“Book Review ”
PENDEKATAN FIQIH DALAM BUKU
“FIQIH MADANI
KONSTRUKSI HUKUM ISLAM DI DUNIA MODERN”
Karya Disertasi
Muhyar Fanani
By: Evi Muzaiyidah Bukhori
(Mahasiswi pascasarjana UIN Maliki Malang)
(Mahasiswi pascasarjana UIN Maliki Malang)
A.
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Syukur
Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas nikmat-Nya kami (Evi Muzaiyidah Bukhori, Rizka Eliyana Maslihah dan Ihda
Qurrati Aini) dapat menyelesaikan makalah
review buku dengan judul “Fiqih Madani
Konstruksi Islam di Dunia Modern” karya Disertasi Muhyar Fanani ini dengan
baik. Dan makalah ini dikutip untuk memenuhi tugas maka kuliah “Pendekatan
Studi Islam” yang diampu oleh Dr. H. Zulfi Mubarok, M. Ag. Namun dalam pembuatan
makalah ini, penulis menyadari keterbatasan kemampuannya dalam menulis,
sehingga makalah ini masih memiliki banyak kekurangan dan jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun, guna perbaikan makalah ini.
Makalah ini
merupakan hasil pembahasan penulis mengenai penelitian Muhyar Fanani dalam buku
“Fiqih Madani Konstruksi Hukum Islam
di Dunia Modern”. Dan Muhyar Fanani menggunakan pendekatan sejarah yang kritis, beserta
langkah-langkahnya untuk menggali data mengenai konstruksi fiqih madani dalam
hukum Islam.
Urgensi topik
pendekatan fiqih pada makalah ini adalah untuk memahami paradigma pemikiran
Muhammad Syahrur yang senantiasa mengundang kontroversial, khususnya terkait
kritik-ideologi Syahrur terhadap ilmu ushul fiqh tradisional. Dimana Muhammad
Syahrur ingin merealisasikan sifat dasar hukum Islam yang relevan untuk setiap
masa dan tempat, dengan cara mencetuskan teori baru terkait dasar pengambilan
hukum Islam, yaitu: teori hudud.
Isi global makalah ini adalah pemikiran
Muhammad Syahrur yang didasarkan pada perkembangan-perkembangan baru prestasi
peradaban umat manusia, seperti: demokrasi, HAM, konstitusionalisme, national-state,
dan civil society. Sehingga, Muhammad Syahrur berinisiatif untuk
mengadakan pembaruan dalam tataran Ilmu Ushul Fiqh, yang mana ia adalah dasar
pengambilan hukum Islam. Ia berpendapat bahwa pengetahuan keislaman yang modern
adalah yang memadukan antara wahyu, akal dan indera. Ia juga berpendapat bahwa
syari’at Islam itu bersifat Hududi (limitif), dimana substansi hukum
Islam adalah ijtihat terhadap nash (teks Al-Qur’an), sehingga ia menerapkan
teori matematis dalam memahami frame ketetapan Al-Qur’an, yaitu dengan
menerapkan batas minimal, batas maksimal, batas minimal dan maksimal yang
datang bersamaan, batas minimal dan maksimal yang menyatu dalam satu titik,
batas minimal dan maksimal yang mendekati garis lurus, serta batas minimal
positif yang tidak boleh dilampaui.
Secara garis
besar, makalah ini membahas tentang 3 hal pokok, yaitu: pengertian pendekatan
ushul fiqh secara etimologi dan terminologi, metode, tekhnik dan
langkah-langkah pendekatan fiqih, serta hasil pendekatan ushul fiqh yang
dicapai oleh Dr. Muhyar Fanani dalam bukunya yang berjudul “Fiqih Madani
Konstruksi Hukum Islam di Dunia Modern”.
2.
Tujuan Pembahasan
a.
Untuk memahami pengertian pendekatan ushul fiqh secara etimologi
dan terminologi.
b.
Untuk mengetahui metode, teknik dan langkah-langkah dalam buku “Fiqih
Madani Konstruksi Hukum Islam di Dunia Modern”.
c.
Untuk mengetahui hasil pendekatan ushul fiqh yang dicapai oleh Dr.
Muhyar Fanani dalam bukunya yang
berjudul “Fiqih Madani Konstruksi Hukum Islam di Dunia Modern”.
B.
POKOK PEMBAHASAN
1.
Pengertian Pendekatan ushul fiqh
Secara
etimologi ushul fiqh terdiri dari dua kata, yang masing-masing memiliki
pengertian luas, yaitu uhsul (أصول) dan fiqh (الفقه). Adapun pengertian ‘ashl’
(jamaknya: ‘ushul’)
menurut etimologi adalah dasar (fundamen) yang diatasnya dibangun sesuatu. Dalam bahasa
Arab, ushul merupakan jama’ dari ashl (الأصل) yang mengandung arti
fondasi sesuatu baik bersifat materi maupun non materi, sedangakan fiqh (الفقه) berarti pemahaman yang
mendalam yang membutuhkan pengerahan potensi akal , [1]
bila paham yang digunakan untuk hal-hal yang bersifat lahiriyah, maka fiqh
berarti paham yang menyampaikan ilmu zhahir kepada ilmu bathin. Kata fuqaha fiqh berakar kepada
kata itu dalam al-qur’an disebut dalam 20
ayat, 19 diantaranya berarti bentuk
tertentu dari kedalaman paham dan kedalaman ilmu yang menyebabkan dapat diambil
manfaat darinya. [2]
Fiqh secara etimologi berarti pemahaman yang mendalam tentang tujuan suatu
ucapan dan perbuatan. Seperti firman Allah yang berbunyi: “Maka
mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami
pembicaraan sedikitpun” (QS. An Nisa: 78).[3] Juga
sabda Rasulullah yang berbunyi:
مَنْ يُرِدِ
اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهُ فِى الدِّيْنِ
“ Apabila Allah menginginkan kebaikan bagi
seseorang, maka Ia akan memberikan pemahaman agama (yang mendalam). (H.R
al-Bukhari, Muslim, Ahmad ibn Hanbal, al-Tirmidzi dan Ibnu Majjah).
Begitupula dalam surat thaha ayat: 27-28,
yang artinya “Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka memahami
perkataanku.[4]
Adapun secara terminologi,
ilmu ushul fiqh memiliki makna sebagai kumpulan teori yang akan memandu para
mujtahid dalam aktifitas ijtihadnya memiliki peran yang sangat sentral dalam
pembaharuan hukum Islam. Seiring dengan kemunduran yang dialami oleh hukum
Islam dewasa ini, ilmu ushul fiqh dituntun untuk mampu mendorong hukum Islam
agar keluar dari krisis (dekadensi). Untuk itu ilmu ini dituntut untuk
berkembang dan memperbaiki dirinya sendiri.
2.
Metode Penelitian Ushul Fiqh
a)
Latar Belakang Penelitian
Buku yang
berjudul “Fiqih Madani Konstruksi Hukum Islam di Dunia Modern” ini diterbitkan oleh PT. LKiS Printing Cemerlang Yogyakarta pada Januari 2010, dengan tebal 430
halaman. Penulisan buku ini pada mulanya merupakan karya disertasi penulis di
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dimulai sejak akhir tahun 1999 dan diterbitkan
pada tahun 2010. Buku yang ditulis oleh Dr. Muhyar Fanani, dan dinobatkan sebagai disertasi terbaik Nasional
oleh Departemen Agama RI melalui surat
No; Dj.II/Dt.II.III/4/PP.009/1070/06 tertanggal 10 November 2006.[5]
Buku ini muncul
karena penulis yang bernama Dr.
Muhyar Fanani, melihat adanya keunikan dari salah seorang
eksponen kelompok religious liberalism yang
selama ini sering mendapat kecaman, yakni
Muhammad Syahrur. Alasan pemilihan Muhammad Syahrur sebagai fokus kajian
didasarkan pada pertimbangan bahwa dia merupakan eksponen utama kelompok
liberalisme yang memiliki konsep pembaharuan ilmu ushul fiqh paling
revolusioner dan inovatif, bila dibanding
dengan pemikir lain dalam kelompok ini. Selain itu syahrur adalah seseorang
yang fenomenal, yang secara resmi telah menerbitkan
karyanya yang pertama pada tahun 1990, dan
menyebar ke seluruh wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara, hingga akhirnya dia mulai dikenal dalam pecaturan intelektual dalam dunia Islam.[6]
Perlu diingat,
bahwa dalam khazanah
intelektual Islam, ilmu ushul fiqh merupakan metodologi terpenting yang pernah
ditemukan, dan dimiliki oleh umat lain. Sebab,
ilmu ini memiliki kedudukan yang tak tergantikan dikalangan kaum muslim. Namun, kini ia terabaikan oleh para pakar filsafat Islam, yang banyak
disebabkan oleh sejarah. Pada mulanya ilmu ini bukanlah metodologi
yang baku dalam hukum Islam, kemudian
menjadi baku bagi seluruh pemikiran intelektual Islam. Akan tetapi, sejarah
pemikiran Islam telah mengeliminasi wilayah kerja ushul fiqh, sehingga wilayahnya hanya dalam wilayah pemikiran hukum saja.[7]
Dewasa ini, pemikirin Syahrur memang telah menarik minat banyak ilmuan, baik
dalam maupun luar negri. Sebagian ilmuan merespon positif ide dan pemikiran
Syahrur, sementara sebagian yang lain menanggapinya secara negatif, adapun
salah satu pemikir Timur Tengah yang menanggapi dengan negatif
adalah Na’im al-Yafi, ia mengkaji karya pertama Syahrur dalam kitab Al-Kitab wa Al-Qur’an,
dan
mengkriktisi bahwasannya segala pembicaraan tentang teks al-Qur’an yang
dilakukan oleh Syahrur sama sekali tidak mempedulikan sebab-sebab turunnya
ayat, nasikh mansukh dan prinsip maslahah dan mursalah, kemudian hukum-hukum
dan kesimpulan Syahrur membutuhkan peninjauan ulang secara hati-hati oleh
penulisannya sendiri. Selain pemikir Timur Tengah, ada juga ilmuan Barat yang menanggapi positif pemikiran Syahrur khususnya dalam prespektif ushul fiqh, yakni
Wael B. Hallaq lewat karyanya yang bertittle A History of Islamic Legal
Theories: An Introduction to Sunni Ushul Fiqh, dalam kajiannya hallaq
menyimpulkan bahwa pandangan ushul fiqh Syahrur masih mengakui al-Qur’an dan
as-Sunnah sebagai sumber hukum. Kedua sumber hukum itu harus dipahami dan
ditafsirkan ulang sesuai dengan kemajuan budaya dan pengetahuan manusia
sekarang bukan manusia abad VII M. Hallaq menyatakan bahwa dengan inspirasi
ilmu-ilmu kealaman, Syahrur akhirnya menemukan teori hudud yang
menurutnya sangat berguna untuk memahami hukum Allah di zaman modern, dan teori
ini belum ditemukan oleh para ulama ushul fiqh masa awal Islam dan pertengahan. Menurut hallaq teori hudud sumbangan utama Syahrur dalam ilmu
ushul fiqh karena teori ini akan menggantikan qiyas dan ijma’ dalam menggali
hukum-hukum Allah.[8]
Adapun salah
satu hasil kreativitas pemikiran Syahrur dalam bidang ilmu ushulul fiqh adalah
teori hudud, dan teori inilah yang dijadikan fokus kajian dalam penelitian ini.
Pemilihan atas tema ini didasarkan pada lima alasan:
a.
Teori Hudud merupakan sumbangan orisinal Syahrur dalam pemikiran
ushulul fiqh kontemporer dan merupakan salah satu wujud nyata rekonstruksi
ushulul fiqh yang dilakukannya.
b.
Teori ini merupakan wujud konkret dari manifestasi paradigma
baru dalam pemikiran ushulul fiqh sehingga teori ini diharapkan akan dapat
melahirkan hukum Islam modern, nonsectarian, universal, dan relevan untuk
setiap masa dan tempat.
c.
Teori ini lahir berkat penggunaan pendekatan modern-scientifical,
approach yang diinspirasikan oleh konsep limit matematis dan analisis
matematis.
d.
Teori ini merupakan teori yang sangat mutakhir karena muncul di
penghujung abad XX.
e.
Teori ini oleh Syahrur dirancang untuk mewujudkan fiqih Islam yang
terbentuk dalam koridor dustur, bukan dalam iklim tirani sebagai mana yang
terjadi dalam fiqih Islam historis.[9]
b)
Fokus Penelitian
Fokus
penelitian Dr. Muhyar
Fanani dalam bukunya
yang berjudul “Fiqih
Madani Konstruksi Hukum Islam di Dunia Modern” adalah bagaimana
memahami kaitan antara teori hudud sebagai bagian dari reformasi
keagamaan yang dilakukan Syahrur dengan reformasi politik dan masyarakat yang
didambakannya. Ia meneliti hubungan antara teori hudud
Syahrur yang kontroversial dengan motif dan konteks yang mendorong munculnya
teori tersebut, terutama terkait dengan ilmu ushul fiqh, fiqh dan agenda
reformasi masyarakat muslim kontemporer. Kajian
dalam ranah ini sangat penting, yaitu dalam rangka
memahami kaitan antara reformasi keagamaan yang dilakukan Syahrur dengan
reformasi politik yang didambakannya.[10]
c)
Pendekatan Penelitian
Penelitian ini
dirancang sebagai penelitian di bidang
ushul fiqh, yang menggunakan
pendekatan sosiologi ilmu pengetahuan. Dan pendekatan sosiologi ilmu pengetahuan dikenal memiliki perhatian
besar dalam hubungan timbal balik antara
pemikiran dengan konteks sosial yang mengitarinya, termasuk kepentingan dominasi
dan hegemoni yang akan disokong. Selain itu dipergunakannya pendekatan sosiologi ini untuk melihat fenomena teori
hudud sebagai fakta sosial dalam ilmu pengetahuan tanpa ada potensi untuk
menyatakan salah atau benar.[11]
d)
Metodologi Penelitian
Penelitian ini
menggunakan metode historis-hermeneutis yang kritis. Metode
historis-hermeneutis disebut juga
metode interpretative, ia menyatakan
bahwa untuk memahami bagian-bagian tertentu maka kita harus memiliki pengertian
lebih dahulu tentang keseluruhan, serta untuk mengerti keseluruhan kita harus
memahami lebih dahulu bagian-bagiannya. Lingkaran hermeneutis itu
menjadi upaya yang lazim digunakan
untuk mengungkap makna yang terkandung dalam sebuah teks yang pada dasarnya
muncul dari pertautan antara tiga subyek, yakni teks, pikiran pengarang dan
benak pembaca (peneliti). Sementara metode kritis terwujud dalam bentuk
refleksi diri yang
meliputi langkah memahami, membela dan sekaligus memberikan kritik agar manusia
tidak jatuh dalam belenggu ideologi
beku atau kungkungan struktur politik.[12]
e)
Langkah-langkah Penelitian
(1). Data
Data yang
digali oleh Dr. Muhyar Fanani yang menjadi tujuan utama dalam penelitiannya
yaitu menjelaskan tentang: hakikat teori hudud, hubungan antara teori
hudud dengan struktur kemasukakalan Syahrur dalam ilmu ushul fiqh,
kepentingan dan motif Syahrur dalam menciptakan teori hudud, dalam
prespektif sosiologi ilmu pengetahuan,
apakah teori hudud mampu mengantarkan tercapainya kepentingan-kepentingan
mengantarkan tercapainya kepentingan tersebut.
(2). Sumber Data
Jenis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data literer kepustakaan. Data primernya
berupa karya-karya asli Syahrur, sedangkan data skundernya berupa karya-karya
lain yang langsung ataupun tidak langsung berkaitan dengan pemikiran Syahrur
atau terkait dengan pembaharuan ushul fiqh dan fiqh secara umum.
(3). Teknik Pengumpulan Data
Adapun tekhnik
pengumpulan data yang digunakan adalah metode dokumentasi, dalam artian
menela’ah dokumen-dokumen tertulis, baik yang primer maupun yang sekunder.
Hasil tela’ah ini dicatat dalam komputer
sebagai alat bantu pengumpulan data.
(4). Pengelolahan dan Analisis Data
Setelah proses
pengmpulan data selesai, dilakukan proses reduksi data (seleksi data) untuk
mendapatkan informasi yang lebih berfokus pada rumusan pesoalan. Setelah
seleksi (reduksi) data usai, lantas dilakukan deskripsi yakni menyusun data itu
menjadi sebuah teks naratif, kemudian dilakukan analisis data dan dibangun
teori-teori yang siap untuk diuji kembali kebenarannya dengan tetap berpegang
pada pendekatan sosiologi ilmu pengetahuan . Setelah proses deskripsi selesai
kemudian dilakukan penyimpulan. Penarikan kesimpulan selalu diverifikasi agar
kebenarannya teruji. Proses reduksi (seleksi data, proses diskripsi dan proses
penyimpulan dilakukan secara berurutan, berulang-ulang, terus-menerus, dan
susul-menyusul, agar peneliti mendapat hasil yang akurat.[13]
3.
Hasil Penelitian
Muhyar Fanani
dalam disertasinya yang berjudul “Fiqih Madani (Konstruksi Hukum Islam di Dunia
Modern)”, telah mengkaji paradigma pemikiran Muhammad Syahrur secara kritis. Dalam
kajian tersebut, ia mencoba mengungkap kritik-ideologi Syahrur terhadap ilmu
ushul fiqh tradisional.[14]
Tujuan dari kajian tersebut, diharapkan dapat merealisasikan sifat dasar hukum
Islam yang relevan untuk setiap masa dan tempat (shalihun likulli zaman wa
makan). Selain itu, diharapkan dapat memberikan sumbangsih terhadap para mujtahid
dalam mencari landasan teoritis baru yang dapat dipertanggungjawabkan secara
metodologis.[15]
Adapun
ringkasan kajian Muhyar Fanani terhadap paradigma pemikiran Muhammad Syahrur
adalah sebagai berikut:
a). Muhammad Syahrur dan Pembaharuan Ilmu Ushul Fiqh
Tokoh yang
pernah menggoncangkan dunia
pemikiran Arab ini mempunyai nama lengkap Muhammad Syahrur bin Daib, ia lahir di Shalihiyyah
Damaskus, Syiria, pada tanggal 11 April 1938, Syahrur adalah anak kelima dari
tukang celup, adapun jenjang pendidikannya dimulai dari ibtida’dan I’dadnya
dari Madrasah Damaskus, kemudian Ia melanjutkan belajar di Faculty of
Engineerig Moscow Engineerig Institute dan mendapat gelar diploma di bidang
tekhnik sipil. Selang beberapa tahun iapun mendapatkan kesempatan untuk belajar
di National University of Irland mengambil
progam Magister dan Doktor. Setelah mendapatkan gelar M.Sc dalam bidang
mekanik tanah dan bangunan ia kembali mengabdikan dirinya ke Fakultas Tekhnik
Sipil Universitas Damaskus. Dalam studi keislaman Syahrur belajar secara otodidak. Oleh karena itu, Syahrur dianggap sebagai orang asing dalam dunia keislaman banyak
orang yang menganggapnya remeh dan seakan ia tidak berwenang dalam wilayah
studi keislamannya. Kemudian Syahrur memiliki inisiatif untuk menampakkan
dirinya melalui tulisan-tulisan, beberapa buku karangannya antara lain: Al- Kitab wa Al-Qur’an, Dirasah
Islamiyyah Muashirah, Al-Islam wa Al-Iman dan Nahw Ushul Jadidah.[16]
Syahrur
menyimpulkan pembaharuan ushul fiqh dari segi epistemologi, pendekatan dan
metode kajian. Pertama: Epistemologi merupakan, unsur paling penting
dalam setiap kajian ilmiah. Memahami epistemologi Syahrur harus bisa berpijak
pada pandangannya tentang perpaduan antara wahyu, akal, dan indera, itulah yang
disebut epistemologi Kantianisme-plus atau rasionalisme-kritik-plus. Tambahan
plus disini penulis berikan karena epistemologi Syahrur selain bercorak
Kantianisme juga menjadi wahyu sumber kebenaran. Oleh karena itu baginya tidak ada
kontradiksi antara al-Qur’an dan apa yang ada dalam filsafat yang merupakan
induk ilmu pengetahuan. Menurutnya, perpaduan antara wahyu, akal, dan indera akan menghasilkan
pengetahuan keislaman yang modern. Kedua: Pendekatan merupakan titik
pijak dari mana kita akan melihat suatu objek, Syahrur telah menentukan dasar
pijakannya dalam mengkaji wahyu Allah, yaitu analisis
linguistik-empiris-nyata untuk
memperkuat pemahamnnya atas wahyu. Ketiga: metode adalah prosedur dan bagaimana orang
itu bisa melihat objek tersebut. Kajian-kajian Syahrur atas Islam menggunakan
metode linguistik-historis-ilmiah dengan mempertimbangkan studi-studi linguistik modern. Ia mendekonstruksi al-Qur’an dan mengkritik habis tradisi
fiqih yang menurutnya mendistorsi pesan Islam dan berperan dalam melumpuhkan
masayarakat Arab-Islam.
Menurut
Syahrur, turats adalah: produk
materil dan pemikiran yang diwariskan oleh para pendahulu (salaf)
kepada manusia sekarang (khalaf). Oleh karena itu, turats tidak boleh
disakralkan, dan manusia harus
menciptakan turatsnya sendiri agar dimensinya tidak hilang. Apabila manusia
sekarang masih mengandalkan turats masa lalu,
maka peradabannya akan lemah dan selalu bergantung pada peradaban lain.[17]
b). Paradigma Baru Ilmu Ushul Fiqh
Harus diakui
bahwa pada awalnya, hukum Islam tumbuh secara fleksibel dan dinamis mengikuti
tuntutan zaman, serta kokoh mempertahankan prinsip-prinsip dasar yang tidah
berubah dari risalah kerasulan Muhammad. Sehingga dapat merealisasikan
sifat dasar hukum Islam yang relevan untuk setiap masa dan tempat. Namun,
dewasa ini terdapat berbagai kasus baru yang belum bisa diselesaikan secara
tuntas, sebab adanya ketimpangan antara gerakan Ijtihad dengan gerakan
zaman. Pemicu hal tersebut adalah penekanan hukum pada aspek penerapan hukum
Islam yang sudah ada, sehingga hanya berkutat pada modifikasi barang lama,
tanpa menghadirkan reformasi atau sesuatu yang baru. Hal
inilah yang disebut-sebut Shubhi Mahmashani sebagai penyebab utama dekadensi
(kemunduran) hukum Islam, disamping tingginya sektarisme madzhab serta
pengabaian spirit ajaran Islam.[18]
Secara tegas
Yusuf al-Qardhawi menyatakan bahwa pembaruan ushul fiqh adalah sesuatu yang
mungkin dilakukan, sebab ushul fiqh yang ada saat ini adalah hasil kreasi
ulama’ masa awal Abbasyiah dan sesudahnya, dan saat ini zaman sudah sama sekali
berubah. Sehingga, al-Qardhawi berani menyalahkan pendapat Asy-Syatibi bahwa
ushul fiqh adalah qath’i. Menurutnya, terdapat bagian-bagian yang berstatus zhanni
dalam ushul fiqh, seperti status kehujjahan qiyas, ijma’ maslahah mursalah,
istihsan, istiskhab, ‘aam-khash, nasikh-mansuh, dsb. Dan senada Muhammad
Iqbal berpendapat, bahwa kita perlu kerja intelektual yang besar dan pasti,
sebagaimana yang dilakukan oleh Umar bin Khaththab sang pemikir independen dan
kritis pertama dalam Islam.[19]
Upaya konkret
Syahrur dengan teori hudud-nya merupakan jawaban atas kritik Hasan
at-Turabi terhadap ilmu ushul fiqh, karena dengan penggunaan paradigma
historis-ilmiah, ia memberikan solusi atas problem metodologis usul fiqh dan
solusi alternatif bagi kebuntuan ilmu ushul fiqh tradisional akibat dominasi
ideologis literalisme (lama), melalui wadah penyatuan ilmu-ilmu naqli dan
rasional. Karena syahrir memandang syari’at Muhammad bersifat hududi
(limitif), sehingga ia memandang bahwa subtansi hukum Islam adalah ijtihad, dan
hanya boleh dilakukan terhadap nash (teks).[20]
Secara
keseluruhan, Syahrur telah melakukan rekonstruksi total atas ilmu ushul fiqh,
dengan menawarkan paradigma baru yang berpondasikan aspek ontologi (bidang
kajian ushul fiqh adalah wilayah jangkauan pengalaman dan penalaran manusia,
bukan wilayah transendental), aspek epistimologis (sumber pengetahuan dalam
ilmu ushul fiqh adalah akal atau argumentasi harus logis dan rasional. Menurutnya, hanya Al-Qur’an sajalah yang dapat disebut teks, sehingga apa yang
diluar Al-Qur’an merupakan interpretasi atas Al-Qur’an sehingga tidak layak
dijadikan sebagai sumber pengetahuan), serta aspek Aksiologi (nilai kegunaan
ilmu ushul fiqh adalah untuk membimbing manusia dalam menangkap maksud Alloh
secara benar, sebagai upaya mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan
akhirat).[21]
Syahrur
mengajukan kategori baru dari Al-Kitab, yaitu:
1)
Perbandingan antara pemahaman konvensional dengan Syahrur tentang
Al-Qur’an:
Pemahaman
Konvensional
|
Al-Kitab =
Al-Qur’an
|
Pemahaman
Syahrur
|
As-Sab’ Al-Matsani
Tafshil Al-Kitab
Umm Al-Kitab
|
2)
Perbandingan antara pemahaman konvensional dengan pemahaman Syahrur
tentang ayat-ayat muhkam dan mutasyabihat dalam Al-Qur’an
Pemahaman
Konvensional
|
Ayat Mutasyabihat
|
Pemahaman Syahrur
|
As-Sab’ Al-Matsani
|
Adapun
penjelasan Syahrur terkait perbandingan tersebut adalah: As-Sab’al Matsani
adalah tujuh ayat yang terpisah dari ayat lainnya dan menjadi pembuka tujuh
surat, yaitu: Alif lam mim, Ha mim, Tha sin mim, Tha ha, Ya sin, Kaf ha ya
‘ain shad, dan Alif lam mim shad (ayat-ayat tersebut mengandung kemutlakan
hakiki dan bukan merupakan sumber hukum). Tafshil Al-Kitab adalah
ayat-ayat yang tidak termasuk kategori muhkam atau mutasyabih,
karena hanya menjelaskan ayat nubuwwah (ia bukan kawasan ijtihad dan
sumber hukum). Dan hukum yang dibawa oleh ayat-ayat muhkamat bersifat hududi
atau hukum itu hanya berupa batasan-batasan saja dan belum merupakan hukum
rinci yang final.[22]
c). Teori Hudud: Upaya Menegakkan Supremasi Sipil dan Demokrasi
Teori Hudud
Syahrur yang muncul dipenghujung akhir abad XX, dirancang
untuk mewujudkan fiqh yang terlepas dari dominasi sistem tirani, sebagaimana
yang terjadi dalam fiqh Islam klasik. Sehingga teori ini ingin mewujudkan hukum
Islam yang terbentuk dalam koridor undang-undang (al-fiqh ad-dusturi).[23]
Adapun penyebab pencetusan teori ini adalah kondisi masyarakat Syiria, Timur
Tengah dan dunia muslim yang rata-rata memiliki problem dalam penegakan
demokrasi dan kebebasan sipil di segala lini kehidupan. Dan dalam konteks
Syiria, problem ini terkait dengan penanaman teks suci secara sah kedalam
intuisi politik dan sosial modern sehingga terwujud sebuah tatanan kehidupan
yang madani. Sehingga, hal tersebutlah yang menjadi acuan Syahrur dalam teori
hududnya, dimana ia berupaya untuk menangkap kategorisasi yang dibuat teks,
agar manusia tidak keluar dan melanggar kategori tersebut. Disamping itu,
negara Arab saat ini memiliki problem yang berkaitan dengan sosial, politik dan
ekonomi. Sehingga syahrur menggambarkan bahwa Arab memiliki Fir’aun, Hammam dan
Qarun yang memainkan peran absolutisme di bidangnya masing-masing.[24]
Syahrur
memiliki paradigma baru terkait teori hudud sebagai perangkat
Ijtihad Istinbathi, yang mana hudud ini terinspirasi dari Sir Isaac Newton
yaitu Fisikawan Barat Modern yang mengembangkan konsep hudud matematis dan
analisa matematis. Dan seyogyanya teori hudud Syahrur ini mendapat perhatian
khusus dalam konteks pemikiran hukum Islam kontemporer. Mengingat, situasi
zaman modern yang berubah dengan cepat, sehingga menuntut kita untuk mampu
bergerak dinamis mengikuti perkembangan zaman dengan tetap dalam
koridor (frame) yang ditetapkan Al-Quran. Menurut hemat Syahrur, teori
hudud miliknya merupakan ketentuan suci dalam Al-Kitab, dimana ia memiliki
batas minimal dan batas maksimal. Adapun teori yang digunakan yaitu
persamaan fungsi, yang dirumuskan dengan Y=f(x) untuk satu variabel dan
Y=f(x,y) untuk dua variabel. Oleh sebab itu, Syahrur mendefinisikan hukum Islam
dengan hukum sipil atau buatan manusia, yang dalam pembuatannya harus
memperhatikan batas-batas yang telah diberikan oleh Alloh. Adapun teori Hudud
Syahrur beserta contoh kasusnya adalah:[25]
No
|
Posisi Hudud
|
Tema (contoh
kasus)
|
Teks
Al-Qur’an terkait
|
1.
|
Batas minimal (al-hadd al-adna)
|
- Pihak
perempuan yang dilarang dinikahi (maharim an-nikah).
- Jenis makanan
yang dilarang dikonsumsi.
- Hutang
piutang.
- Pakaian
perempuan.
- Hukuman
pembunuhan tersalah.
|
- An-Nisa’:
22-23.
- Al-Ma’idah:
3.
Al-An’am: 19, 45.
- Al-Baqarah:282-282.
- An-Nur: 31.
- An-Nisa’: 92.
|
2.
|
Batas Maksimal (al-hadd al-a’la)
|
-
Hukuman bagi pencuri.
-
Hukuman bagi pembunuh dengan sengaja.
|
- Al-Ma’idah:
38.
- Al-Baqarah:
178.
- Al-Isra’: 33.
|
3.
|
Batas minimal dan maksimal yang datang
bersamaan, namun tidak menyatu dalam satu titik atau satu garis
|
- Pembagian
warisan.
- Poligami.
|
- An-Nisa’:
11-14, 176.
- An-Nisa’: 3.
|
4.
|
Batas maksimal dan minimal yang menyatu
dalam satu titik atau satu garis
|
-
Hukuman bagi pelaku zina.
|
- An-Nur: 2.
|
5.
|
Batas maksimal yang mendekati garis lurus,
namun tidak ada persentuhan
|
-
Hubungan fisik antar lawan jenis.
|
- Al-Isra’: 32.
- Al-an’am:
151.
|
6.
|
Batas maksimal positif yang tidak boleh
dilampaui, batas minimal negatif yang boleh dilampaui
|
-
Distribusi harta kekayaan.
-
Riba (batas maksimal positif).
-
Sedekah.
-
Zakat (batas minimal negatif).
|
- At-Taubat:
60.
- Al-Baqarah:
275, 278.
- Ali-Imran:
130.
- Al-Baqarah:
276.
- Ar-Rum: 39.
|
d). Kritikatas Teori Hudud Muhammad Syahrur
Menurut Muhyar
Fanani,
syahrul adalah seorang ilmuwan tehnik sehingga studi keislaman syahrul akan
bercorak empiristik, bahkan postivistik. Dalam hal ini syahrul juga mengakui
bahwa dalam membangun teori hudud, ia menggunakan analisis matematis sebagai
landasanya, yaitu rumus matematika yang dikembangkan oleh Sir Isaac Newton
dengan persamaan fungsi, persamaan fungsi ini dijadikan oleh syahrul sebagai
basis teori pengembangan hukum Islam,
karena teori ini memadukan dua karakter hukum
islam, yakni karakter statis (tsabit-tetap) dan karakter dinamis (al-haniffiyah-
cenderung berubah).
Dari keterangan
di atas Muhyar fanani mengungkapkan bukti-bukti terjebaknya syahrul dalam
Hegemoni – positivisme teori hudud, yaitu:
1. Pemanfaatan
prestasi ilmu pengetahuan modern secara mutlak dalam penemuan hudud Allah, dan
pemanfaatan metode historis ilmiah dalam penciptaan hukum
yang sesuai dengan hudud tersebut. Premis–premis ilmiah yang dimaksud syahrul
adalah premis empiris – positivistik. Bagi syahrul semua hal dapat
diakui benar bila fakta empiris- positivistik
membuktikan kebenarannya.
2. Syahrul juga
berkeyakinan bahwa wahyu (teks) tidak dapat dipahami kecuali berangkat dari
hukum – hukum alam. Walaupun ia telah mengakui relativisme dan perkembangan
pengetahuan manusia. Semua itu masih dalam bentuk koridor positivism.
3. Pengklasifikasian
atas ayat-ayat At-Tanzil Al-Hakim menjadi empat macam: Umm Al-Kitab,
Al-Qur’an, As-Sab’al Mastani, dan Tafsil Al-Kitab. Kualifikasi
tersebut merupakan cara Syahrul memperlakukan Al-Qur’an sebagai ilmu pasti yang
bersifat “Ajeg-tetap” dan Positif. “keajekan” merupakan pola hubungan
ketergantungan ideologis dan bersifat sangat positivistik.
4. Syahrul juga
terjebak dalam – meminjam istilah Habernas - “Dogmatisme Ilmu alam” syahrul
menganggap ilmu kealaman sebagai jurus tafsir satu – satunya yang benar dan
realitas.
5. Syahrul masih
cenderung pada hegemoni objektivitas– positivistik–
nomotetik adalah yang digunakannya logika penelitian nomotetik, seperti
penggunaan statistic, sensus, metode survai, voting, polling, dan ferendum.
Disamping metode pemahaman intratekstual (al-istiqra’ al-ma’nawi) dalam
menemukan hudud Allah. Dari sini tampak jelas bahwa Syahrur belum mampu
melepaskan latarbelakangnya sebagai ilmuwan alam.[26]
Dari pembahasan di atas tampak jelas bahwa teori hudud sesungguhnya
belum mampu memisahkan diri dari dominasi positivisme yang begitu hebat pada
abad XIX M. Dan teori hudud ini menemui jalan buntu, karena teori hudud masih
berbasis pada logika nomotetis – positivistik
yang mengakibatkan kecilnya partisipasi dan emansipasi masyarakat sebagai
dampak dari dipisahkannya subjek dari objek yang tidak ada pintu dialog. Oleh
karena itu, teori ini lebih cenderung menghasilkan masyarakat yang pro status
quo, irasional, ideologis, dan tidak komunikatif partisipasif. Padahal,
subtansi ilmu usul fiqh, fiqh, dan masyarakat madani adalah adanya partisipasi
luas masyarakat dalam segala lini kehidupan.
Jika tidak teori hudud syahrur tidak diperbaiki maka akan hanya
akan menghasilkan ilmu usul fiqh dan fiqh yang monolitik – dogmatik yang
menutup pintu dialog dan partisipasi masyarakat sehingga pada gilirannya akan
mempersulit jalan untuk memperoleh horizon baru yang dinamis, ini sangat
bertolak belakang dengan tujuan yang ingin dicapai syahrur sebenarnya.
Untuk menjadikan teori hudud menjadi benar maka ia harus dilengkapi
dengan perangkat Hermeneutika-Kritis yang terwujud dalam bentuk refleksi diri
agar ilmu usul fiqh, fiqh, dan masyarakat dapat membebaskan diri dari segala
bentuk ideologi dan dogmatism yang membelenggu. Dengan teori Hudud – kritis
inilah yang mampu mengeluarkan teori hudud syahrul dari jebakan positivisme
yang membuatnya mengalami kebuntuan dalam mewujudkan kepentingan
emansipatorisnya.[27]
C.
ANALISIS DAN DISKUSI
1. Analisis
Buku yang berjudul Fiqih Madani (Konstruksi Hukum Islam di Dunia
Modern) merupakan buku yang sangat inspiratif serta menarik untuk dikaji.
Dalam karya tulis ini, penulis menganalisis
paradigma pemikiran Muhammad Syahrur yang menuai berbagai kontroversi. Syahrur menawarkan paradigma baru terkait
Ushul Fiqh yang menjadi dasar pengambilan hukum Islam, dari hal tersebut, dapat
ditangkap bahwasanya Syahrur adalah seorang tokoh pemikir Ushul liberal, karena
ia diposisikan Hallaq sejajar dengan Muhammad Said Asymawi dan Fazlur Rahman.
Dan kami dari kelompok ke-3 tidak setuju
dengan apa yang disampaikan oleh Muhammad Syahrur, berdasarkan apa yang telah dikupas tuntas dalam disertasi Muhyar Fanani tersebut. Namun, kami tetap mengapresiasi pemikiran dan
pembaharuan yang dilakukan oleh Syahrur, karena dalam agama Islam kita masih
membutuhkan adanya ijtihat, guna memecahkan permasalahan-permasalahan yang
kontemporer. Namun, hendaknya ijtihad yang dilakukan tidaklah keluar dari sumber hukum Islam.
Dan
perlu diketahui, jika kita meninjau dasar
penetapan hukum minimal dan maksimal, maka Syahrur menggunakan teori persaman matematis, yang dimiliki oleh orang Sir Issac Newton. Tidak dapat dipungkiri, bahwa pendekatan
scientes atau logika matematika tidak selalu relevan dengan dasar hukum Islam,
sehingga pendekatan secara scientis belum dapat menjembatani antara pembaharuan
dan hukum dasar Islam. Dan hendaknya pembaharuan dalam hukum Islam tidak
melampaui batas, dan jangan sampai kemajuan IPTEK yang terjadi akan merubah dan
menghilangkan hukum-hukum Islam.
3.
Kesimpulan
Studi
ini paling tidak menghasilkan empat buah kesimpulan penting:
1.
Teori Hudud merupakan teori baru dalam hukum Islam yang memandang
bahwa syari’at Allah sesungguhnya hanyalah syari’at yang berupa batas – batas (Hudud)
dan bukan syari’at yang konkret (‘ayni). Oleh karena itu, manusia
bertugas menemukan hudud Allah dalam ayat – ayat Umm Al-kitab,
kemudian setelah hudud Allah itu ditemukan, ia harus membentuk
hukumannya sendiri sesuai dengan tuntutan realitas, namun tidak diperkenankan
menyalahi atau melampaui hudud Allah tersebut. Teori hudud
merupakan perangkat ijtihad baru yang dicetuskan Syahrur guna mewujudkan hukum
Islam modern yang dinamis, fleksibel, dan relevan dengan tuntutan realitas.
2.
Dalam struktur logis pemikir logis pemikiran Syahrur tentang ilmu
ushul fiqh, teori hudud merupakan bagian tak terpisahkan dari
rekonsruksi total atas ilmu ushul fiqh yang dilakukannya, agar ilmu ini tidak
mengalami krisis (anomali yang berkepanjangan) dalam menghadapi situasi zaman
modern. Bila al-Ghazali menyatakan bahwa struktur dasar ilmu ushul fiqh terdiri
atas empat bagian pokok, yakni hukum (ats-tsamrah), sumber hukum (al-mutsmiroh),
cara menemukan hukum (thuruq al-istitsmar), dan mujtahid (al-mustatsmir),
maka syahrur menciptakan struktur dasar ilmu ushul fiqh. Definisi baru tersebut
merupakan akibat dari pergeseran paradigma (paradigm shift) yang
dilakukan Syahrur terhadap ilmu ushul fiqh.
3.
Kepentingan Syahrur dalam menciptakan teori hudud terkait
dengan ilmu ushul fiqh, fiqh, dan masyarakat adalah menegakkan supremasi sipil
dan demokrasi. Dengan kata lain, dengan teori itu, Syahrur ingin melepaskan
ilmu ushul fiqh dari dominasi ideology – literalisme – tiranik, melepaskan fiqh
dari dominasi alam pikiran tang hegemonik sehingga dapat terlahir fiqh madani,
serta melahirkan masyarakat madani.
4.
Dalam upaya mewujudkan kepetingannya itu, teori hudud
ternyata menemui jalan buntu. Hal ini terjadi karena teori hudud masih
berbasis pada logika nomotetis – positivistik
yang mengakibatkan kecilnya partisipasi dan emansipasi masyarakat
sebagai dampak dari dipisahkannya dari subjek dan tidak adanya pintu dialog.
Oleh karena itu, teori ini lebih cenderung menghasilkan masyarakat uang pro status
quo, irasional, ideologis, dan tidak komunikatif partisipatif. Padahal,
substansi ilmu fiqh, fiqh, dan masyarakat madani adalah adanya partisipasi luas
masyarakat dalam segala lini kehidupan. Selain itu, keterbatasan logika
nomotetis – positivistik dalam memahami realitas kemanusiaan yang demikian
kompleks – seperti makna kebebasan dan kemerdekaan – juga menjadi sebab lain
bagi kebuntuan teori hudud syahrur ini.
3. Kolom Diskusi
1. Jika Dr. Muhyar
Fanani berani mengkritisi Imam Syafi’I, apakah dia juga sudah menghafalkan
Al-Qur’an han Hadist ?
Dalam buku ini tidak dijelaskan apakah Dr. Muhyar Fanani tersebut hafal
Al-Qur’an atau tidak, tetapi posisi Muhyar fanani adalah mengkritisi pemikiran
Syahrur, dan Muhammad Syahrur adalah seorang ilmuwan teknik yang belajar
keagamaan secara otodidak.
2.
Berdasarkan pemikiran syahrur apakah ‘urf atau kebiasaan dapat
dijadikan hukum ?
Jika
ditinjau dari ilmu ushul fiqh, maka ‘urf dapat dijadikan sebagai hukum, sebagai
mana maslahah mursalah. Namun, dalam buku ini Syahrur tidak membahas terkait
‘urf, karena ia hanya menawarkan pemikirannya yang baru tentang teori hudud.
3.
Apakah didalam buku tersebut terdapat kritik atau bantahan dari
muhyar fanani terhadap Syahrur ?
Ada,
sesuai dengan pembahasan dalam kritik atas teori Hudud Muhammad Syahrur,
menurutnya, teori Hudud Syahrur mengalami kebuntuan karena teori tersebut masih
berbasis pada logika Nomotetis – positivistik.
D.
DAFTAR RUJUKAN
Fanani,
Muhyar, Fiqih Madani Konstruksi Hukum
Islam di Dunia Modern, Yogyakata: LKiS, 2006.
Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh 1, Ciputat: Logos,
1997.
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh Jilid 1, Ciputat: Logos, 1997.
Agus Fauzi, Hakikat dan perbedaan fiqh dan ushul fiqh, 2013,
http://mahad-aly.sukorejo.com, diakses tanggal 21 Mei 2014, Pukul 10.56.
Hasan
al-Bana, Definisi Ilmu Ushul Fiqh, 2012, http;// www.hasanalbanna.com/definisi-ilmu-ushul-fiqh, diakses tanggal 21 Mei 2014, pukul 10.37
[1] Nasrun
Haroen, Ushul Fiqh 1, (Ciputat: Logos, 1997), hal 1-2
[2] Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Ciputat: Logos, 1997), hal 2
[3] Hasan al-Bana, Definisi Ilmu Ushul Fiqh, 2012, http://www.hasanalbanna.com/definisi-ilmu-ushul-fiqh,
diakses tanggal 21 Mei 2014, pukul 10.37
[5] Muhyar
Fanani, Fiqih Madani Konstruksi Hukum Islam di Dunia Modern, (Yogyakata:
LKiS, 2006), hal xiii-xviii.
[6] Ibid,.
hal 5.
[9] Ibid,
hal. 8-9.
[14] Ibid,
hal. 365.
[15] Ibid,
hal. 11.
[16] Ibid,
hal. 31-32.
[18] Ibid,
hal. 85-86.
[19] Ibid,
hal. 88-89.
[20] Ibid,
hal. 98.
[21] Ibid,
hal. 100-111.
[22] Ibid,
hal. 143-148.
[23] Ibid,
hal. 230-231.
[24] Ibid,
hal. 232-238.
[25] Ibid,
hal. 249-257.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar