihasilkan dari usaha
dalam proses belajar.[14]
10. Chaplin dalam dictionary of
psychology membatasi belajar dengan dua rumusan, yang pertama: acquisition
of any relatively permanent change in behavior as a result of practice and
expresience. Dan yang kedua: process of acquiring responses as a result
of special practice.
11. Hitzman dalam bukunya the psychology
of learning and memory berpendapat learning is a change in organism due
to experience which can affect the organism’s behavior.[15]
Dari beberapa pengertian di atas,
maka dapat dikukakan beberapa elemen dasar dari belajar yaitu:
a.
Belajar
adalah merupakan suatu perubahan dalam tingkah laku, perubahan tersebut
dapat mengarah kepada tingkah laku yang baik dan mengarah pada tingkah laku
yang kurang baik
b.
Belajar
adalah suatu perubahan yang terjadi melalui latihan atau pengalaman,
dalam arti perubahan-perubahan yang disebabkan oleh pertumbuhan atau
kematangan, dan tidak dikatakan sebagai hasil belajar apabila perubahan
tersebut terdapat pada seorang bayi.
c.
Perubahan
tersebut harus relatif mantap dan harus merupakan akhir daripada suatu
waktu yang cukup panjang. Berapa lama waktu yang diperlukan itu sulit
ditentukan dengan pasti, tetapi perubahan itu hendaknya merupakan akhir dari
suatu periode yang mungkin berlangsung lama. Dan berarti harus mengesampingkan
perubahan yang disebabkan oleh motivasi, kelelahan, adaptasi, ketajaman
perhatian atau kepekaan seseorang, yang biasannya berlangsung sementara.
d.
Tingkah
laku yang mengalami perubahan karena belajar menyangkut berbagai aspek
kepribadian, baik fisik maupun psikis.[16]
Dan bisa disimpulkan yaitu ciri-ciri
suatu perubahan perilaku berupa:
1.
Perubahan
yang terjadi secara sadar
2.
Perubahan
dalam belajar bersifat kontinyu dan fungsional
3.
Perubahan
dalam belajar bersifat positif dan aktif
4.
Perubahan
dalam belajar bertujuan atau terarah.[17]
Dengan demikian dapatlah
dikatakan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku melalui
pendidikan atau lebih khusus melalui prosedur latihan. Dan pada intinya, bahwa
orang yang belajar tidak sama dengan sebelum mereka melakukan perbuatan
belajar. Dan dapat disimpulkan:
1.
Bahwa
dalam belajar, faktor perubahan tingkah laku harus ada dan tidak dikatakan
belajar apabila di dalamnya tidak ada perubahan tingkah laku.
2.
Bahwa
dalam perubahan tersebut pada pokoknya didapatkan kecakapan baru.
3.
Bahwa
perubahan tersebut terjadi karena adanya usaha yang disengaja.
Dan dapat diketahui bahwa tujuan
belajar adalah mengadakan perubahan tingkah laku dan perbuatannya.[18]
Dan juga dapat diambil kesimpulan kalau belajar dapat dipahami sebagai tahapan
perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil
pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif.[19]
2.2.Jenis-jenis
belajar
Belajar
sebagai suatu aktivitas mencakup berbagai jenis-jenis belajar, yaitu:
a.
Belajar
bagian, yaitu peserta didik belajar dengan membagi-bagi materi pelajaran
kedalam bagian-bagian agar mudah dipelajari untuk memahami makna materi pelajaran
secara keseluruhan.
b.
Belajar
dengan wawasan, yaitu belajar yang berdasar pada teori wawasan yang menyatakan
bahwa belajar merupakan proses mereorganisasikan pola-pola perilaku yang
terbentuk menjadi satu tingkah laku yang ada hubungannya dengan penyelesaian
suatu persoalan.
c.
Belajar
deskriptif yaitu suatu usaha untuk memilih beberapa sifat situasi rangsangan
dan kemudian menjadikannya sebagai pedoman dalam berperilaku.
d.
Belajar
secara global adalah individu mempelajari secara keseluruhan bahan pelajaran lalu
dipelajari secara berulang untuk dikuasai.
e.
Belajar
incidental yaitu proses yang terjadi secara sewaktu-waktu tanpa adanya petunjuk
yang diberikan oleh guru sebelumnya.
f.
Belajar
instrumental adalah proses belajar yang terjadi karena adanya hukuman dan hadiah
dari guru sebagai alat untuk menyukseskan aktivitas peseta didik.
g.
Belajar
intensional ialah belajar yang memilikii arah, tujuan, dan petunjuk yang
dijelaskan oleh guru.
h.
Belajar
laten adalah belajar yang ditandai dengan perubahan-perubahan perilaku yang
terlihat tidak terjadi dengan segera.
i.
Belajar
mental adalah perubahan kemungkinan tingkah laku yang terjadi pada individu
tidak nyata terlihat, melainkan hanya berupa perubahan proses kognitif dari
bahan yang dipelajari.
j.
Belajar
produktif ialah belajar dengan transfer meksimum.
k.
Belajar
verbal adalah belajar dengan materi verbal dengan melalui proses latihan dan
proses ingatan.[20]
2.3.Teori-teori
pokok belajar
Teori
belajar dapat dipahami sebagai prinsip umum atau kumpulan prinsip yang saling
berhubungan dan merupakan penjelasan atas sejumlah fakta dan penemuan yang
berkaitan dengan peristiwa belajar.[21]
Setiap teori memiliki landasan sendiri-sendiri sebagai dasar perumusan,
sehingga bebarengan dengan itu muncullah berbagai teori tentang belajar.[22]
Teori -teori
pokok belajar itu diantaranya adalah koneksionisme, pembiasaan Klasik,
pembiasaan prilaku respon, dan teori
pendekatan kognitif.
1.
Koneksionisme
Teori
keneksionisme atau connectionisme yang dipelopori oleh erward L. thorndike (1893).
Menurut aliran ini bahwa belajar terjadi dengan ulangan dan pembiasaan.
Karena itu dalam psikologi ini terkenal dengan sebutan: S-R Bond Theory, yakni
teori stimulus S. setiap stimulus akan menimbulkan respons atau jawaban
tertentu. Ikatan stimulus dan respon ini akan bertambah kuat apabila sering
mendapat latihan-latihan, sehingga terjadi asosiasi antara stimulus dan respon.
Lama kelamaan asosiasi ini membentuk kebiasaan-kebiasaan yang dapat berjalan
secara otomatis.
Dalam
percobaannya thorndike menggunakan seekor kucing yang lapar dan dimasukkan
kedalam kurungan yang didalamnya terdapat sebuah alat yang apabila disentuh
akan menyebabkan pintu terbuka sehingga kucing bisa keluar. Lalu di luar
kurungan ditaruh makanan yang dapat dilihat atau dicium oleh kucing yang berada
dalam kurungan. Maka kucing yang lapar itu akan berusaha untuk keluar dari
kurungan.
Pada
mulannya kucing akan bertingkah laku tidak menentu agar bisa keluar dari
kurungan, tapi gagal. Tapi setelah secara tidak sengaja menyentuh/ menginjak
mekanisme sehingga pintu terbuka dan kucing keluar. Eksperimen ini diulang
beberapa kali, dan ternyata waktu yang diperlukan untuk membuka tombol semakin
singkat dan tepat memberikan reaksi yang tepat terhadap tantangan atau
perangsangannya. Yakni membuat asosiasi antara perangsang dan reaksi melalui
belajar secara “trial and error”.[23]
Menurut
teori trial and error (mencoba-coba dan gagal) ini, setiap organism jika
dihadapkan dengan situasi baru akan melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya
coba-coba. Jika dalam usaha mencoba-coba itu secara kebetulan ada perbuatan
yang dianggap memenuhi tuntutan situasi, maka perbuatan yang kebetulan cocok
itu kemudian dipegangnya. Karena latihan terus menerus maka waktu yang
dipergunakan untuk melakukan perbuatan yang cocok itu makin lama makin efisien.[24]
Akhirnya L. Thorndike dengan S-R Bond Theory menyusun hukum-hukum belajar
sebagai berikut:
1.
Hukum-hukum
primair yang terdiri dari:
a.
Law of
readiness, artinya bahwa kesiapan untuk bertindak itu timbul karena penyesuaian
diri dengan alam sekitarnya, yang akan member kepuasan. Apabila tidak memenuhi
kesiapan bertindak, maka tidak akan member kesiapan
b.
Law of
exercise, artinya bahwa pengaruh-pengaruh dari latihan. Maksudnya bahwa suatu
hubungan akan menjadi lemah atau hilang apabila tidak ada latihan.
c.
Law of
effect, artinya bahwa kelakuan yang diikuti dengan pengalaman yang memuaskan
cenderung ingin diulang lagi, begitu juga dengan sebaliknya.
2.
Hukum-hukum
secundair, terdiri dari:
a.
Law of
multiple response, artinya bermacam-macam usaha coba-coba dalam menghadapi
situasi yang kompleks maka salah satu dari percobaan itu akan berhasil juga.
Disebut juga trial and error.
b.
Law of
assimilation artinya orang dapat menyesuaikan diri pada situasi baru, asal
situasi tersebut ada unsure-unsur yang bersamaan.
c.
Law of
partial activity artinya seseorang dapat bereaksi secara selektif terhadap
kemungkinan yang ada dalam situasi tertentu.[25]
Akan tetapi teori milik thorndike
ini juga mempunyai kelemahan, diantaranya:
Ø Terlalu memandang manusia sebagai
mekanisme dan otomatisme belaka disamakan dengan hewan. Meskipun banyak tingkah
laku manusia yang otomatis, tetapi tidak selalu bahwa tingkah laku manusia itu
dapat dipengaruhi secara trial and error. Trial and error tidak berlaku mutlak
untuk manusia.
Ø Memandang belajar hanya merupakan
asosiasi belaka antara stimulus dan respons. Sehingga yang dipentingkan dalam
belajar ialah memperkuat asosiasi tersebut dengan latihan-latihan atau
ulangan-ulangan yang terus meneru.
Ø Karena proses belajar berlangsung
secara mekanistis maka “pengertian” tidak dipandangnya sebagai suatu yang pokok
dalam belajar. Mereka mengabaikan pengertian sebagai unsur yang pokok dalam
belajar.[26]
2. Teori Pembiasaan Klasik
Disebut juga dengan teori
“conditioned reflex”. Teori ini dipelopori oleh Ivan Petrovitch Pavlov
(1849-1936). Dalam penyelidikannya Pavlov menggunakan anjing sebagai obyek
percobaan.[27] Dari
hasil percobaan yang dilakukan dengan anjing itu Pavlov mendapatkan kesimpulan
bahwa gerakan-gerakan reflex itu dapat dipelajari, dapat berubah karena
mendapat latihan.
Adapun langkah-langkah percobaan
itu sebagai berikut:
1.
Langkah
pertama adalah hubungan yang sewajarnya yang disebut uncondition stimulus
(perangsang tanpa syarat). Misalnya sepotong daging sebagai perangsang.
Maksudnya respon yang tanpa syarat-syarat lain.
2.
Langkah
kedua adalah dua stimuli ata perangsang. Yang pertama berupa daging dihubungkan
dengan perangsang baru misalnya lampu merah. Yang secara kenyataan antara
daging dan lampu tidak ada hubungannya. Tapi akan berartibagi anjing bila
diulang beberapakali.
3.
Langkah
ketiga stimulus dihilangkan danyang tinggal adalah condition stimulus
(perangsang yang tidak sewajarnya) yaitu lampu merah. Dan respon anjing itu
disebut condition response (respon bersyarat tidak sewajarnya).
Sehingga
dengan demikian dapat dibedakan dua macam reflex , yaitu reflex yang wajar atau
unconditioned reflex yaitu berupa keluar air liur ketika melihat makanan
yang lezat. Dan reflex bersyarat atau conditioned reflex yaitu keluarnya
air liur karena menerima/ bereaksi terhadap warna sinar tertentu atau terhadap
bunyi tertentu.[28] unconditioned
reflex itus adalah merupakan hasil instink dan conditioned reflex sebagai
hasil belajar dan bukan instink. Dan dari perconaan yang dilakukan Pavlov
berlaku pula terhadap kelakuan manusia yang mekanis karena latihan yang
dibiasakan. Misalnya seorang murid yang menganggukkan badannya sewaktu bertemu
gurunya di jalan, dan menghormati bendera.[29]
Percobaan lain yang dilakukan
oleh Watson adalah tentang perasaan takut pada anak. Dari hasil percobaan dapat
ditarik kesimpulan bahwa perasaan takut pada anak dapat diubah dan dilatih.
Anak percobaan Watson mula-mula tidak takut dengan kelinci dibuat takut dengan
kelinci. Kemudian anak itu dibuat tidak takut lagi dengan kelinci. Penganut
teori ini mengatakan bahwa segala tingkah laku manusia juga tidak lain adalah
hasil daripada conditioning. Yakni hasil daripada latihan-latihan atau
kebiasaan-kebiasaan mereaksi terhadap syarat-syarat tertentu yang dialaminnya
di dalam kehidupannya.
Kelemahan teori ini adalah
menganggap bahwa belajar itu hanyalah terjadi secara otomati, keaktifan dan
penentuan pribadi dalam tidak dihiraukannya. Peranan kebiasaan terlalu
ditonjolkan. Sedangkan manusia dalam bertindak dan berbuat sesuatu manusia
tidak semata-mata tergantung dengan kehidupan luar tapi juga pribandinya
memegang perana penting dalam menentukan reaksi apa yang akan dilakukannya.[30]
3. Teori pembiasaan perilaku respon
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Hadis,
Abdul, Psikologi dalam Pendidikan, 2006, Bandung: Alfabeta
Syah,
Muhibbin. 2010. Psikologi pendidikan dengan Pendekatan Baru, Cetakan
ke-15. Bandung: PT Remaja Rosyada Offset
Suryabrata,
Sumadi, Psikologi Pendidikan, 1993,
Jakarta: Raja Grafindo Persada
Purwanto,Ngalim,
Psikologi Pendidikan, 2006, Bandung: Remaja Rosdakarya Offset
Shalahuddin,
Mahfudh, Pengantar Psikologi Pendidikan, 1990, Surabaya: Bina
Ilmu Offset
[1]
Sumadi suryabrata, psikologi pendidikan,
1993, Jakarta: raja grafindo persada, hal: 243
[2]
Mahfudh shalahuddin, pengantar psikologi pendidikan, 1990, Surabaya: bina ilmu
offset, hal: 27
[3]
Sumadi suryabrata, psikologi pendidikan,
1993, Jakarta: raja grafindo persada, hal: 243
[4]
Ngalim purwanto, psikologi pendidikan, 2006, bandung: remaja rosdakarya offset,
hal: 84
[5]
Muhibbin syah, psikologi pendidikan dengan pendekatan baru,2004 bandung: remaja rosdakarya offset, hal: 89
[6] Muhibbin syah , Psikologi pendidikan dengan Pendekatan Baru,
Bandung: PT Remaja Rosyada Offset, 2010. Hal: 86
[7] Muhibbin syah , Psikologi pendidikan dengan
Pendekatan Baru, Bandung: PT Remaja Rosyada Offset, 2010. Hal: 88
[8] Muhibbin syah , Psikologi pendidikan dengan Pendekatan
Baru, Bandung: PT Remaja Rosyada Offset, 2010. Hal: 90
[9] Muhibbin syah , Psikologi pendidikan dengan
Pendekatan Baru, Bandung: PT Remaja Rosyada Offset, 2010. Hal: 90
[10] Muhibbin syah , Psikologi pendidikan dengan Pendekatan
Baru, Bandung: PT Remaja Rosyada Offset, 2010. Hal: 90
[11]
Mahfudh shalahuddin, pengantar psikologi pendidikan, 1990, Surabaya: bina ilmu
offset, hal: 27
[12]
Ngalim purwanto, psikologi pendidikan, 2006, bandung: remaja rosdakarya offset,
hal: 84
[13] Mahfudh shalahuddin, pengantar psikologi pendidikan, 1990,
Surabaya: bina ilmu offset, hal: 28
[14]
Abdul hadis, psikologi dalam pendidikan, 2006, bandung: alfabeta, hal: 60
[15]
Muhibbin syah, psikologi pendidikan dengan pendekatan baru,2004 bandung: remaja rosdakarya offset, hal: 90
[16]
Mahfudh shalahuddin, pengantar psikologi pendidikan, 1990, Surabaya: bina ilmu
offset, hal: 28
[17]
Abdul hadis, psikologi dalam pendidikan, 2006, bandung: alfabeta, hal: 61
[18]
Mahfudh shalahuddin, pengantar psikologi pendidikan, 1990, Surabaya: bina ilmu
offset, hal: 28-29
[19]
Muhibbin syah, psikologi pendidikan dengan pendekatan baru,2004 bandung: remaja rosdakarya offset, hal: 92
[20]
Abdul hadis, psikologi dalam pendidikan, 2006, bandung: alfabeta, hal: 62-63
[21]
Muhibbin syah, psikologi pendidikan dengan pendekatan baru,2004 bandung: remaja rosdakarya offset, hal: 105
[22]
Mahfudh shalahuddin, pengantar psikologi pendidikan, 1990, Surabaya: bina ilmu
offset, hal: 31
[23]
Mahfudh shalahuddin, pengantar psikologi pendidikan, 1990, Surabaya: bina ilmu
offset, hal: 32-33
[24]
Ngalim purwanto, psikologi pendidikan, 2006, bandung: remaja rosdakarya offset,
hal: 84
[25]
Mahfudh shalahuddin, pengantar psikologi pendidikan, 1990, Surabaya: bina ilmu
offset, hal: 33-34
[26]
Ngalim purwanto, psikologi pendidikan, 2006, bandung: remaja rosdakarya offset,
hal: 84
[27] Mahfudh shalahuddin, pengantar psikologi pendidikan, 1990,
Surabaya: bina ilmu offset, hal: 35
[28]
Ngalim purwanto, psikologi pendidikan, 2006, bandung: remaja rosdakarya offset,
hal: 90
[29]
Mahfudh shalahuddin, pengantar psikologi pendidikan, 1990, Surabaya: bina ilmu
offset, hal: 35
[30]
Ngalim purwanto, psikologi pendidikan, 2006, bandung: remaja rosdakarya offset,
hal: 91
Tidak ada komentar:
Posting Komentar