Menulislah sesuai kemampuanmu

Senin, 23 Maret 2015

FIQIH MADANI KONSTRUKSI HUKUM ISLAM DI DUNIA MODERN

 “Book Review
PENDEKATAN FIQIH DALAM BUKU
FIQIH MADANI KONSTRUKSI HUKUM ISLAM DI DUNIA MODERN
Karya Disertasi Muhyar Fanani

By: Evi Muzaiyidah Bukhori
(Mahasiswi pascasarjana UIN Maliki Malang) 

A.    PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas nikmat-Nya kami (Evi Muzaiyidah Bukhori, Rizka Eliyana Maslihah dan Ihda Qurrati Aini) dapat menyelesaikan makalah review buku dengan judulFiqih Madani Konstruksi Islam di Dunia Modern karya Disertasi Muhyar Fanani ini dengan baik. Dan makalah ini dikutip untuk memenuhi tugas maka kuliah “Pendekatan Studi Islam” yang diampu oleh Dr. H. Zulfi Mubarok, M. Ag. Namun dalam pembuatan makalah ini, penulis menyadari keterbatasan kemampuannya dalam menulis, sehingga makalah ini masih memiliki banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun, guna perbaikan makalah ini.
Makalah ini merupakan hasil pembahasan penulis mengenai penelitian Muhyar Fanani dalam buku “Fiqih Madani Konstruksi Hukum Islam di Dunia Modern”. Dan Muhyar Fanani menggunakan pendekatan sejarah yang kritis, beserta langkah-langkahnya untuk menggali data mengenai konstruksi fiqih madani dalam hukum Islam.
Urgensi topik pendekatan fiqih pada makalah ini adalah untuk memahami paradigma pemikiran Muhammad Syahrur yang senantiasa mengundang kontroversial, khususnya terkait kritik-ideologi Syahrur terhadap ilmu ushul fiqh tradisional. Dimana Muhammad Syahrur ingin merealisasikan sifat dasar hukum Islam yang relevan untuk setiap masa dan tempat, dengan cara mencetuskan teori baru terkait dasar pengambilan hukum Islam, yaitu: teori hudud.  

   Isi global makalah ini adalah pemikiran Muhammad Syahrur yang didasarkan pada perkembangan-perkembangan baru prestasi peradaban umat manusia, seperti: demokrasi, HAM, konstitusionalisme, national-state, dan civil society. Sehingga, Muhammad Syahrur berinisiatif untuk mengadakan pembaruan dalam tataran Ilmu Ushul Fiqh, yang mana ia adalah dasar pengambilan hukum Islam. Ia berpendapat bahwa pengetahuan keislaman yang modern adalah yang memadukan antara wahyu, akal dan indera. Ia juga berpendapat bahwa syari’at Islam itu bersifat Hududi (limitif), dimana substansi hukum Islam adalah ijtihat terhadap nash (teks Al-Qur’an), sehingga ia menerapkan teori matematis dalam memahami frame ketetapan Al-Qur’an, yaitu dengan menerapkan batas minimal, batas maksimal, batas minimal dan maksimal yang datang bersamaan, batas minimal dan maksimal yang menyatu dalam satu titik, batas minimal dan maksimal yang mendekati garis lurus, serta batas minimal positif yang tidak boleh dilampaui.
Secara garis besar, makalah ini membahas tentang 3 hal pokok, yaitu: pengertian pendekatan ushul fiqh secara etimologi dan terminologi, metode, tekhnik dan langkah-langkah pendekatan fiqih, serta hasil pendekatan ushul fiqh yang dicapai oleh Dr. Muhyar Fanani dalam bukunya yang berjudul “Fiqih Madani Konstruksi Hukum Islam di Dunia Modern”. 

2.      Tujuan Pembahasan
a.       Untuk memahami pengertian pendekatan ushul fiqh secara etimologi dan terminologi.
b.      Untuk mengetahui metode, teknik dan langkah-langkah dalam bukuFiqih Madani Konstruksi Hukum Islam di Dunia Modern.
c.       Untuk mengetahui hasil pendekatan ushul fiqh yang dicapai oleh Dr. Muhyar Fanani dalam bukunya yang berjudul Fiqih Madani Konstruksi Hukum Islam di Dunia Modern.







B.     POKOK PEMBAHASAN
1.      Pengertian Pendekatan ushul fiqh
Secara etimologi ushul fiqh terdiri dari dua kata, yang masing-masing memiliki pengertian luas, yaitu uhsul (أصول) dan fiqh (الفقه). Adapun pengertian ‘ashl’ (jamaknya: ‘ushul’) menurut etimologi adalah dasar (fundamen) yang diatasnya dibangun sesuatu. Dalam bahasa Arab, ushul merupakan jama’ dari ashl (الأصل) yang mengandung arti fondasi sesuatu baik bersifat materi maupun non materi, sedangakan fiqh (الفقه) berarti pemahaman yang mendalam yang membutuhkan pengerahan potensi akal , [1] bila paham yang digunakan untuk hal-hal yang bersifat lahiriyah, maka fiqh berarti paham yang menyampaikan ilmu zhahir kepada  ilmu bathin. Kata fuqaha fiqh berakar kepada kata itu dalam al-qur’an disebut dalam  20 ayat, 19  diantaranya berarti bentuk tertentu dari kedalaman paham dan kedalaman ilmu yang menyebabkan dapat diambil manfaat darinya. [2] Fiqh secara etimologi berarti pemahaman yang mendalam tentang tujuan suatu ucapan dan perbuatan. Seperti firman Allah yang berbunyi: “Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun” (QS. An Nisa: 78).[3] Juga sabda Rasulullah yang berbunyi:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهُ فِى الدِّيْنِ
“ Apabila Allah menginginkan kebaikan bagi seseorang, maka Ia akan memberikan pemahaman agama (yang mendalam). (H.R al-Bukhari, Muslim, Ahmad ibn Hanbal, al-Tirmidzi dan Ibnu Majjah).
Begitupula dalam surat thaha ayat: 27-28, yang artinya “Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka memahami perkataanku.[4]
Adapun secara terminologi, ilmu ushul fiqh memiliki makna sebagai kumpulan teori yang akan memandu para mujtahid dalam aktifitas ijtihadnya memiliki peran yang sangat sentral dalam pembaharuan hukum Islam. Seiring dengan kemunduran yang dialami oleh hukum Islam dewasa ini, ilmu ushul fiqh dituntun untuk mampu mendorong hukum Islam agar keluar dari krisis (dekadensi). Untuk itu ilmu ini dituntut untuk berkembang dan memperbaiki dirinya sendiri.
2.      Metode Penelitian Ushul Fiqh
a)      Latar Belakang Penelitian
Buku yang berjudul Fiqih Madani Konstruksi Hukum Islam di Dunia Modern” ini diterbitkan oleh PT. LKiS Printing Cemerlang Yogyakarta pada Januari 2010, dengan tebal 430 halaman. Penulisan buku ini pada mulanya merupakan karya disertasi penulis di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dimulai sejak akhir tahun 1999 dan diterbitkan pada tahun 2010.  Buku yang ditulis oleh Dr. Muhyar Fanani, dan dinobatkan sebagai disertasi terbaik Nasional oleh Departemen Agama RI melalui surat No; Dj.II/Dt.II.III/4/PP.009/1070/06 tertanggal 10 November 2006.[5]
Buku ini muncul karena penulis yang bernama Dr. Muhyar Fanani, melihat adanya keunikan dari salah seorang eksponen kelompok religious liberalism yang selama ini sering mendapat kecaman, yakni Muhammad Syahrur. Alasan pemilihan Muhammad Syahrur sebagai fokus kajian didasarkan pada pertimbangan bahwa dia merupakan eksponen utama kelompok liberalisme yang memiliki konsep pembaharuan ilmu ushul fiqh paling revolusioner dan inovatif, bila dibanding dengan pemikir lain dalam kelompok ini. Selain itu syahrur adalah seseorang yang fenomenal, yang secara resmi telah menerbitkan karyanya yang pertama pada tahun 1990, dan menyebar ke seluruh wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara, hingga akhirnya dia mulai dikenal dalam pecaturan intelektual dalam dunia Islam.[6]
Perlu diingat, bahwa dalam khazanah intelektual Islam, ilmu ushul fiqh merupakan metodologi terpenting yang pernah ditemukan, dan dimiliki oleh umat lain. Sebab, ilmu ini memiliki kedudukan yang tak tergantikan dikalangan kaum muslim. Namun, kini ia terabaikan oleh para pakar filsafat Islam, yang banyak disebabkan oleh sejarah. Pada mulanya ilmu ini bukanlah metodologi yang baku dalam hukum Islam, kemudian menjadi baku bagi seluruh pemikiran intelektual Islam. Akan tetapi, sejarah pemikiran Islam telah mengeliminasi wilayah kerja ushul fiqh, sehingga wilayahnya hanya dalam wilayah pemikiran hukum saja.[7]
Dewasa ini, pemikirin Syahrur memang telah menarik minat banyak ilmuan, baik dalam maupun luar negri. Sebagian ilmuan merespon positif ide dan pemikiran Syahrur, sementara sebagian yang lain menanggapinya secara negatif, adapun salah satu pemikir Timur Tengah yang menanggapi dengan negatif adalah Na’im al-Yafi, ia mengkaji karya pertama Syahrur dalam kitab Al-Kitab wa Al-Qur’an, dan mengkriktisi bahwasannya segala pembicaraan tentang teks al-Qur’an yang dilakukan oleh Syahrur sama sekali tidak mempedulikan sebab-sebab turunnya ayat, nasikh mansukh dan prinsip maslahah dan mursalah, kemudian hukum-hukum dan kesimpulan Syahrur membutuhkan peninjauan ulang secara hati-hati oleh penulisannya sendiri. Selain pemikir Timur Tengah, ada juga ilmuan Barat yang menanggapi positif pemikiran Syahrur khususnya dalam prespektif ushul fiqh, yakni Wael B. Hallaq lewat karyanya yang bertittle A History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Ushul Fiqh, dalam kajiannya hallaq menyimpulkan bahwa pandangan ushul fiqh Syahrur masih mengakui al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber hukum. Kedua sumber hukum itu harus dipahami dan ditafsirkan ulang sesuai dengan kemajuan budaya dan pengetahuan manusia sekarang bukan manusia abad VII M. Hallaq menyatakan bahwa dengan inspirasi ilmu-ilmu kealaman, Syahrur akhirnya menemukan teori hudud yang menurutnya sangat berguna untuk memahami hukum Allah di zaman modern, dan teori ini belum ditemukan oleh para ulama ushul fiqh masa awal Islam dan pertengahan. Menurut hallaq teori hudud sumbangan utama Syahrur dalam ilmu ushul fiqh karena teori ini akan menggantikan qiyas dan ijma’ dalam menggali hukum-hukum Allah.[8]
Adapun salah satu hasil kreativitas pemikiran Syahrur dalam bidang ilmu ushulul fiqh adalah teori hudud, dan teori inilah yang dijadikan fokus kajian dalam penelitian ini. Pemilihan atas tema ini didasarkan pada lima alasan:
a.       Teori Hudud merupakan sumbangan orisinal Syahrur dalam pemikiran ushulul fiqh kontemporer dan merupakan salah satu wujud nyata rekonstruksi ushulul fiqh yang dilakukannya.
b.      Teori ini merupakan wujud konkret dari manifestasi paradigma baru dalam pemikiran ushulul fiqh sehingga teori ini diharapkan akan dapat melahirkan hukum Islam modern, nonsectarian, universal, dan relevan untuk setiap masa dan tempat.
c.       Teori ini lahir berkat penggunaan pendekatan modern-scientifical, approach yang diinspirasikan oleh konsep limit matematis dan analisis matematis.
d.      Teori ini merupakan teori yang sangat mutakhir karena muncul di penghujung abad XX.
e.       Teori ini oleh Syahrur dirancang untuk mewujudkan fiqih Islam yang terbentuk dalam koridor dustur, bukan dalam iklim tirani sebagai mana yang terjadi dalam fiqih Islam historis.[9]
b)      Fokus Penelitian
Fokus penelitian Dr. Muhyar Fanani dalam bukunya yang berjudul Fiqih Madani Konstruksi Hukum Islam di Dunia Modern adalah bagaimana memahami kaitan antara teori hudud sebagai bagian dari reformasi keagamaan yang dilakukan Syahrur dengan reformasi politik dan masyarakat yang didambakannya. Ia meneliti hubungan antara teori hudud Syahrur yang kontroversial dengan motif dan konteks yang mendorong munculnya teori tersebut, terutama terkait dengan ilmu ushul fiqh, fiqh dan agenda reformasi masyarakat muslim kontemporer. Kajian dalam ranah ini sangat penting, yaitu dalam rangka memahami kaitan antara reformasi keagamaan yang dilakukan Syahrur dengan reformasi politik yang didambakannya.[10]
c)      Pendekatan Penelitian
Penelitian ini dirancang sebagai penelitian di bidang ushul fiqh, yang menggunakan pendekatan sosiologi ilmu pengetahuan. Dan pendekatan sosiologi ilmu pengetahuan dikenal memiliki perhatian besar dalam hubungan timbal balik antara pemikiran dengan konteks sosial yang mengitarinya, termasuk kepentingan dominasi dan hegemoni yang akan disokong. Selain itu dipergunakannya pendekatan sosiologi ini untuk melihat fenomena teori hudud sebagai fakta sosial dalam ilmu pengetahuan tanpa ada potensi untuk menyatakan salah atau benar.[11]
d)     Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode historis-hermeneutis yang kritis. Metode historis-hermeneutis disebut juga metode interpretative, ia menyatakan bahwa untuk memahami bagian-bagian tertentu maka kita harus memiliki pengertian lebih dahulu tentang keseluruhan, serta untuk mengerti keseluruhan kita harus memahami lebih dahulu bagian-bagiannya. Lingkaran hermeneutis itu menjadi upaya yang lazim digunakan untuk mengungkap makna yang terkandung dalam sebuah teks yang pada dasarnya muncul dari pertautan antara tiga subyek, yakni teks, pikiran pengarang dan benak pembaca (peneliti). Sementara metode kritis terwujud dalam bentuk refleksi diri yang meliputi langkah memahami, membela dan sekaligus memberikan kritik agar manusia tidak jatuh dalam belenggu ideologi beku atau kungkungan struktur politik.[12]
e)      Langkah-langkah Penelitian
(1). Data
Data yang digali oleh Dr. Muhyar Fanani yang menjadi tujuan utama dalam penelitiannya yaitu menjelaskan tentang: hakikat teori hudud, hubungan antara teori hudud dengan struktur kemasukakalan Syahrur dalam ilmu ushul fiqh, kepentingan dan motif Syahrur dalam menciptakan teori hudud, dalam prespektif sosiologi ilmu pengetahuan, apakah teori hudud mampu mengantarkan tercapainya kepentingan-kepentingan mengantarkan tercapainya kepentingan tersebut.
 (2). Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data literer kepustakaan. Data primernya berupa karya-karya asli Syahrur, sedangkan data skundernya berupa karya-karya lain yang langsung ataupun tidak langsung berkaitan dengan pemikiran Syahrur atau terkait dengan pembaharuan ushul fiqh dan fiqh secara umum.
(3). Teknik Pengumpulan Data
Adapun tekhnik pengumpulan data yang digunakan adalah metode dokumentasi, dalam artian menela’ah dokumen-dokumen tertulis, baik yang primer maupun yang sekunder. Hasil tela’ah ini dicatat dalam komputer sebagai alat bantu pengumpulan data.
(4). Pengelolahan dan Analisis Data
Setelah proses pengmpulan data selesai, dilakukan proses reduksi data (seleksi data) untuk mendapatkan informasi yang lebih berfokus pada rumusan pesoalan. Setelah seleksi (reduksi) data usai, lantas dilakukan deskripsi yakni menyusun data itu menjadi sebuah teks naratif, kemudian dilakukan analisis data dan dibangun teori-teori yang siap untuk diuji kembali kebenarannya dengan tetap berpegang pada pendekatan sosiologi ilmu pengetahuan . Setelah proses deskripsi selesai kemudian dilakukan penyimpulan. Penarikan kesimpulan selalu diverifikasi agar kebenarannya teruji. Proses reduksi (seleksi data, proses diskripsi dan proses penyimpulan dilakukan secara berurutan, berulang-ulang, terus-menerus, dan susul-menyusul, agar peneliti mendapat hasil yang akurat.[13]
3.      Hasil Penelitian
Muhyar Fanani dalam disertasinya yang berjudul “Fiqih Madani (Konstruksi Hukum Islam di Dunia Modern)”, telah mengkaji paradigma pemikiran Muhammad Syahrur secara kritis. Dalam kajian tersebut, ia mencoba mengungkap kritik-ideologi Syahrur terhadap ilmu ushul fiqh tradisional.[14] Tujuan dari kajian tersebut, diharapkan dapat merealisasikan sifat dasar hukum Islam yang relevan untuk setiap masa dan tempat (shalihun likulli zaman wa makan). Selain itu, diharapkan dapat memberikan sumbangsih terhadap para mujtahid dalam mencari landasan teoritis baru yang dapat dipertanggungjawabkan secara metodologis.[15]  
Adapun ringkasan kajian Muhyar Fanani terhadap paradigma pemikiran Muhammad Syahrur adalah sebagai berikut:
a). Muhammad Syahrur dan Pembaharuan Ilmu Ushul Fiqh
Tokoh yang pernah menggoncangkan dunia pemikiran Arab ini mempunyai nama lengkap Muhammad Syahrur bin Daib, ia lahir di Shalihiyyah Damaskus, Syiria, pada tanggal 11 April 1938, Syahrur adalah anak kelima dari tukang celup, adapun jenjang pendidikannya dimulai dari ibtida’dan I’dadnya dari Madrasah Damaskus, kemudian Ia melanjutkan belajar di Faculty of Engineerig Moscow Engineerig Institute dan mendapat gelar diploma di bidang tekhnik sipil. Selang beberapa tahun iapun mendapatkan kesempatan untuk belajar di National University of Irland  mengambil progam Magister dan Doktor. Setelah mendapatkan gelar M.Sc dalam bidang mekanik tanah dan bangunan ia kembali mengabdikan dirinya ke Fakultas Tekhnik Sipil Universitas Damaskus. Dalam studi keislaman Syahrur belajar secara otodidak. Oleh karena itu, Syahrur dianggap sebagai orang asing dalam dunia keislaman banyak orang yang menganggapnya remeh dan seakan ia tidak berwenang dalam wilayah studi keislamannya. Kemudian Syahrur memiliki inisiatif untuk menampakkan dirinya melalui tulisan-tulisan, beberapa buku karangannya antara lain: Al- Kitab wa Al-Qur’an, Dirasah Islamiyyah Muashirah, Al-Islam wa Al-Iman dan Nahw Ushul Jadidah.[16]
Syahrur menyimpulkan pembaharuan ushul fiqh dari segi epistemologi, pendekatan dan metode kajian. Pertama: Epistemologi merupakan, unsur paling penting dalam setiap kajian ilmiah. Memahami epistemologi Syahrur harus bisa berpijak pada pandangannya tentang perpaduan antara wahyu, akal, dan indera, itulah yang disebut epistemologi Kantianisme-plus atau rasionalisme-kritik-plus. Tambahan plus disini penulis berikan karena epistemologi Syahrur selain bercorak Kantianisme juga menjadi wahyu sumber kebenaran. Oleh karena itu baginya tidak ada kontradiksi antara al-Qur’an dan apa yang ada dalam filsafat yang merupakan induk ilmu pengetahuan. Menurutnya, perpaduan antara wahyu, akal, dan indera akan menghasilkan pengetahuan keislaman yang modern. Kedua: Pendekatan merupakan titik pijak dari mana kita akan melihat suatu objek, Syahrur telah menentukan dasar pijakannya dalam mengkaji wahyu Allah, yaitu analisis linguistik-empiris-nyata untuk memperkuat pemahamnnya atas wahyu. Ketiga:  metode adalah prosedur dan bagaimana orang itu bisa melihat objek tersebut. Kajian-kajian Syahrur atas Islam menggunakan metode linguistik-historis-ilmiah dengan mempertimbangkan studi-studi linguistik modern. Ia mendekonstruksi al-Qur’an dan mengkritik habis tradisi fiqih yang menurutnya mendistorsi pesan Islam dan berperan dalam melumpuhkan masayarakat Arab-Islam.
Menurut Syahrur,  turats adalah: produk materil dan pemikiran yang diwariskan oleh para pendahulu (salaf) kepada manusia sekarang (khalaf). Oleh karena itu, turats tidak boleh disakralkan, dan manusia harus menciptakan turatsnya sendiri agar dimensinya tidak hilang. Apabila manusia sekarang masih mengandalkan turats masa lalu, maka peradabannya akan lemah dan selalu bergantung pada peradaban lain.[17]
b). Paradigma Baru Ilmu Ushul Fiqh
Harus diakui bahwa pada awalnya, hukum Islam tumbuh secara fleksibel dan dinamis mengikuti tuntutan zaman, serta kokoh mempertahankan prinsip-prinsip dasar yang tidah berubah dari risalah kerasulan Muhammad. Sehingga dapat merealisasikan sifat dasar hukum Islam yang relevan untuk setiap masa dan tempat. Namun, dewasa ini terdapat berbagai kasus baru yang belum bisa diselesaikan secara tuntas, sebab adanya ketimpangan antara gerakan Ijtihad dengan gerakan zaman. Pemicu hal tersebut adalah penekanan hukum pada aspek penerapan hukum Islam yang sudah ada, sehingga hanya berkutat pada modifikasi barang lama, tanpa menghadirkan reformasi atau sesuatu yang baru. Hal inilah yang disebut-sebut Shubhi Mahmashani sebagai penyebab utama dekadensi (kemunduran) hukum Islam, disamping tingginya sektarisme madzhab serta pengabaian spirit ajaran Islam.[18]
Secara tegas Yusuf al-Qardhawi menyatakan bahwa pembaruan ushul fiqh adalah sesuatu yang mungkin dilakukan, sebab ushul fiqh yang ada saat ini adalah hasil kreasi ulama’ masa awal Abbasyiah dan sesudahnya, dan saat ini zaman sudah sama sekali berubah. Sehingga, al-Qardhawi berani menyalahkan pendapat Asy-Syatibi bahwa ushul fiqh adalah qath’i. Menurutnya, terdapat bagian-bagian yang berstatus zhanni dalam ushul fiqh, seperti status kehujjahan qiyas, ijma’ maslahah mursalah, istihsan, istiskhab, ‘aam-khash, nasikh-mansuh, dsb. Dan senada Muhammad Iqbal berpendapat, bahwa kita perlu kerja intelektual yang besar dan pasti, sebagaimana yang dilakukan oleh Umar bin Khaththab sang pemikir independen dan kritis pertama dalam Islam.[19]
Upaya konkret Syahrur dengan teori hudud-nya merupakan jawaban atas kritik Hasan at-Turabi terhadap ilmu ushul fiqh, karena dengan penggunaan paradigma historis-ilmiah, ia memberikan solusi atas problem metodologis usul fiqh dan solusi alternatif bagi kebuntuan ilmu ushul fiqh tradisional akibat dominasi ideologis literalisme (lama), melalui wadah penyatuan ilmu-ilmu naqli dan rasional. Karena syahrir memandang syari’at Muhammad bersifat hududi (limitif), sehingga ia memandang bahwa subtansi hukum Islam adalah ijtihad, dan hanya boleh dilakukan terhadap nash (teks).[20]
Secara keseluruhan, Syahrur telah melakukan rekonstruksi total atas ilmu ushul fiqh, dengan menawarkan paradigma baru yang berpondasikan aspek ontologi (bidang kajian ushul fiqh adalah wilayah jangkauan pengalaman dan penalaran manusia, bukan wilayah transendental), aspek epistimologis (sumber pengetahuan dalam ilmu ushul fiqh adalah akal atau argumentasi harus logis dan rasional. Menurutnya, hanya Al-Qur’an sajalah yang dapat disebut teks, sehingga apa yang diluar Al-Qur’an merupakan interpretasi atas Al-Qur’an sehingga tidak layak dijadikan sebagai sumber pengetahuan), serta aspek Aksiologi (nilai kegunaan ilmu ushul fiqh adalah untuk membimbing manusia dalam menangkap maksud Alloh secara benar, sebagai upaya mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat).[21] 
Syahrur mengajukan kategori baru dari Al-Kitab, yaitu:
1)   Perbandingan antara pemahaman konvensional dengan Syahrur tentang Al-Qur’an:
Pemahaman Konvensional
Al-Kitab = Al-Qur’an
Pemahaman Syahrur
Al-Kitab            Al-Qur’an
                          As-Sab’ Al-Matsani
                          Tafshil Al-Kitab
                           Umm Al-Kitab
2)   Perbandingan antara pemahaman konvensional dengan pemahaman Syahrur tentang ayat-ayat muhkam dan mutasyabihat dalam Al-Qur’an
Pemahaman Konvensional
Al-Qur’an           Ayat Muhkamat
                           Ayat Mutasyabihat
Pemahaman Syahrur
Al-Kitab            Al-Qur’an                     Mutasyabihat
          As-Sab’ Al-Matsani
          Tafshil Al-Kitab      Tidak Muhkamat/Mutasyabih
          Ummu Al-Kitab            Muhkamat

Adapun penjelasan Syahrur terkait perbandingan tersebut adalah: As-Sab’al Matsani adalah tujuh ayat yang terpisah dari ayat lainnya dan menjadi pembuka tujuh surat, yaitu: Alif lam mim, Ha mim, Tha sin mim, Tha ha, Ya sin, Kaf ha ya ‘ain shad, dan Alif lam mim shad (ayat-ayat tersebut mengandung kemutlakan hakiki dan bukan merupakan sumber hukum). Tafshil Al-Kitab adalah ayat-ayat yang tidak termasuk kategori muhkam atau mutasyabih, karena hanya menjelaskan ayat nubuwwah (ia bukan kawasan ijtihad dan sumber hukum). Dan hukum yang dibawa oleh ayat-ayat muhkamat bersifat hududi atau hukum itu hanya berupa batasan-batasan saja dan belum merupakan hukum rinci yang final.[22]
c). Teori Hudud: Upaya Menegakkan Supremasi Sipil dan Demokrasi
Teori Hudud Syahrur yang muncul dipenghujung akhir abad XX, dirancang untuk mewujudkan fiqh yang terlepas dari dominasi sistem tirani, sebagaimana yang terjadi dalam fiqh Islam klasik. Sehingga teori ini ingin mewujudkan hukum Islam yang terbentuk dalam koridor undang-undang (­al-fiqh ad-dusturi).[23] Adapun penyebab pencetusan teori ini adalah kondisi masyarakat Syiria, Timur Tengah dan dunia muslim yang rata-rata memiliki problem dalam penegakan demokrasi dan kebebasan sipil di segala lini kehidupan. Dan dalam konteks Syiria, problem ini terkait dengan penanaman teks suci secara sah kedalam intuisi politik dan sosial modern sehingga terwujud sebuah tatanan kehidupan yang madani. Sehingga, hal tersebutlah yang menjadi acuan Syahrur dalam teori hududnya, dimana ia berupaya untuk menangkap kategorisasi yang dibuat teks, agar manusia tidak keluar dan melanggar kategori tersebut. Disamping itu, negara Arab saat ini memiliki problem yang berkaitan dengan sosial, politik dan ekonomi. Sehingga syahrur menggambarkan bahwa Arab memiliki Fir’aun, Hammam dan Qarun yang memainkan peran absolutisme di bidangnya masing-masing.[24]
Syahrur memiliki paradigma baru terkait teori hudud sebagai perangkat Ijtihad Istinbathi, yang mana hudud ini terinspirasi dari Sir Isaac Newton yaitu Fisikawan Barat Modern yang mengembangkan konsep hudud matematis dan analisa matematis. Dan seyogyanya teori hudud Syahrur ini mendapat perhatian khusus dalam konteks pemikiran hukum Islam kontemporer. Mengingat, situasi zaman modern yang berubah dengan cepat, sehingga menuntut kita untuk mampu bergerak dinamis mengikuti perkembangan zaman dengan tetap dalam koridor (frame) yang ditetapkan Al-Quran. Menurut hemat Syahrur, teori hudud miliknya merupakan ketentuan suci dalam Al-Kitab, dimana ia memiliki batas minimal dan batas maksimal. Adapun teori yang digunakan yaitu persamaan fungsi, yang dirumuskan dengan Y=f(x) untuk satu variabel dan Y=f(x,y) untuk dua variabel. Oleh sebab itu, Syahrur mendefinisikan hukum Islam dengan hukum sipil atau buatan manusia, yang dalam pembuatannya harus memperhatikan batas-batas yang telah diberikan oleh Alloh. Adapun teori Hudud Syahrur beserta contoh kasusnya adalah:[25]
No
Posisi Hudud
Tema (contoh kasus)
Teks Al-Qur’an terkait
1.
Batas minimal (al-hadd al-adna)
-  Pihak perempuan yang dilarang dinikahi (maharim an-nikah).
-  Jenis makanan yang dilarang dikonsumsi.
-  Hutang piutang.
-  Pakaian perempuan.
-  Hukuman pembunuhan tersalah.
-  An-Nisa’: 22-23.


-  Al-Ma’idah: 3.
   Al-An’am: 19, 45.
-  Al-Baqarah:282-282.
-  An-Nur: 31.
-  An-Nisa’: 92.
2.
Batas Maksimal (al-hadd al-a’la)
-    Hukuman bagi pencuri.
-    Hukuman bagi pembunuh dengan sengaja.
-  Al-Ma’idah: 38.
-  Al-Baqarah: 178.
-  Al-Isra’: 33.

3.
Batas minimal dan maksimal yang datang bersamaan, namun tidak menyatu dalam satu titik atau satu garis
-  Pembagian warisan.
-  Poligami.
-  An-Nisa’: 11-14, 176.
-  An-Nisa’: 3.
4.
Batas maksimal dan minimal yang menyatu dalam satu titik atau satu garis
-       Hukuman bagi pelaku zina.
-  An-Nur: 2.
5.
Batas maksimal yang mendekati garis lurus, namun tidak ada persentuhan
-       Hubungan fisik antar lawan jenis.
-  Al-Isra’: 32.
-  Al-an’am: 151.
6.
Batas maksimal positif yang tidak boleh dilampaui, batas minimal negatif yang boleh dilampaui
-       Distribusi harta kekayaan.
-       Riba (batas maksimal positif).
-       Sedekah.
-       Zakat (batas minimal negatif).
-  At-Taubat: 60.
-  Al-Baqarah: 275, 278.
-  Ali-Imran: 130.
-  Al-Baqarah: 276.
-  Ar-Rum: 39.
   
d). Kritikatas Teori Hudud Muhammad Syahrur
Menurut Muhyar Fanani, syahrul adalah seorang ilmuwan tehnik sehingga studi keislaman syahrul akan bercorak empiristik, bahkan postivistik. Dalam hal ini syahrul juga mengakui bahwa dalam membangun teori hudud, ia menggunakan analisis matematis sebagai landasanya, yaitu rumus matematika yang dikembangkan oleh Sir Isaac Newton dengan persamaan fungsi, persamaan fungsi ini dijadikan oleh syahrul sebagai basis teori pengembangan hukum Islam, karena teori ini memadukan dua karakter hukum islam, yakni karakter statis (tsabit-tetap) dan karakter dinamis (al-haniffiyah- cenderung berubah).
Dari keterangan di atas Muhyar fanani mengungkapkan bukti-bukti terjebaknya syahrul dalam Hegemoni – positivisme teori hudud, yaitu:
1.      Pemanfaatan prestasi ilmu pengetahuan modern secara mutlak dalam penemuan hudud Allah, dan pemanfaatan metode historis ilmiah dalam penciptaan hukum yang sesuai dengan hudud tersebut. Premis–premis ilmiah yang dimaksud syahrul adalah premis empiris – positivistik. Bagi syahrul semua hal dapat diakui benar bila fakta empiris- positivistik membuktikan kebenarannya.
2.      Syahrul juga berkeyakinan bahwa wahyu (teks) tidak dapat dipahami kecuali berangkat dari hukum – hukum alam. Walaupun ia telah mengakui relativisme dan perkembangan pengetahuan manusia. Semua itu masih dalam bentuk koridor positivism.
3.      Pengklasifikasian atas ayat-ayat At-Tanzil Al-Hakim menjadi empat macam: Umm Al-Kitab, Al-Qur’an, As-Sab’al Mastani, dan Tafsil Al-Kitab. Kualifikasi tersebut merupakan cara Syahrul memperlakukan Al-Qur’an sebagai ilmu pasti yang bersifat “Ajeg-tetap” dan Positif. “keajekan” merupakan pola hubungan ketergantungan ideologis dan bersifat sangat positivistik.
4.      Syahrul juga terjebak dalam – meminjam istilah Habernas - “Dogmatisme Ilmu alam” syahrul menganggap ilmu kealaman sebagai jurus tafsir satu – satunya yang benar dan realitas.
5.      Syahrul masih cenderung pada hegemoni objektivitas– positivistik– nomotetik adalah yang digunakannya logika penelitian nomotetik, seperti penggunaan statistic, sensus, metode survai, voting, polling, dan ferendum. Disamping metode pemahaman intratekstual (al-istiqra’ al-ma’nawi) dalam menemukan hudud Allah. Dari sini tampak jelas bahwa Syahrur belum mampu melepaskan latarbelakangnya sebagai ilmuwan alam.[26]
Dari pembahasan di atas tampak jelas bahwa teori hudud sesungguhnya belum mampu memisahkan diri dari dominasi positivisme yang begitu hebat pada abad XIX M. Dan teori hudud ini menemui jalan buntu, karena teori hudud masih berbasis pada logika nomotetis – positivistik yang mengakibatkan kecilnya partisipasi dan emansipasi masyarakat sebagai dampak dari dipisahkannya subjek dari objek yang tidak ada pintu dialog. Oleh karena itu, teori ini lebih cenderung menghasilkan masyarakat yang pro status quo, irasional, ideologis, dan tidak komunikatif partisipasif. Padahal, subtansi ilmu usul fiqh, fiqh, dan masyarakat madani adalah adanya partisipasi luas masyarakat dalam segala lini kehidupan.
Jika tidak teori hudud syahrur tidak diperbaiki maka akan hanya akan menghasilkan ilmu usul fiqh dan fiqh yang monolitik – dogmatik yang menutup pintu dialog dan partisipasi masyarakat sehingga pada gilirannya akan mempersulit jalan untuk memperoleh horizon baru yang dinamis, ini sangat bertolak belakang dengan tujuan yang ingin dicapai syahrur sebenarnya.
Untuk menjadikan teori hudud menjadi benar maka ia harus dilengkapi dengan perangkat Hermeneutika-Kritis yang terwujud dalam bentuk refleksi diri agar ilmu usul fiqh, fiqh, dan masyarakat dapat membebaskan diri dari segala bentuk ideologi dan dogmatism yang membelenggu. Dengan teori Hudud – kritis inilah yang mampu mengeluarkan teori hudud syahrul dari jebakan positivisme yang membuatnya mengalami kebuntuan dalam mewujudkan kepentingan emansipatorisnya.[27]

C.    ANALISIS DAN DISKUSI
1. Analisis
Buku yang berjudul Fiqih Madani (Konstruksi Hukum Islam di Dunia Modern) merupakan buku yang sangat inspiratif serta menarik untuk dikaji. Dalam karya tulis ini, penulis menganalisis paradigma pemikiran Muhammad Syahrur yang menuai berbagai kontroversi. Syahrur menawarkan paradigma baru terkait Ushul Fiqh yang menjadi dasar pengambilan hukum Islam, dari hal tersebut, dapat ditangkap bahwasanya Syahrur adalah seorang tokoh pemikir Ushul liberal, karena ia diposisikan Hallaq sejajar dengan Muhammad Said Asymawi dan Fazlur Rahman.
Dan kami dari kelompok ke-3 tidak setuju dengan apa yang disampaikan oleh Muhammad Syahrur, berdasarkan apa yang telah dikupas tuntas dalam disertasi Muhyar Fanani tersebut. Namun, kami tetap mengapresiasi pemikiran dan pembaharuan yang dilakukan oleh Syahrur, karena dalam agama Islam kita masih membutuhkan adanya ijtihat, guna memecahkan permasalahan-permasalahan yang kontemporer. Namun, hendaknya ijtihad yang dilakukan tidaklah keluar dari sumber hukum Islam.
Dan perlu diketahui,  jika kita meninjau dasar penetapan hukum minimal dan maksimal, maka Syahrur menggunakan teori persaman matematis, yang dimiliki oleh orang Sir Issac Newton. Tidak dapat dipungkiri, bahwa pendekatan scientes atau logika matematika tidak selalu relevan dengan dasar hukum Islam, sehingga pendekatan secara scientis belum dapat menjembatani antara pembaharuan dan hukum dasar Islam. Dan hendaknya pembaharuan dalam hukum Islam tidak melampaui batas, dan jangan sampai kemajuan IPTEK yang terjadi akan merubah dan menghilangkan hukum-hukum Islam.
3.      Kesimpulan
Studi ini paling tidak menghasilkan empat buah kesimpulan penting:
1.      Teori Hudud merupakan teori baru dalam hukum Islam yang memandang bahwa syari’at Allah sesungguhnya hanyalah syari’at yang berupa batas – batas (Hudud) dan bukan syari’at yang konkret (‘ayni). Oleh karena itu, manusia bertugas menemukan hudud Allah dalam ayat – ayat Umm Al-kitab, kemudian setelah hudud Allah itu ditemukan, ia harus membentuk hukumannya sendiri sesuai dengan tuntutan realitas, namun tidak diperkenankan menyalahi atau melampaui hudud Allah tersebut. Teori hudud merupakan perangkat ijtihad baru yang dicetuskan Syahrur guna mewujudkan hukum Islam modern yang dinamis, fleksibel, dan relevan dengan tuntutan realitas.
2.      Dalam struktur logis pemikir logis pemikiran Syahrur tentang ilmu ushul fiqh, teori hudud merupakan bagian tak terpisahkan dari rekonsruksi total atas ilmu ushul fiqh yang dilakukannya, agar ilmu ini tidak mengalami krisis (anomali yang berkepanjangan) dalam menghadapi situasi zaman modern. Bila al-Ghazali menyatakan bahwa struktur dasar ilmu ushul fiqh terdiri atas empat bagian pokok, yakni hukum (ats-tsamrah), sumber hukum (al-mutsmiroh), cara menemukan hukum (thuruq al-istitsmar), dan mujtahid (al-mustatsmir), maka syahrur menciptakan struktur dasar ilmu ushul fiqh. Definisi baru tersebut merupakan akibat dari pergeseran paradigma (paradigm shift) yang dilakukan Syahrur terhadap ilmu ushul fiqh.
3.      Kepentingan Syahrur dalam menciptakan teori hudud terkait dengan ilmu ushul fiqh, fiqh, dan masyarakat adalah menegakkan supremasi sipil dan demokrasi. Dengan kata lain, dengan teori itu, Syahrur ingin melepaskan ilmu ushul fiqh dari dominasi ideology – literalisme – tiranik, melepaskan fiqh dari dominasi alam pikiran tang hegemonik sehingga dapat terlahir fiqh madani, serta melahirkan masyarakat madani.
4.      Dalam upaya mewujudkan kepetingannya itu, teori hudud ternyata menemui jalan buntu. Hal ini terjadi karena teori hudud masih berbasis pada logika nomotetis – positivistik  yang mengakibatkan kecilnya partisipasi dan emansipasi masyarakat sebagai dampak dari dipisahkannya dari subjek dan tidak adanya pintu dialog. Oleh karena itu, teori ini lebih cenderung menghasilkan masyarakat uang pro status quo, irasional, ideologis, dan tidak komunikatif partisipatif. Padahal, substansi ilmu fiqh, fiqh, dan masyarakat madani adalah adanya partisipasi luas masyarakat dalam segala lini kehidupan. Selain itu, keterbatasan logika nomotetis – positivistik dalam memahami realitas kemanusiaan yang demikian kompleks – seperti makna kebebasan dan kemerdekaan – juga menjadi sebab lain bagi kebuntuan teori hudud syahrur ini.        
3. Kolom Diskusi
1.      Jika Dr. Muhyar Fanani berani mengkritisi Imam Syafi’I, apakah dia juga sudah menghafalkan Al-Qur’an han Hadist ?
Dalam buku ini tidak dijelaskan apakah Dr. Muhyar Fanani tersebut hafal Al-Qur’an atau tidak, tetapi posisi Muhyar fanani adalah mengkritisi pemikiran Syahrur, dan Muhammad Syahrur adalah seorang ilmuwan teknik yang belajar keagamaan secara otodidak.
2.      Berdasarkan pemikiran syahrur apakah ‘urf atau kebiasaan dapat dijadikan hukum ?
Jika ditinjau dari ilmu ushul fiqh, maka ‘urf dapat dijadikan sebagai hukum, sebagai mana maslahah mursalah. Namun, dalam buku ini Syahrur tidak membahas terkait ‘urf, karena ia hanya menawarkan pemikirannya yang baru tentang teori hudud.
3.      Apakah didalam buku tersebut terdapat kritik atau bantahan dari muhyar fanani terhadap Syahrur ?
Ada, sesuai dengan pembahasan dalam kritik atas teori Hudud Muhammad Syahrur, menurutnya, teori Hudud Syahrur mengalami kebuntuan karena teori tersebut masih berbasis pada logika Nomotetis – positivistik.
D.    DAFTAR RUJUKAN
Fanani,  Muhyar, Fiqih Madani Konstruksi Hukum Islam di Dunia Modern, Yogyakata: LKiS, 2006.
Haroen,  Nasrun, Ushul Fiqh 1, Ciputat: Logos, 1997.
Syarifuddin,  Amir, Ushul Fiqh Jilid 1, Ciputat: Logos, 1997.
Agus Fauzi, Hakikat dan perbedaan fiqh dan ushul fiqh, 2013, http://mahad-aly.sukorejo.com, diakses tanggal 21 Mei 2014, Pukul 10.56.
Hasan al-Bana, Definisi Ilmu Ushul Fiqh,  2012, http;// www.hasanalbanna.com/definisi-ilmu-ushul-fiqh, diakses tanggal 21 Mei 2014, pukul 10.37



[1] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Ciputat: Logos, 1997), hal 1-2
[2] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Ciputat: Logos, 1997), hal 2
[3] Hasan al-Bana, Definisi Ilmu Ushul Fiqh, 2012,  http://www.hasanalbanna.com/definisi-ilmu-ushul-fiqh, diakses tanggal 21 Mei 2014, pukul 10.37
[4] Nasrun,  Ushul Fiqh, hal 2
[5] Muhyar Fanani, Fiqih Madani Konstruksi Hukum Islam di Dunia Modern, (Yogyakata: LKiS, 2006), hal xiii-xviii.
[6] Ibid,. hal 5.
[7] Muhyar, Fiqih Madani, hal 3
[8] Ibid,. hal 13-16.
[9] Ibid, hal.  8-9.
[10] Ibid, hal. 20.
[11] Ibid, hal. 25-26.
[12] Ibid.
[13] Ibid, hal. 27-28
[14] Ibid, hal. 365.
[15] Ibid, hal. 11.
[16] Ibid, hal. 31-32.
[17] Ibid,. hal 31-82.
[18] Ibid, hal. 85-86.
[19] Ibid, hal. 88-89.
[20] Ibid, hal. 98.
[21] Ibid, hal. 100-111.
[22] Ibid, hal. 143-148.
[23] Ibid, hal. 230-231.
[24] Ibid, hal. 232-238.
[25] Ibid, hal. 249-257.
[26] Ibid, hal. 344-349.
[27] Ibid, hal. 355-361.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar